Rabu, 31 Juli 2013

Fabiayyi ‘aalaa irobbikumaa tukadzdzibaan...

Subhaanallah, ........
Fabiayyi ‘aalaa irobbikumaa tukadzdzibaan...
Maka nikmat tuhanmu yang mana engkau dustakan???

 
berulang-ulang menyebutkan ayat yang berarti, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Pernahkah anda membaca surat Ar-Rahman? Surat ar-Rahman adalah surat ke 55 dalam urutan mushaf utsmany dan tergolong dalam surat Madaniyah serta berisikan 78 ayat. Satu hal yang menarik dari kandungan surat ar-Rahman adalah adanya pengulangan satu ayat yang berbunyi "fabiayyi ala i rabbikuma tukadziban" (Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?). Kalimat ini diulang berkali-kali dalam surat ini. Apa gerangan makna kalimat tersebut?

Setelah  hitung-hitung, ayat tersebut ternyata bisa berulang kali terbaca hingga 31 kali banyaknya. Anda bisa mendapatkannya di ayat ke-13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77.
Akhirnya dalam surat Ar Rahman, saya pun mencoba mengulik makna angka yang ada. Angka 31 yang menyatakan jumlah ayat dari surat tersebut pun saya coba telusuri dengan melihat Surat 31 dari Al Quran. Ketemulah Surat Luqman. Saat melirik ke ayat ke 31 dari surat tersebut, subhanallah… inilah yang saya temukan!
“Tidaklah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur.”
 
Menarik untuk diperhatikan bahwa Allah menggunakan kata "dusta"; bukan kata "ingkari", "tolak" dan kata sejenisnya. Seakan-akan Allah ingin menunjukkan bahwa ni’mat yang Allah berikan kepada manusia itu tidak bisa diingkari keberadaannya oleh manusia. Yang bisa dilakukan oleh manusia adalah mendustakannya. 

Dusta berarti menyembunyikan kebenaran. Manusia sebenarnya tahu bahwa mereka telah diberi ni’mat oleh Allah, tapi mereka menyembunyikan kebenaran itu; mereka mendustakannya!
Bukankah kalau kita mendapat uang yang banyak, kita katakan bahwa itu akibat kerja keras kita, kalau kita berhasil menggondol gelar Ph.D itu dikarenakan kemampuan otak kita yang cerdas, kalau kita mendapat proyek maka kita katakan bahwa itulah akibat kita pandai melakukan lobby. Pendek kata, semua ni’mat yang kita peroleh seakan-akan hanya karena usaha kita saja. Tanpa sadar kita lupakan peranan Allah, kita sepelekan kehadiran Allah pada semua keberhasilan kita dan kita dustakan bahwa sesungguhnya ni’mat itu semuanya datang dari Allah.
 
Maka ni’mat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan! Kita telah bergelimang kenikmatan, telah penuh pundi-pundi uang kita, telah berderet gelar di kartu nama kita, telah berjejer mobil di garasi kita, ingatlah–baik kita dustakan atau tidak–semua ni’mat yang kita peroleh hari ini akan ditanya oleh Allah nanti di hari kiamat!
 
"Sungguh kamu pasti akan ditanya pada hari itu akan ni’mat yang kamu peroleh saat ini" ( QS 102:8 ) 

Sudah siapkah kita menjawab serta mempertanggung jawabankannya ???
Allah berfirman : FAIN TAUDDU NI’MATALLAHI LA TUKHSUUHA
Apabila kamu menghitung nikmat Allah ( yang diberikan kepadamu ) maka engkau tidak akan mampu (karena terlalu banyak).
   
Tidak patutkah kita bersyukur kepadaNYA, Mari mengucap Alhamdulillah sebagai bagian dari rasa syukur kita.

Sumber : http://yukinuyuinunu.abatasa.co.id/post/detail/19377/fabiayi-ala-irobikuma-thukadziban.html

Kesempatan untuk Bertaubat


Kita sudah ketahui bahwa bulan Ramadhan penuh dengan berbagai kebaikan. Pada bulan tersebut kita diperintahkan untuk saling berlomba dalam kebaikan. Begitu pula bulan Ramadhan adalah kesempatan kembali untuk taat pada Allah. Kembali pada Allah yang dimaksud di sini adalah dengan bertaubat.

Taubat Wajib dan Taubat Sunnah

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa taubat itu ada dua macam, ada yang wajib dan ada yang sunnah.
Taubat yang wajib adalah taubat karena meninggalkan suatu perintah atau melakukan suatu larangan. Taubat yang wajib di sini dibebankan bagi seluruh mukallaf (yang telah dibebani syariat) sebagaimana yang Allah perintahkan dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan taubat yang sunnah adalah taubat karena meninggalkan perkara yang sunnah dan melakukan yang makruh.

Barangsiapa yang hanya mencukupkan diri dengan taubat pertama (yang wajib), maka dia merupakan bagian dari golongan pertengahan, disebut al abror al muqtashidin.
Barangsiapa yang melakukan dua taubat di atas sekaligus, maka ia termasuk golongan terdepan, disebut as saabiqin al muqorribin. (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 40).

Taubatan Nashuha

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)

Dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa makna taubat yang tulus (taubatan nashuhah) sebagaimana kata para ulama adalah, “Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/ mengembalikannya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 323).

Setiap Dosa Bisa Diampuni
Setiap dosa –baik dosa kecil, dosa besar, dosa syirik bahkan dosa kekufuran- bisa diampuni selama seseorang bertaubat sebelum datangnya kematian walaupun dosa itu sepenuh bumi.
Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).

Ayat di atas adalah seruan untuk segenap orang yang terjerumus dalam maksiat, baik dalam dosa kekafiran dan dosa lainnya untuk bertaubat dan kembali pada Allah. Ayat tersebut memberikan kabar gembira bahwa Allah mengampuni setiap dosa bagi siapa saja yang bertaubat dan kembali pada-Nya. Walaupun dosa tersebut amat banyak, meski bagai buih di lautan (yang tak mungkin terhitung). Sedangkan ayat yang menerangkan bahwa Allah tidaklah mengampuni dosa syirik, itu maksudnya adalah bagi yang tidak mau bertaubat dan dibawa mati. Artinya jika orang yang berbuat syirik bertaubat, maka ia pun diampuni.

Lihat keterangan Ibnu Katsir mengenai ayat di atas dalam kitab tafsir beliau.
Dalam ayat lain disebutkan,

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ
Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya?” (QS. At Taubah: 104).

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 110).

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا (145) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (146)
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An Nisa’: 145-146).

Kepada orang Nashrani yang menyatakan ideologi trinitas, masih Allah seru untuk bertaubat. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al Maidah: 73).

Kemudian setelah itu, Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah: 74)

Walau mereka -Nashrani- berkata keji dengan mengatakan bahwa Allah adalah bagian dari yang tiga, namun Allah masih memiliki belas kasih dengan menyeru mereka untuk bertaubat jika mereka mau.
Lihatlah orang yang telah membunuh wali Allah, juga diseru untuk bertaubat jika mereka ingin,

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” (QS. Al Buruj: 10).

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Lihatlah pada orang-orang yang merasa mewah tersebut, mereka telah membunuh wali-wali Allah dan Allah masih menyeru mereka untuk bertaubat.”

Ayat semisal di atas teramat banyak yang juga menerangkan tentang hal yang sama bahwa setiap dosa bisa diampuni bagi yang mau bertaubat. Lihatlah sampai dosa kekafiran pun bisa Allah ampuni jika kita benar-benar bertaubat, apalagi dosa di bawah itu. Sehingga tidak boleh seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah walau begitu banyak dosanya. Karena ingatlah saudaraku bahwa pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.

Kembalinya Kebaikan Setelah Taubat

Jika dahulu seorang hamba memiliki kebaikan, lalu ia beramal kejelekan yang dapat menutupi kebaikannya, kemudian setelah itu ia taubat lagi, bagaimana kebaikannya dahulu? Jika ia bertaubat yang tulus, maka kebaikannya di masa silam bisa kembali.

Dari Hakim bin Hizam, ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ صِلَةٍ وَعَتَاقَةٍ وَصَدَقَةٍ ، هَلْ لِى فِيهَا مِنْ أَجْرٍ . قَالَ حَكِيمٌ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ »
“Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu mengenai berbagai perkara kebajikan yang aku lakukan di masa jahiliyah yaitu ada amalan silaturahim, membebaskan budak dan sedekah, apakah semua itu tetap dicatat sebagai kebaikan (ketika aku masuk Islam)?” Hakim kemudian mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau masuk Islam, maka kebaikanmu di masa silam pun akan dicatat sebagai kebaikan”. (HR. Bukhari no. 5992 dan Muslim no. 123).

Ibnu Hajar Al Asqolani berkata menjelaskan hadits di atas,

وَأَنَّهُ لَا مَانِعَ مِنْ أَنَّ اللَّهَ يُضِيفُ إِلَى حَسَنَاتِهِ فِي الْإِسْلَامِ ثَوَابَ مَا كَانَ صَدَرَ مِنْهُ فِي الْكُفْرِ تَفَضُّلًا وَإِحْسَانًا
“Suatu yang tidak mustahil jika Allah menambah kebaikannya di masa silam ketika dalam kekafiran pada kebaikannya setelah masuk Islam. Itu dilakukan karena karunia dan bentuk berbuat baik padanya.” (Fathul Bari, 3: 302).

Jangan Tunda Taubat!

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).

Maksud ayat di atas adalah kembalilah pada Allah dengan berserah diri pada-Nya sebelum datang siksaan yang membuat mereka tidak mendapat pertolongan, yaitu maksudnya bersegeralah bertaubat dan melakukan amalan sholih sebelum terputusnya nikmat. Demikian uraian Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk terus bertaubat.

Referensi:
Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Shalih Ahmad Asy Syami, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1423 H.
Romadhon Durusun wa ‘Ibarun – Tarbiyatun wa Usrorun, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan kedua, tahun 1424 H.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Disusun malam Rabu, 15 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Selasa, 30 Juli 2013

Mengenal Makna “MINAL AIDIN WAL FAIDZIN” Dan Ucapan Pada Hari ‘Ied

Frasa yang akan banyak diucapkan orang di hari berbuka (baca: ‘iedul fitri) adalah “MINAL AIDIN WAL FAIZIN”. Seringkali frasa berbahasa Arab ini diikuti dengan frasa berbahasa Indonesia: maaf lahir dan batin. Orang mengucapkan dua frasa ini biasanya sambil menyorongkan tangan untuk bersalaman.  SMS pun akan banyak mengutip frasa ini. Bahkan iklan di media cetak dan televisi juga menampilkan rangkaian kata ini. Seringkali pula tulisan berhuruf latin ini dibikin sedemikian rupa sehingga menyerupai kaligrafi huruf Arab.

Tapi, tahukah Anda bahwa frasa “Minal Aidin Wal Faizin” itu tidak dikenal dalam budaya Arab (terlebih lagi dalam islam)?

Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.” Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema kata per kata.

Lalu, apa arti Minal Aidin Wal Faizin? 

Terjemahan frasa ini adalah: dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Mungkin maksud lengkapnya adalah:”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).” ternyata, adalah kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan batin”.
[dinukil dari: http://jalansutera.com]

Ucapan pada hari ‘ied

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253] :
“Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :

Taqabbalallahu minnaa wa minkum
“Artinya : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”

Dan (Ahaalallahu ‘alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya.

Akan tetapi Imam Ahmad rahimahullah berkata :
“Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.” [Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari [2/446] :
“Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
“Artinya : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka”.
Imam Ahmad rahimahullah menyatakan : “Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)” [2]

Adapun ucapan selamat : (Kullu ‘aamin wa antum bikhair) atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia [seperti "minal aidin wal faidzin" yang tersebar luas di Indonesia], maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah,

أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَىٰ بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ ؟
“Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” [Al-Baqåråh: 61]

[Disalin dari buku Ahkaamu Al Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]

Foote Note:
[1]. Al Jalal As Suyuthi menyebutkan dalam risalahnya ” Wushul Al Amani bi Ushul At Tahani” beberapa atsar yang berasal lebih darisatu ulama Salaf, di dalamnya ada penyebutan ucapan selamat.

Sumber : http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2009/09/20/mengenal-makna-minal-aidin-wal-faidzin-dan-ucapan-pada-hari-ied/

MENANTI MALAM LAILATUL QADR

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
 
Keutamaan Lailatul Qadar

Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). 

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),  
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1). Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya (yang artinya),  
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5).

Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga. Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar. (Zaadul Maysir, 6/179)



Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. 
An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” Mujahid dan Qotadah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.

Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,  
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi?
Ibnu Hajar Al Asqolani telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (Fathul Baari, 6/306, Mawqi’ Al Islam Asy Syamilah). Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)

Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.

Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, ”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab,
”Katakanlah: 
‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim” setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun …” tidak terdapat satu dalam manuskrip pun. Lihat Tarooju’at no. 25)

Tanda Malam Lailatul Qadar
Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang.
Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)

Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim no. 1174)

Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,  

“Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)

Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan, “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksana kan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)

Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan bukan seluruh malam. Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/313, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah).
Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?”
Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)

Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah:
(1) Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf,
(2) Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya,
(3) Memperbanyak istighfar, dan
(4) Memperbanyak do’a.
(Lihat pembahasan di “Al Islam Su-al wa Jawab” pada link http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753)

Beri’tikaf Demi Menanti Lailatul Qadar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. Inilah penuturan ‘Aisyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu. (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim 1172)

Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika ingin beri’tikaf.
Pertama, i’tikaf harus dilakukan di masjid dan boleh di masjid mana saja.
I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),  

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).

Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya)  “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”. Perlu diketahui, hadits ini masih dipersilisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat).

Kedua, wanita juga boleh beri’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat:
(1) Diizinkan oleh suami dan
(2) Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki).

Ketiga, yang membatalkan i’tikaf adalah:
(1) Keluar masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di luar masjid),
(2) Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah: 187 di atas.

Keempat, hal-hal yang dibolehkan ketika beri’tikaf di antaranya:
(1) Keluar masjid disebabkan ada hajat seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid,
(2) Melakukan hal-hal mubah seperti bercakap-cakap dengan orang lain,
(3) Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya,
(4) Mandi dan berwudhu di masjid, dan
(5) Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Kelima, jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 (sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan.

Keenam, hendaknya ketika beri’tikaf, sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. (pembahasan i’tikaf ini disarikan dari Shahih Fiqih Sunnah, 2/150-158)

Semoga Allah memudahkan kita menghidupkan hari-hari terakhir di bulan Ramadhan dengan amalan ketaatan. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.
Sumber: Buletin At Tauhid edisi V/37
http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/08/17/menanti-malam-lailatul-qadar/

TAFSIR SURAT AL QADR : KAPANKAH LAILATUL QADR ?

Ustadz Arief B bin Usman Rozali
 
بسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}‏

1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur`an) pada malam kemuliaan.
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Pada edisi sebelumnya, telah kami sampaikan tentang Lailatul Qadr. Pada malam itu penuh dengan kebaikan dan keberkahan seluruhnya, selamat dari segala kejahatan dan keburukan apapun, setan-setan tidak mampu berbuat kerusakan dan kejahatan sampai terbit fajar di pagi harinya. Hal-hal apa saja yang berkaitan dengan Lailatul Qadr?

KAPANKAH LAILATUL QADR?

Sudah dijelaskan di atas bahwa Lailatul Qadr terjadi pada satu malam saja dari bulan Ramadhan pada setiap tahun, akan tetapi tidak dapat dipastikan kapan terjadinya [1]. Sehingga banyak hadits-hadits dan atsar-atsar yang menerangkan waktu-waktu malam, yang mungkin terjadi padanya Lailatul Qadr[2]. Di antara waktu-waktu yang di terangkan hadits-hadits dan atsar-atsar tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pada Malam Pertama Pada Bulan Ramadhan.
Ibnu Katsir berkata: “Ini diriwayatkan dari Abu Razin Al ‘Uqaili (seorang sahabat)” [3].

2. Pada Malam Ke Tujuh Belas Pada Bulan Ramadhan.
Ibnu Katsir berkata [4]: “Dalam hal ini Abu Dawud telah meriwayatkan hadits marfu’ [5] dari Ibnu Mas’ud. Juga diriwayatkan dengan mauquf [6] darinya, Zaid bin Arqam dan Utsman bin Abi Al ‘Ash [7]. Dan ini adalah salah satu perkataan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Juga diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri. Mereka semua beralasan, karena (malam ke tujuh belas Ramadhan adalah) malam (terjadinya) perang Badr, yang terjadi pada malam Jum’at, malam ke tujuh belas dari bulan Ramadhan, dan di pagi harinya (terjadilah) perang Badr. Itulah hari yang Allah katakan dalam firmanNya:

يَوْمَ الْفُرْقَانِ
(Di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan) [8].

3. Pada Malam Ke Sembilan Belas Pada Bulan Ramadhan.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum [9].

4. Pada Malam Ke Dua Puluh Satu Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata:

اِعْتَكَفَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ الأَوَّلِ مِنْ رَمَضَانَ, وَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ, فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ, فَقَالَ: (إِنَّ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ), فَاعْتَكَفَ العَشْرَ الأَوْسَطَ فَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ, فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ, فَقَالَ: (إِنَّ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ), قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيْباً صَبِيْحَةَ عِشْرِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ, فَقَالَ: ((مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَرْجِعْ, فَإِنِّيْ أُرِيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, وَإِنِّيْ نُسِّيْتُهَا, وَإِنَّهَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِيْ وِتْرٍ, وَإِنِّيْ رَأَيْتُ كَأَنِّيْ أَسْجُدُ فِيْ طِيْنٍ وَمَاءٍ)), وَكَانَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ جَرِيْدَ النَّخْلِ, وَمَا نَرَى فِيْ السَّمَاءِ شَيْئاً فَجَاءَتْ قَزَعَةٌ فَأُمْطِرْنَا, فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّيْنِ وَالْمَاءِ عَلَى جَبْهَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرْنَبَتِهِ تَصْدِيْقَ رُؤْيَاهُ.

“Rasulullah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, dan kamipun beri’tikaf bersamanya. Lalu Jibril datang dan berkata: “Sesungguhnya apa yang kamu minta (ada) di depanmu,” lalu Rasulullah berkhutbah pada pagi hari yang ke dua puluh di bulan Ramadhan dan bersabda: “Barangsiapa yang i’tikaf bersama Nabi, pulanglah. Karena sesungguhnya aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr, dan aku sudah lupa. Lailatul Qadr akan terjadi pada sepuluh hari terakhir pada (malam) ganjilnya, dan aku sudah bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan air”. Saat itu atap masjid (terbuat dari) pelepah daun pohon kurma, dan kami tidak melihat sesuatupun di langit. Lalu tiba-tiba muncul awan, dan kamipun dihujani. Lalu Rasulullah shalat bersama kami, sampai-sampai aku melihat bekas tanah dan air yang melekat di dahi dan ujung hidungnya sebagai pembenaran mimpinya”.[10]
Asy Syafi’i berkata: “Hadits ini adalah riwayat paling shahih”.[11]

5. Pada Malam Ke Dua Puluh Tiga Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abdullah bin Unais, beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((أُرِيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيْتُهَا, وَأَرَانِيْ صُبْحَهَا أَسْجُدُ فِيْ مَاءٍ وَطِيْنٍ)), قَالَ: فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ, فَصَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْصَرَفَ, وَإِنَّ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّيْنِ عَلَى جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ, قَالَ: وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ يَقُوْلُ: ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ.

“Sesungguhnya Rasulullah bersabda: ((Aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr kemudian aku dibuat lupa, dan aku bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan air)). Maka kami dihujani pada malam yang ke dua puluh tiga, Rasulullah shalat bersama kami, kemudian beliau pergi sedangkan bekas air dan tanah (masih melekat) di dahi dan hidungnya”.
Dan Abdullah bin Unais berkata: Dua puluh tiga [12].

6. Pada Malam Ke Dua Puluh Empat Di Bulan Ramadhan
Sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudri, berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ)).

“Rasulullah bersabda: ((Lailatul Qadr malam yang ke dua puluh empat))” [13].
Ibnu Katsir berkata: “Sanadnya para perawi tsiqat (kuat)” [14].

Demikian juga lafazh hadits yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Bilal.[15]
Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan perkataannya (untuk mengomentari hadits Bilal tersebut): “(Pada sanadnya ada) Ibnu Lahi’ah (dan dia) dha’if, dan (hadits ini) tidak sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari ‘Amr bin Al Harits, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abu Al Khair, dari Abu Abdillah Ash Shunaabihi berkata: “Bilal -Mu’adzin Rasulullah- telah memberitahu kepadaku bahwa Lailatul Qadr dimulai malam ke tujuh dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan). [16]” Maka hadits yang mauquf ini lebih sah, wallahu a’lam.

Demikian halnya telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, Al Hasan, Qatadah, Abdullah bin Wahb (yang semuanya mengatakan) bahwa Lailatul Qadr adalah pada malam yang ke dua puluh empat. [17]

7. Pada Malam Ke Dua Puluh Lima Di Bulan Ramadhan
Sebagaimana hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِلْتَمِسُوْهَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, فِيْ تَاسِعَةٍ تَبْقَى, فِيْ سَابِعَةٍ تَبْقَى, فِيْ خَامِسَةٍ تَبْقَى.

“Nabi bersabda: Carilah Lailatul Qadr di bulan Ramadhan, pada sembilan malam yang tersisa, tujuh malam yang tersisa, lima malam yang tersisa” [18].

8. Pada Malam Ke Dua Puluh Tujuh Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits yang di keluarkan oleh Imam Muslim dari Ubay bin Ka’b:

عَنْ عَبْدَةَ وَعَاصِمِ بْنِ أَبِيْ النُّجُوْدِ سَمِعَا زِرَّ بْنَ حُبَيْشٍ يَقُوْلُ: سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, فَقُلْتُ: إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ: مَنْ يُقِمْ الحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ القَدْرِ, فَقَالَ: رَحِمَهُ اللهُ, أَرَادَ أَنْ لاَ يَتَّكِلَ النَّاسُ, أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِيْ رَمَضَانَ, وَأَنَّهَا فَيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ, وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ. ثُمَّ حَلَفَ لاَ يَسْتَثْنِيْ أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ, فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُوْلُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ؟ قَالَ: بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

“Dari Abdah dan Ashim bin Abi An Nujud, mereka mendengar Zirr bin Hubaisy berkata: Aku pernah bertanya Ubai bin Ka’b, maka aku berkata: “Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata, barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) selama setahun, pasti akan mendapatkan Lailatul Qadr.” Ubay bin Ka’b berkata: “Semoga Allah merahmatinya, beliau bermaksud agar orang-orang tidak bersandar (pada malam tertentu untuk mendapatkan Lailatul Qadr, Pen), walaupun beliau sudah tahu bahwa malam (Lailatul Qadr) itu di bulan Ramadhan, dan ada pada sepuluh malam terakhir, dan pada malam yang ke dua puluh tujuh”. Kemudian Ubay bin Ka’b bersumpah tanpa istitsna’ [19], dan yakin bahwa malam itu adalah malam yang ke dua puluh tujuh. Aku (Zirr) berkata: “Dengan apa (sehingga) engkau berkata demikian, wahai Abu Al Mundzir? [20]” Beliau berkata: “Dengan tanda yang pernah Rasulullah kabarkan kepada kami, yaitu (matahari) terbit (pada pagi harinya) tanpa sinar (yang terik)”.[21]

Juga hadits Abdullah bin Umar:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْمَنَامِ فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ, فَقَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ, فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ)).

“Dari Ibnu Umar, bahwa beberapa orang sahabat Nabi diperlihatkan (mimpi) Lailatul Qadr pada tujuh malam terakhir, lalu Rasulullah bersabda: “Aku kira mimpi kalian telah bersesuaian pada tujuh malam terakhir. Maka barangsiapa yang ingin mendapatkannya, carilah pada tujuh malam terakhir” [22].

Demikian pula hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ قَالَ: ((لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ)).

“Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dari Nabi dalam (masalah) Lailatul Qadr bersabda: “Lailatul Qadr pada malam ke dua puluh tujuh” [23]

Ibnu Katsir berkata: “Dan ini (Lailatul Qadr adalah malam ke dua puluh tujuh) adalah pendapat sebagian ulama salaf, pendapat madzhab Ahmad bin Hanbal, dan riwayat dari Abi Hanifah. Juga telah diriwayatkan dari sebagian Salaf, mereka berusaha mencocokkan malam Lailatul Qadr dengan malam yang ke dua puluh tujuh dengan firman Allah ( هِيَ) . Karena, kata ini adalah kata yang ke dua puluh tujuh dari surat Al Qadr. Wallahu a’lam”. [24]

9. Pada Malam Ke Dua Puluh Sembilan Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah, berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ: إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِيْنَ, إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِيْ الأَرْضِ أَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى.

“Sesungguhnya Rasulullah bersabda tentang Lailatul Qadr: “Sesungguhnya malam itu malam yang ke (dua puluh) tujuh atau ke dua puluh sembilan. Sesungguhnya, malaikat pada malam itu, lebih banyak dari jumlah butiran kerikil (pasir)” [25].

Juga hadits ‘Ubadah bin Shamit:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ, أَنَّهُ سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((فِيْ رَمَضَانَ, فَالْتَمِسُوْهَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ, فإِنَّهَا فَيْ وِتْرٍ, فِيْ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ, أَوْ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ خَمْسٍ وَعِشْرِيْنِ, أَوْ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ تِسْعٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ فِيْ آخِرِ لَيْلَةٍ, فَمَنْ قَامَهَا ابْتِغَاءَهَا إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً ثُمَّ وُفِّقَتْ لَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ)).

“Dari Ubadah bin Ash Shamit, beliau bertanya kepada Rasulullah tentang Lailatul Qadr, maka Rasulullah bersabda: “Di bulan Ramadhan. Maka carilah ia pada sepuluh malam terakhir. Karena malam (Lailatul Qadr) itu (terjadi) pada malam-malam ganjil, pada malam ke dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan, atau pada akhir malam (bulan Ramadhan). Barangsiapa yang menghidupkan malam itu untuk mendapatkannya dengan penuh harapan (pada Allah) kemudian dia mendapatkannya, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang” [26].

10. Pada Malam Terakhir Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit [27] di atas, dan hadits Abu Bakrah:

عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: حَدَّثَنيِ أبِيْ قَالَ: ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ: مَا أناَ مُلْتَمِسُهَا لِشَيْءٍ سَمِعْتهُ مِنْ رَسُوْلِ الله صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: ((اِلْتَمِسُوْهَا فَيْ تِسْعٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ سَبْعٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ خَمْسٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ ثَلاَثٍ, أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ)), قَالَ: وَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّيْ فِيْ الْعِشْرِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ كَصَلاَتِهِ فِيْ سَائِرِ السَّنَةِ, فَإذا دَخَلَ الْعَشْرَ اِجْتَهَدَ.

“Dari Uyainah bin Abdurrahman, ia berkata: “Ayahku telah mengkhabarkan kepadaku, (ia) berkata, aku menyebutkan tentang Lailatul Qadr kepada Abu Bakrah, maka beliau berkata, tidaklah aku mencari malam Lailatul Qadr dengan suatu apapun yang aku dengarkan dari Rasulullah, melainkan pada sepuluh malam terakhir; karena sesungguhnya aku mendengarkan beliau berkata: ‘Carilah malam itu pada sembilan malam yang tersisa (di bulan Ramadhan), atau tujuh malam yang tersisa, atau lima malam yang tersisa, atau tiga malam yang tersisa, atau pada malam terakhir’,” berkata Abdurrahman: “Dan Abu Bakrah shalat pada dua puluh hari pertama di bulan Ramadhan seperti shalat-shalat beliau pada waktu-waktu lain dalam setahun, tapi apabila masuk pada sepuluh malam terakhir, beliau bersungguh-sungguh” [28].
Hadits yang serupa telah diriwayatkan dari Mu’awiyah [29].

Inilah waktu-waktu yang diterangkan di berbagai kitab-kitab tafsir maupun hadits. Jika kita perhatikan, banyak hadits-hadits shahih yang menerangkan, bahwa kemungkinan terbesar terjadinya Lailatul Qadr ialah malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam ke dua puluh satu dan dua puluh tujuh.

Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata: “Tidak pernah ada ketentuan (pembatasan) yang memastikan waktu terjadinya malam itu (Lailatul Qadr) pada bulan Ramadhan. Para ulama telah banyak membawakan pendapat (perkataan) dan nash-nash. Di antara perkataan (para ulama) tersebut ada yang sangat umum. (Bahwa Lailatul Qadr) mungkin terjadi pada setahun penuh, akan tetapi ini tidak mengandung hal yang baru. Perkataan ini dinisbatkan kepada Ibnu Mas’ud, tetapi (sebetulnya) maksudnya ialah (agar manusia) bersungguh-sungguh (dalam mencarinya). Ada yang mengatakan bahwa malam itu (mungkin) terjadi pada bulan Ramadhan seluruhnya. (Mereka) berdalil dengan keumuman nash-nash Al Qur`an. Ada pula yang berkata, Lailatul Qadr mungkin terjadi pada sepuluh malam terakhir. Pendapat ini lebih khusus dari sebelumnya.

