Selasa, 29 Oktober 2013

Mabrur Itu Memberi Makan

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mabrur memiliki dua arti, yaitu: Pertama, diterima oleh Allah; dan kedua, baik. Kata mabrur sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab, akar katanya barra-yaburru-barran atau birran yang artinya taat berbakti. Dalam kitab Lisan al-Arab, mabrur dapat berarti baik, suci, dan bersih; juga berarti makbul atau diterima
 
Jika kata mabrur diambil dari akar kata birran atau al-birru, maka menurut Kamus Al-Munawwir dapat diartikan sebagai taat berbakti, bersikap baik-sopan, benar atau tidak berdusta, benar untuk dilaksanakan sesuai dengan sumpahnya, menerima, diterima, banyak berbuat kebajikan. Menurut Al-Fairuzi bahwa al-birru dapat juga berarti hubungan, berupaya dalam kebaikan. Menurut Budiharjo bahwa kata al-birru sepadan dengan kata al-hasan, al-khair, al-shalih, al-thayyib dan al-ma’ruf, Dan kata al-birru berarti “baik” jika dihubungkan dengan orang tua, “mabrur” jika dihubungkan dengan haji, “benar “jika dihubungkan dengan janji, “laris” jika dihubungkan dengan dagangan, “terhindar subhat, dusta dan khianat” jika dihubungkan dengan jual beli, ”memperbanyak ketaatan” jika dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika dihubungkan dengan orang tua. 

Sedangkan menurut Allah SWT di dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 177 al-birru itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, akan tetapi sesungguhnya al-birru itu beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Jika mabrur itu berakar dari kata al-birru yang memiliki arti kebaikan dan kebaikan itu bukan menurut manusia, tetapi menurut Allah SWT sesuai firman-Nya di Q.S. Al-Baqarah ayat 177, maka haji mabrur bukanlah haji yang diterima oleh Allah SWT karena pelakunya telah melakukan ritual haji dengan yang baik sesuai syarat dan rukunnya, bukan pula hanya dalam iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para nabi, bukan juga senantiasa melaksanakan shalat, membayar zakat, tetapi si pelaku telah dan selalu melakukan perbuatan sosial di atas rata-rata kebanyakan orang. Perbuatan itu di antaranya memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya atau membebaskan orang dari ketertindasan, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan juga dalam peperangan.
 
Bentuk-bentuk perbuatan sosial dalam ayat tersebut di atas, selain zakat, tidak harus semuanya dilakukan serentak dalam satu waktu, tetapi sesuai kemampuan dan kesempatan, khususnya bagi seseorang yang telah mendapatkan predikat haji mabrur. Seperti bunyi hadits dari Jabir ra yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda,”Haji yang mabrur tidak ada pahala yang layak kecuali surga. Sahabat bertanya: Wahai Nabi Allah, apakah haji mabrur itu? Rasulullah SAW menjawab: Memberi makan dan menebarkan salam.

Mafhum mukhalafah atau pemahaman kebalikan dari hadits di atas adalah orang yang berhaji tidak mendapat predikat haji mabrur jika ia tidak memberi makan orang yang membutuhkan atau kelaparan dan tidak memberikan salam. Dengan kata lain, haji mabrur itu ditentukan bukan hanya oleh ritual ibadah haji yang telah dilaksanakan seseorang sesuai syarat dan rukunnya, tetapi oleh perbuatan sosialnya, yaitu memberi makan orang miskin dan menebarkan salam. 

Khusus perbuatan memberi makan, ini seperti kisah Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi, seorang ahli hadits yang terkemuka. Ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M. Ia mendapat petunjuk dari Allah SWT tentang seorang, yaitu Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu di Damaskus, yang mendapatkan gelar haji mabrur pada satu musim haji yang tidak ada mendapatkannya selain dirinya padahal dia tidak pergi haji karena uang untuk berangkat haji ia dermakan kepada tetangganya untuk makan. 

Maka, memberi makan dari harta yang dicintai merupakan bentuk al-birru, salah satu bentuk nyata atau indikator yang terlihat dari kemabruran haji seseorang. Jadi, tidak susah kita menilai apakah haji seorang atau haji kita ini mabrur atau tidak cukup dilihat dari amal-amal sosialnya, salah satunya adalah memberi makan. Amal memberi makan sepertinya amalan yang sepele, tetapi itu merupakan amalan para nabi dan rasul. Nabi Ibrahim as. yang bergelar Khalilullah, Kekasih Allah, selalu memanggil orang lain untuk ikut makan bersamanya setiap ia makan. Sunnah Rasulullah SAW yang terakhir dikerjakan oleh Abu Bakar Ash-Shidiq ra. adalah memberi makan orang tua Yahudi yang buta matanya dari kunyahan mulut Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. sendiri persis seperti yang dilakukan Rasulullah SAW semasa hidupnya sampai beliau wafat. Maka wajar jika Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berkata,” Aku telah meneliti semua amal saleh, dan tidak ada yang melebihi keutamaan amal memberi makan.” 

Akhir kalam, saat ini di Suriah, ulama di sana telah memberi fatwa bahwa kaum muslimin dan muslimat di Suriah boleh memakan daging kucing dan anjing karena tengah dilanda kelaparan yang hebat dan makanan amat sangat sulit didapat, juga kelaparan di Somalia dan tempat-tempat lainnya, sementara jutaan jama`ah haji kebanyakan pulang ke tanah airnya masing-masing membawa air zam-zam dan makanan khas timur tengah berkilo-kilo beratnya. Jadi belumlah terlambat jika para haji ingin mendapatkan gelar haji mabrur tahun ini, sesampainya di tanah air segera kirim makanan kepada mereka yang membutuhkan di Suriah, Somalia dan tempat-tempat lainnya, mungkin ada pula tetangganya yang kelaparan, Insya Allah hajinya mabrur. Amin.***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan JIC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar