Minggu, 31 Agustus 2014

QURBAN TERBAIK

KUHENTIKAN kereta di hujung Ladang Fathimah. Aku masuk ke dalam kerumunan orang ramai bagi membuat pilihan haiwan yang akan kuqurbankan nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya. ”Berapa harga kambing yang itu bang ?” ujarku menunjuk kambing coklat tersebut. ” Yang coklat itu yang terbesar Encik. Kambing Mega Super Rm700 habis harga” kata si penjual.

”Tak boleh kurangkah bang.’ Ujarku cuba menawar. ”Maafla Encik, sekarangpun harga barang dah mahal”.”RM500 tak boleh bang”. Aku menimbang-nimbang, berharap penjual berubah pendirian dengan menurunkan harganya. ”Setahu saya yang mahal sekarang harga minyak, kenapa kambingpun sama naik?’. Ujarku tidak puas hati. ” Walaupun kambing tak minum minyak, tapi yang menghantarnya lori. Bahan bakarnya bukan rumput”. Penjual memulangkan paku buah keras padaku.

Geram dengan jawapan tadi, aku terpandang pada kambing yang lebih kecil dan kurus berbanding kambing tadi. ”yang ini pasti lebih murah” Fikirku dalam hati, tambahan pula aku tidak bercadang menghabiskan kesemua duitku kerana niat ingin menukar spotrim kereta dan menambah aksesori sebentar lagi.

Kutanyakan mengenai kambing itu pada penjual. ”Yang itu gred biasa, harganya RM400 sahaja”.Belum sempat aku menawar, datang seorang pakcik tua yang masih berpakaian kerjanya yang berlumpur bertanyakan mengenai kambing Mega Super tadi. Setelah dinyatakan tiada tawar menawar bagi kambing tersebut, dia lantas membelinya tanpa berfikir lagi. Katanya ia ingin yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini...”. Setelah membuat transaksi, dia kembali ke motor buruknya yang ”diparking” bersebelahan dengan Mercedes Mata Belalang ku......ALKISAH..

CUBA FIKIRKAN BERSAMA...

APAKAH yang terbayang difikiran anda apabila membaca cerita ini??? Cerita yang saya tulis ini bukanlah bertujuan untuk menyindir sesiapa. Tetapi apa yang saya cuba bawakan adalah supaya kita sama-sama berfikir mengenai senario kehidupan Umat Islam masa kini. Ada antara kita yang sanggup MELANCONG ke luar negara sebulan sekali yang mana harga tiketnya mampu membeli lebih daripada kambing Mega Super. Ada yang ”gila” BERKENDERAAN BESAR serta mementingkan aksesori kereta, mengumpul koleksi permainan golf, membeli barangan yang BERJENAMA yang mana harganya mampu membeli 2 ekor kambing Mega super sekaligus malahan lembu gred pertama sekalipun

Tetapi dalam perkara yang berkaitan Qurban, ada yang hanya membeli haiwan Qurban yang jauh di bawah kemampuan yang harganya tidak lebih dari aksesori kereta, kenderaan di dunia fana seperti ”AKU” dalam cerita di atas. Sementara untuk kenderaan di akhirat kelak, kita berfikir seribu kali saat membelinya.


Berdasarkan segala maklumat yang telah diterangkan mengenai kedua-dua ibadah ini.serta selingan cerita yang disampaikan..adakah ada yang tergerak untuk melaksanakan ibadah ini bersempena menjelangnya bulan mulia ZulHijah tidak berapa lama lagi..apakah kebaikan yang Allah janjikan dalam ibadah ini serta apakah hikmah yang wujud dengan terlaksananya ibadah ini...SUBHANALLAH..Maha Suci Allah dalam menjadikan sesuatu perintahnya dan ciptaanNya itu dengan penuh hikmah..Kebaikannya bukan sahaja dijanjikan di akhirat kelak, malah dapat dilihat di dunia juga..

Oleh yang demikian..andai rasa diri berkemampuan..maka marilah bersama-sama kita melaksanakan perintah Allah ini..LAkukanlah dengan seikhlas hati demi mengharapkan keredhaanya dunia akhirat, bukan dengan tujuan mendapat balasan di dunia semata-mata..Semoga kita semua beroleh keberkatan dan rahmat atas amalan yang dilakukan..INSYAALLAH..

-----------------
Sumber : http://qurbanaqiqah-pp-tingktn4.blogspot.com/2008/10/aqiqah-nazar.html

Jumat, 29 Agustus 2014

Penduduk Surga Pun Menyesal di Akhirat



Oleh : Hannan Putra

Imam Thabrani dalam Hadis Hasan Shahihnya pernah menulis sepenggal kisah tentang surga. Surga digambarkan mempunyai tingkatan-tingkatan yang luasnya seluas langit dan bumi.

Suatu kali, setetes minyak harum dari seorang penduduk surga yang berada di atas jatuh menetes ke surga yang ada di bawahnya. Kejadian itu menghebohkan seisi surga yang ada di bawah. Pasalnya, aroma harum dari setetes minyak harum tersebut mengalahkan wangi-wangian seisi jagad di surga bawah itu. Penduduk surga yang ada di bawah bertanya-tanya, dari manakah wangi harum itu? Semerbak wangi yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Dijawablah oleh malaikat penjaga surga, aroma yang sangat harum itu berasal dari tetesan minyak wangi dari seorang penduduk surga yang tinggal di atas mereka. Penduduk surga bawah itu pun makin penasaran, apa yang membuat orang tersebut bisa memasuki surga yang ada di atasnya? Betapa mulianya orang itu, hingga ditempatkan di surga yang ada di bagian atas.

Malaikat pun menjawab. Amal ibadah si pemilik parfum itu pada dasarnya sama dengan orang-orang yang ada di surga bagian bawah. "Namun bedanya, si pemilik parfum itu memiliki zikir yang lebih banyak dari engkau sebanyak satu kali. Maka ia pun ditempatkan di surga yang lebih tinggi," lanjut malaikat itu.

Saat itu, penyesalanlah yang meliputi penduduk surga yang di bawah. Mereka menyesal, mengapa sewaktu di dunia mereka menyia-nyiakan waktu. Andaikan saja, mereka mau lebih banyak untuk berzikir dan beribadah, tentu mereka bisa ditempatkan di surga yang lebih tinggi.

Di Akhirat, penyesalan tidak hanya datang dari penghuni neraka saja. Hadis Riwayat Thabrani ini membuktikan, penduduk surga sekalipun akan menyesali diri di dalam surga. Mereka menyesal, mengapa tidak menyibukkan diri dengan ibadah. Mereka menyesal tidak disibukkan dengan urusan-urusan akhirat, kerja-kerja positif, ibadah, serta hal-hal kebaikan. Mereka beranggapan, mereka telah meremehkan akhirat yang saat itu mereka rasakan betapa besar nilainya.

Hadis ini juga menunjukkan, betapa besar nilai sebuah zikir di hadapan Allah dan mendapat ganjaran yang besar. Dalam hadis lain disebutkan, "Ada dua kalimat yang ringan di lidah, tapi berat timbangannya (di Akhirat). Kalimat itu adalah, 'subhanallahi wabihamdihi' dan subhanallahil 'azhimi'." (HR Bukhari).

Tidakkah hadist ini dapat memotivasi mereka yang ingin memburu akhirat? Jika sebuah zikir yang enteng di lidah saja dihargai dan diberi ganjaran sedemikian besar di akhirat, maka tentu ibadah-ibadah yang lebih berat akan mendapatkan ganjaran yang lebih berat pula. Bagaimana kiranya ganjaran bagi mereka yang menunaikan haji, shalat tahajud sepanjang malam, dan orang-orang yang berjihad/berperang di jalan Allah ? Betapa besar pula ganjaran orang yang bersusah payah menuntut ilmu, menghafal Al Qur'an, mengabdikan diri pada kedua orang tua, dan berbagai aktivitas mulia lainnya. Tentu itu semua mendapatkan ganjaran lebih baik di sisi Allah SWT.

Dalam hadistnya Rasulullah saw bersabda, "Bentengilah diri kalian dari api neraka, walaupun dengan sebutir kurma." (HR.Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Bayangkan saja, dengan bersedekah hanya sebuah kurma atau memberi makan orang berbuka puasa dengan sebuah kirma bisa menjadi tameng dari api neraka. Bagaimana pulalah kiranya mereka yang bersedekah dan membangun masjid, sekolah agama, fasilitas umum, dan sarana pendidikan? Tentu mereka lebih terlindungi dari api neraka selama semua itu IKHLAS KARENA ALLAH SWT SEMATA.
---------------
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/08/13/na8g54-penduduk-surga-pun-menyesal-di-akhirat

Sabtu, 23 Agustus 2014

Cinta Terikat Doa

Oleh: Anghar Anshar Lc --

Alangkah indahnya Islam. Semua ajarannya bermuatan cinta. Cinta yang mengalir lalu bermuara pada persaudaraan dan kebersamaan. Dalam syahadat, ada cinta dan persaudaraan. Dalam shalat berjamaah, ada cinta dan kebersamaan. Dalam puasa Ramadhan, ada cinta dan perasaan senasib sepenanggungan. Dalam ibadah haji, ada cinta, persaudaraan, kebersamaan, dan kesetaraan.

Islam tak pernah mengajarkan umatnya untuk menjadi pribadi yang egois. Pribadi yang hanya mau memikirkan dirinya sendiri. Tapi, sebaliknya, Islam mengajarkan dan memerintahkan umatnya untuk menjadi pribadi yang peka, peduli sesama, penuh cinta, dan hidup berukhuwah dalam jamaah.

Rasulullah SAW menegaskan, "Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri." (HR Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik).

Ada banyak hal yang kita cintai dan usahakan bagi diri. Ada banyak kebaikan yang kita inginkan dan cari. Baik yang menyangkut urusan duniawi, terlebih lagi urusan ukhrawi. Sesuatu yang sering kita sebut dan ulang-ulang dalam tengadah tangan dan sujud panjang kita.

Sebagai Muslim, sudah sepatutnya apa yang kita cintai dan inginkan itu bisa dinikmati dan dirasakan pula oleh saudara Muslim lainnya. Kalaupun kita tak bisa membantu mewujudkannya dalam dunia nyata, setidak-tidaknya bantulah ia dengan doa kita agar kita sama-sama merasakan hal yang sama.

Berdoa merupakan hal yang gampang dan ringan. Berdoa tak memerlukan keahlian dan keterampilan khusus. Semua bisa melakukannya. Berdoa tak perlu mengeluarkan harta dan tenaga. Kapan pun dan di manapun kita bisa melakukannya. Kalau demikian adanya, sungguh pelitlah seorang Muslim manakala berat untuk mendoakan kebaikan bagi saudaranya.

Mendoakan kebaikan bagi saudara, apalagi tanpa sepengetahuannya, adalah bukti nyata ketulusan cinta. Ia juga merupakan jalan pintas untuk lebih mustajabnya doa kita. Bagaimana tidak, sedangkan para malaikat muqarrabin sendiri ikut serta mengamininya.

Rasulullah SAW menjelaskan, "Tidak ada seorang Muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama Muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga kebaikan yang sama.’" (HR Muslim No 4912).

Dalam lafaz lain disebutkan, "Doa seorang Muslim untuk saudaranya (sesama Muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa), ada malaikat yang telah diutus. Sehingga, setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, ‘Aamiin, dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.’"
--------------
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/14/08/22/naoz8814-cinta-terikat-doa

Didapat dari : Materi Kuliah Subuh yang disampaikan oleh Bapak Drs. A. Muis di Masjid Nurul Hikmah Jl. Darmapala Palembang tanggal 24 Agustus 2014.

Senin, 11 Agustus 2014

Hukum Jabat Tangan dengan Wanita Non Mahram

 Wanita selalu menggoda, namun kadang pula godaan juga karena si pria yang nakal. Islam selalu sendiri mengajarkan agar tidak terjadi kerusakan dalam hubungan antara pria dan wanita. Oleh karenanya, Islam memprotek atau melindungi dari perbuatan yang tidak diinginkan yaitu zina. Karenanya, Islam mengajarkan berbagai aturan ketika pria-wanita berinteraksi. Di antara adabnya adalah berjabat tangan dengan wanita non mahram.

Pendapat Ulama Madzhab Tentang Berjabat Tangan dengan Non Mahram

Mengenai hukum bersalaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, hal ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Ada di antara mereka yang membedakan antara berjabat tangan dengan wanita tua dan wanita lainnya.
Bersalaman dengan wanita tua yang laki-laki tidak memiliki syahwat lagi dengannya, begitu pula  laki-laki tua dengan wanita muda, atau sesama wanita tua dan laki-laki tua, itu dibolehkan oleh ulama Hanafiyah dan Hambali dengan syarat selama aman dari syahwat antara satu dan lainnya. Karena keharaman bersalaman yang mereka anggap adalah khawatir terjerumus dalam fitnah. Jika keduanya bersalaman tidak dengan syahwat, maka fitnah tidak akan muncul atau jarang.

Ulama Malikiyyah mengharamkan berjabat tangan dengan wanita non mahram meskipun sudah tua yang laki-laki tidak akan tertarik lagi padanya. Mereka berdalil dengan dalil keumuman dalil yang menyatakan haramnya.

Sedangkan ulama Syafi’iyyah berpendapat haramnya bersentuhan dengan wanita non mahram, termasuk pula yang sudah tua. Syafi’iyah tidak membedakan antara wanita tua dan gadis.

Sedangkan berjabat tangan antara laki-laki dengan gadis yang bukan mahramnya, dihukumi haram oleh ulama madzhab yaitu Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hambali dalam pendapat yang terpilih, juga oleh Ibnu Taimiyah. Ulama Hanafiyah lebih mengkhususkan pada gadis yang membuat pria tertarik. Ulama Hambali berpendapat tetap haram berjabat tangan dengan gadis yang non mahram baik dengan pembatas (seperti kain) atau lebih-lebih lagi jika tidak ada kain. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 37: 358-360)

Dalil yang Jadi Pegangan

Pertama, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata,

عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَتِ الْمُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُمْتَحَنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يَا أَيُّهَا النَّبِىُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ بِالْمِحْنَةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». وَلاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ. غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ – قَالَتْ عَائِشَةُ – وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى النِّسَاءِ قَطُّ إِلاَّ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَا مَسَّتْ كَفُّ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَفَّ امْرَأَةٍ قَطُّ وَكَانَ يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ « قَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». كَلاَمًا.

“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka.  Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).

Kedua, hadits Ma’qil bin Yasar.
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).


Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya. Yang diancam dalam hadits di atas adalah menyentuh wanita. Sedangkan bersalaman atau berjabat tangan sudah termasuk dalam perbuatan menyentuh.


Ketiga,dalil qiyas (analogi).

Melihat wanita yang bukan mahram secara sengaja dan tidak ada sebab yang syar’i dihukumi haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena banyak hadits yang shahih yang menerangkan hal ini. Jika melihat saja terlarang karena dapat menimbulkan godaan syahwat. Apalagi menyentuh dan bersamalan, tentu godaannya lebih dahsyat daripada pengaruh dari pandangan mata. Berbeda halnya jika ada sebab yang mendorong hal ini seperti ingin menikahi seorang wnaita, lalu ada tujuan untuk melihatnya, maka itu boleh. Kebolehan ini dalam keadaan darurat dan sekadarnya saja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,

كل من حرم النظر إليه حرم مسه وقد يحل النظر مع تحريم المس فانه يحل النظر إلى الاجنبية في البيع والشراء والاخذ والعطاء ونحوها ولا يجوز مسها في شئ من ذلك

“Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang –tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu. Namun sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan tadi. ” (Al Majmu’: 4: 635)

Dalil yang menyatakan terlarangnya pandangan kepada wanita non mahram adalah dalil-dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur: 30)

Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur: 31)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216)

Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahramnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216-217)

Dari Jarir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 2159)

Khatimah

Dalil-dalil di atas tidak mengecualikan apakah yang disentuh adalah gadis ataukah wanita tua. Jadi, pendapat yang lebih tepat adalah haramnya menyentuh wanita yang non mahram, termasuk pula wanita tua. Realitanya yang kita saksikan, wanita tua pun ada yang diperkosa. Sedangkan untuk gadis, no way, tetap dinyatakan haram untuk menyentuh dan berjabat tangan dengannya.

Hal di atas menunjukkan bahwa wanita benar-benar dimuliakan dalam Islam sehingga tidak ada yang bisa macam-macam dan berbuat nakal. Karena itulah wanita, benar-benar dimuliakan dalam ajaran Islam. Wanita dalam Islam adalah ibarat ratu. Adakah yang berani nyelonong-nyelonong dan menjabat tangan seorang ratu ? Tentu saja tidak berani. Demikianlah mulianya wanita di dalam Islam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad, hanya Allah yang memberi taufik untuk menjauhi yang haram.

@ KSU, Riyadh, KSA, 23 Rabi’ul Awwal 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-jabat-tangan-dengan-wanita-non-mahram.html

Jumat, 08 Agustus 2014

MERAIH RIDHA ALLAH

Bismillaahirrahmanirrahiim
(Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Saudaraku,  semoga selalu dalam berkah dan rahmat Allah.
Di awal pesan7menit ini, mari kita ucapkan, Segala puji hanya untuk Allah, karena segala puji terhimpun hanya untuk Dia, Dialah yang Maha Suci dan Dialah Yang Maha Besar dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Kepada Nya kita tunduk dan selalu melaksanakan semuan perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya., sebab Dia tiada lalai dari apa yang kita kerjakan. Sholawat  dan  salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi  Muhammad Saw, juga untuk seluruh keluarganya, para sahabatnya dan seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Saudaraku kaum muslimin, yang selalu dalam ridha Allah
Setiap hari, bahkan setiap detik kita mengharapkan ridha Allah. Tetapi ridha Allah tidak datang begitu saja dia harus diraih baik  dengan hati yang  paling  dalam, dengan lisan, dan dengan amalan kebajikan.  Mengharap  ridha Allah adalah desah dzikir setiap orang muslim. Ridha Allah  adalah pakaian seorang mukmin yang melekat pada tubuhnya dalam kondisi apapun yang menimpa pada dirinya.  Ridha diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk (maksiyat), baik lahir ataupun bathin.  Dalam hal meraih keridhaan,  Allah swt berfirman, 

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
 (Qs Al Baqarah (2) : 207)
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, memberi gambaran tentang seseorang yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata untuk meraih ridha Allah dalam seluruh totalitas kehidupannya. Dikisahkan seorang sahabat Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi yang rela  mengorbankan   seluruh    yang dimilikinya karena tekanan kaum Quraisy agar ia diperkenankan untuk berhijrah ke Madinah. Shuhaib dihalangi oleh para pemuka Quraisy untuk berhjrah melainkan bila ia menyerahkan seluruh hartanya kepada mereka tanpa tersisa sedikit pun. Dengan tanpa ragu-ragu, ia meninggalkan hartanya di Mekah semata-mata mengharapkan ridha Allah dari perbuatan hijrahnya yang mulia tersebut. Setelah sampai di Madinah dan bertemu dengan Rasulullah, beliau memujinya dengan ungkapannya yang masyhur sungguh telah beruntung Shuhaib dalam riwayat lain: sungguh telah beruntung perniagaannya.
Masih dalam konteks ayat ini, Ar-Razi mengisahkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengutus pasukan dan berhasil mengepung benteng pertahanan mereka. Karena tidak mampu menembus benteng tersebut, tiba-tiba seseorang berinisiatif untuk menerjunkan dirinya di tengah-tengah musuh untuk membuka pertahanan mereka sampai akhirnya orang tersebut menemui ajalnya. Setelah pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan Umar bin Khattab atas keberanian sahabat tersebut, beberapa pasukan mengomentari apa yang dilakukan oleh orang tersebut yang dianggap membinasakan diri sendiri. Umar bin Khattab menampik pandangan mereka dan mengatakan: “Kalian telah berdusta dengan ucapan kalian itu. Semoga Allah merahmatinya”. Kemudian Umar membaca ayat ini untuk membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh sahabatnya tersebut.
Dua kisah diatas adalah kisah para sahabat, meskipun tidak sama dengan kondisi sekarang tetapi paling tidak kita dapat merenung begitu hebatnya untuk meraih  keridhaan Allah,  sehingga harta dan bahkan jiwanya siap dikorbankan. Mereka berkeyakinan dengan meraih ridha Allah, segala kebaikan, kemuliaan dan keberkahan hidup akan senantiasa menyertainya dan Allah akan senantiasa hadir dengan sifat Penyantun yang ditegaskan oleh kalimat terakhir ayat ini:
“Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hambaNya (yang rela mengorbankan segalanya untuk Allah)”
Para ulama banyak membahas tentang ridha, salah satunya Yahya bin Mu’adz bahwa beliau pernah ditanya, “ Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha? Maka dia menjawab,” Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, “ (1) Jika Engkau memberiku, aku menerimanya. (2) Jika Engkau menahan pemberian kepadaku, maka aku ridha. (3) Jika Engkau membiarkan aku, maka akan tetap beribadah. (4) Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya.
Untuk memantapkan diri sekaligus mengharapkan ridha Allah Swt, Rasulullah Saw sangat  menganjurkan untuk berdzikir, di dalam sebuah hadits dari Abu Salmah r.a khadim Nabi saw,  sesungguhnya ia berkata., “ Rasulullah Saw bersabda,” Barangsiapa membaca pada waktu pagi dan pada sore hari,  
Radhitu billahi rabba), wabil islami dina(n) wabi Muhammadin nabiyyaw wa rasulaa(n).
  Aku ridha Allah sebagai Rab ku, dan Islam sebagai  agamaku,  dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku) wajiblah Allah meridhai dia (HR Abu Dawud, Turmuzi, Nasai dan al Hakim)
Saudaraku yang dimuliakan Allah.
Dzikir ini adalah pernyataan sikap setiap muslim, perlu direnungkan dan diwujudkan. Renungan yang dapat diperpanjang seakan-akan lautan tidak bertepi dan diwujudkan dalam amal setiap denjut jantung dan setiap hirupan nafas sampai nafas yang terakhir. Mari kita coba  renungkan :
Ridha Allah mengandung arti ridha mencintaiNya semata, ridha menyembahnya semata, takut dan berharap kepadanya, merendahkan diri kepadanya, beriman kepada pengaturan dan menyukainya, bertawakkal dan meminta pertolongan kepada-Nya, dan ridha kepada apa yang telah diperbuatnya, maka inilah yang dimaksud dengan ridha kepada Allah. Hal ini sesui dengan firman Allah Swt. “.
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
(Qs Al Bayyinah : 8)
Ridha kepada Allah, menurut para sufi; mengandung makna yang luas, diantaranya: Tidak menentang pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.
Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis,
lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan.
Ridha dengan Islam sebagai agama artinya apa saja yang di dalam Islam, baik berupa perintah dan larangan, maka sesungguhnya kita meridhainya secara keseluruhan, tanpa ada rasa rasa keberatan sedikitpun dalam diri kita untuk menerimanya, melainkan kita pasrah menerima nya dengan hal tersebut dengan kaaffah. Allah Swt berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaaffah dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian”. (Al-Baqarah: 208)
Berislam secara kaaffah seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam ayat ini berarti melaksanakan Islam secara keseluruhan, tidak sepotong-potong mencari yang mudah dan meninggalkan yang sukar. Kemudian harus meninggalkan segala bentuk langkah syaitan secara totalitas juga. Terbawa dan hanyut dalam salah satu dari jerat syaitan akan mengurangi totalitas keislaman kita. Karenanya, mengikuti langkah-langkah syaitan dimaknai oleh para ulama dalam arti setiap perbuatan maksiat kepada Allah swt.
Ridha kepada nabi Muhammad Saw sebagai nabi artinya kita harus beriman kepadanya, patuh kepada-nya, dan pasrah kepadanya, dan hendaknya beliau Saw harus kita  pentingkan daripada diri anda sendiri. Untuk itu seandainya beliau Saw masih ada, kemudian ada sebuah anak panah yang melesat mengarah padanya, kita wajib melindunginya meskipun mengorbankan nyawa kita sendiri. Kita rela mati membelanya. kita ridha dengan tuntunan dan sunnahnya. Jika ridha kepada sunnahnya, berarti kita tidak mau merujuk kepada siapapun, kecuali hanya kepadanya.  Allah Swt berfirman,
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-sau-dara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan ru-mah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
(Qs At Taubah : 24)
Ridha kepada Allah, ridha kepada Islam dan ridha kepada Nabi Muhammad merupakan satu kesatuan yang utuh. Tidaklah mungkin ridha kepada Allah tetapi tidak berislam dan bernabikan Muhammad seperti laiknya orang Nasrani. Begitu juga ridha dengan Islam tetapi tidak patuh Allah dan mengangkat nabi lain seperti kaum Ahmadiyah. Tidaklah mungkin ridha kepada Rasulullah tetapi masih meragukan perintah dan larangan Allah swt yang termuat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Demikianlah antara lain sikap kita keseharian yaitu hati dipenuhi ridha kepada Allah, kepada Islam dan kepada nabi Muhammad. Bagi para sufi sampai menyatakan walaupun berdo’a di syariatkan oleh agama, tidak merasa pantas lagi meminta ini dan itu kepada Allah. karena mereka mencapai taraf kerohanian yang tinggi, Tetapi kita terus berdo’a kepada Allah tidak putusnya doa kebaikan hiduo di dunia dan kehidupan di akhirat.
Saudaraku sebelum aku akhiri pesan7menit ini mari kita simak hadits Qudsi yang berhubungan dengan keridhaan.  “Allah berfirman kepada Rasul Saw: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.
      Wallahu ‘alam bish shawab