Dan ada yang berpendapat, malam itu terjadi pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir tersebut. Maka dari sini, ada yang berpendapat pada malam ke dua puluh satu, ke dua puluh tiga, ke dua puluh lima, ke dua puluh tujuh, ke dua puluh sembilan, dan malam terakhir, sesuai dengan masing-masing nash yang menunjukkan terjadinya Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil tersebut. Akan tetapi, yang paling mashur dan shahih (dari nash-nash tersebut) adalah pada malam ke dua puluh tujuh dan dua puluh satu… (Dengan demikian), apabila seluruh nash yang menerangkan Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil tersebut semuanya shahih, maka besar kemungkinan Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil tersebut. Dan bukan berarti malam Lailatul Qadr tersebut tidak berpindah-pindah, akan tetapi (ada kemungkinan), dalam tahun ini terjadi pada malam ke dua puluh satu, dan pada tahun berikutnya pada malam ke dua puluh lima atau dua puluh tujuh, dan pada tahun yang lainnya lagi terjadi pada malam ke dua puluh tiga atau dua puluh sembilan, dan begitulah seterusnya. Wallahu a’lam”[30]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
Sumber: Almanhaj.or.id dipublikasikan oleh: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
_______
Footnote
[1]. Dan hal ini ada hikmahnya, sesuai dengan hadits yang telah berlalu dalam Shahih Al Bukhari (2/711 no.1919 & 5/2248 no.5705) dari Ubadah bin Shamit: (وَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْراً لَكُمْ), “dan mudah-mudahan hal itu lebih baik untuk kalian”, sehingga Ibnu Katsir berkata: “Maksudnya adalah ketidaktahuan kalian terhadap kapan terjadinya Lailatul Qadr itu lebih baik bagi kalian, karena hal itu membuat orang-orang yang betul-betul ingin mendapatkannya akan berusaha dengan sungguh-sungguh beribadah di setiap kemungkinan waktu terjadinya Lailatul Qadr tersebut, maka dia akan lebih banyak melakukan ibadah-ibadah. Lain halnya jika waktu Lailatul Qadr sudah diketahui, kesungguhan pun akan berkurang dan dia akan beribadah pada waktu malam itu saja”. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim (8/451).
[2]. Al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Bari (4/262-266) membawakan lebih dari empat puluh lima pendapat ulama yang berkaitan dengan keterangan kemungkinan waktu-waktu terjadinya Lailatul Qadr.
[3]. Tafsir Al Quran Al Azhim (8/447). Dan kami tidak mendapatkan atsar yang menerangkan hal ini, kecuali apa yang telah dinukilkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Bari (4/263) dari Ibnu Abi Ashim dari Anas berkata: “Lailatul Qadr adalah malam pertama di bulan Ramadhan”.
[4]. Di dalam tafsirnya (8/447).
[5]. Hadits marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan,perbuatan, pernyataan, ataupun sifat beliau.
[6]. Hadits mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada seorang sahabat Nabi, baik berupa perkataan,perbuatan, atau pernyataan.
[7]. Sunan Abu Dawud (2/53 no.1384). Dan Syaikh Al Albani mendha’ifkan hadits ini. (Lihat Dha’if Sunan Abi Dawud).
[8]. Al Anfaal:41.
[9]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/447) dan Fathul Bari (4/263).
[10]. HR Al Bukhari (1/280 no.780, 2/709 & 710 no.1912 & 1914, 2/716 no.1931) dan Muslim (2/826 no. 1167), dan lain-lainnya.
[11]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/447).
[12]. Muslim (2/826 no. 1167), dan Al Muwatha’ (1/320)
[13]. Musnad Ath Thayalisi (1/288).
[14]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/447).
[15]. Musnad Imam Ahmad (6/12), dan Syaikh Al Albani mendha’ifkan hadits ini (Lihat Dha’if Al Jami’ no.4957).
[16]. HR Al Bukhari (4/1621)
[17]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/448), dan lihat juga tafsir beliau pada surat Al Baqarah ayat 185 (Tafsir Al Quran Al Azhim (1/505).
[18]. HR Al Bukhari (2/711 no.1917), Abu Dawud (2/52 no.1381), Ahmad (1/231 no.2052, 1/279 no.2520, 1/360 no.3401, 1/365 no.3456), dan lain-lainnya.
[19]. Bersumpah tanpa istitsnaa’ adalah bersumpah dengan tidak menyebutkan kata “Insya Allah” setelahnya.
[20]. Kunyahnya Ubay bin Ka’b. (Lihat Taqrib At Tahdzib hal:120).
[21]. HR Muslim (2/828 no.762), Abu Dawud (2/51 no.1378), At Tirmidzi (3/160 no.793 dan 5/445 no.3351), Ahmad (5/130 no.21231).
[22]. HR Muslim (2/822 no.1165), Ahmad (2/8 no.4547, 2/27 no.4808, 2/157 no.6474) dan dishahihkan Al Albani (Shahih Al Jami’ no.2920).
[23]. HR Abu Dawud (2/53 no.1386). Dan Hadits ini dishahihkan Al Albani (Lihat Shahih Sunan Abi Dawud dan Shahih Al-Jami no.1240).
[24]. Tafsir Al Quran Al Azhim (8/448), dikatakan pula bahwa kata ( لَيْلَةُ الْقَدْرِ ) ada sembilan huruf, dan kata ini terdapat dalam surat Al Qadr sebanyak tiga kali pengulangan, maka jumlah keseluruhan hurufnya ada dua puluh tujuh, maka itulah malam Lailatul Qadr. (Lihat Adhwa’ Al Bayan 9/37).
[25]. Musnad Ahmad (2/519 no.10745 dan 2/529 no.10860), Shahih Ibnu Khuzaimah (3/332 no.2194), Musnad Ath Thayalisi (1/332 no.2545). Dan Al Albani menghasankan hadits ini. (Lihat Shahih Al Jami’ no.5473, dan Silsilah Ash Shahihah 5/240).
[26]. HR Ahmad (5/318, 321, 324 no.22675, 22793, 22815 dan 22817).
[27]. Ibid.
[28]. HR At Tirmidzi (3/160 no.794), An Nasa’i di As-Sunan Al Kubra (2/273 no.3403, 3404), Ahmad (5/36 no.20392, 5/39 no.20420), Ibnu Hibban di Shahihnya (8/442 no.3686), Al Hakim di Al Mustadraknya(1/604 no.1594), dan lain-lainnya. Dan hadits ini dishahihkan Al Albani. (Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi, Shahih Al Jami’ no.1243).
[29]. Shahih Ibnu Khuzaimah (3/330 no.2189). Dan hadits ini dishahihkan Al Albani. (Lihat Shahih Al Jami’ no.1238).
[30].Adhwa’ Al Bayan (9/35-36). Syaikh Al Utsaimin pernah ditanya: ”Apakah malam lailatul qadar tertentu pada satu malam ataukah berpindah-pindah (berubah-ubah pada setiap tahunnya) dari satu malam ke malam yang lainnya?”, beliaupun menjawab dengan jawaban yang serupa dengan perkatan Syaikh Asy Syinqithi dalam tafsirnya tersebut, yaitu berpindah-pindah/berubah-ubah pada setiap tahunnya. Wallahu a’lam. (Lihat Majmu’ Fatawa Lajnah Da’imah: 14/228-229).
Ibnu Katsir juga membawakan pendapat ulama dalam masalah ini secara panjang lebar. (Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim: 8/450).

Minggu, 28 Juli 2013

WAHDANA Wafiq Azizah SPESIAL ;)


Alhamdulillah ketemu lagu Wahdana yg ada liriknya....tinggal nyari artinya aja...heheheh.....secara gak bisa bahasa Arablah...btw, teman2 ada yg tau artinya gak nih? Kasih tau aku ya....Terima kasih sebelumnya...

Wahdana _ Uje ft Wafiq Azizah


Remembering Ustadz Jeffri Al Bukhori....Mari mengirimkan bacaan Al Fatihah untuk beliau. Semoga Allah mencucuri rahmatNya atas ruh Uje. Aamiin allahumma aamiin....

Jumat, 26 Juli 2013

Karena Itu Aku Mencintai Tuhanku....



Kemurahan Allah akan terbuka jika kita menjaga diri dari dosa dan tidak meremehkanNya. Salah satunya, Allah tidak langsung mengazab orang yang melakukan dosa. Allah justru memanggilnya untuk bertobat, menghampirinya di sepertiga malam terakhir, dan menyembunyikan kebusukan mereka dari orang lain.
Semua itu adalah karena cinta Allah kepada kita. Ia lebih memilih memanggil hambaNya daripada mengazabnya. Lalu masih adakah alasan untuk tidak membalas cintaNya yang tak terhingga itu? Karena itu aku mencintai Tuhanku...

Kamis, 25 Juli 2013

Murattal Ust. Yusuf Mansyur - QS. Al-Mulk



Rekaman Surah Al Mulk ini diambil oleh Ustadz Yusuf Mansyur pada Sholat Isya' berjamaah di Darul Qur'an. Makanya ada pembacaan Surah Al Fatihah 2 kali di dalamnya.

Mari kita hafalkan surah ini, karena begitu banyak fadilahnya, diantaranya menjaga kita ketika berada di alam kubur nanti, menjaga dari siksa kubur, menjaga dari binatang2 dan makhluk2 yang tidak kita kenal sebelumnya di dunia ini. Masih banyak lagi fadilah2 lainnya dan isinya pun Masya Allah....perlu dan kita bergerak belajar memaknai dan menerapkannya dalam kehidupan sehari2 kita, sehingga tidak hanya kita selamat di alam kubur tapi juga selamat di dunia ini.Tidak adalah yang menyelamatkan kita kecuali Allah SWT.

Kamal Uddin - Surah 55 Ar-Rahman