Jumat, 08 November 2013

Amalan di Bulan Muharram

 
by hadi, November 26, 2011 

Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram:

Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان
“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».
Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا».
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)

Keterangan:

Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم)) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار
Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:

كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه
Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)

Adakah anjuran puasa tanggal 11 Bulan Muharram?

Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
“Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).

Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:

صوموا قبله يوماً وبعده يوماً
“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”

Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”).

Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:

Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.

Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.

Imam Ahmad mengatakan:
Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).

Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:
  1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
  2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
  3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
(Zadul Ma’ad, 2/72)

Bolehkah puasa tanggal 10 saja?

Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.

Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.

Beliau menjawab:
Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram…..

Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)

Sumber : http://www.konsultasisyariah.com/amalan-di-bulan-muharram/

Selasa, 05 November 2013

Multidimensi di Balik Hijrah

REPUBLIKA.CO.ID,
Bekali hijrah dengan ilmu dan akidah yang kuat.

Selasa (5/11), 1434 Hijriyah akan berlalu maka bergantilah Tahun Baru Hijriyah menjadi 1435 H. Sistem kalender ini bukan sebatas penanggalan biasa.

Dahulu kala, Khalifah Umar bin Khatab memberlakukan penanggalan ini merujuk pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW, dari Makkah ke Madinah. Ada pesan berharga di balik peristiwa itu.

Tiga aspek utama di balik hijrah, kata Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) KH Prof Maman Abdurrahman, yakni aspek spiritual, ritual, dan sosial.

Di level spiritual, hijrah di masa Rasul merupakan sebuah peristiwa menuju peningkatan keimanan kepada Allah SWT. “Ketika itu, hijrah adalah perintah,” ujarnya.

Mematuhi perintah Allah tidak lain agar menambah derajat keimanan mereka saat itu. Selain itu, melalui hijrah, Rasul dan para sahabat ingin menunjukkan taqarrub, mendekatkan diri dari tingkat yang sudah mapan ke arah yang lebih tinggi.

Hijrah juga, kata Maman, menyempurnakan ritual ibadah umat Islam. Usai berhijrah ke Madinah, kewajiban Muslim bertambah untuk menyempurnakan Islam.

Seperti, kewajiban puasa dan berzakat fitrah saat Ramadhan serta berhaji. “Ayat terkait kewajiban tersebut turun di Madinah (Madaniyah),” katanya.

Selain menyempurnakan ibadah, hijrah juga berkaitan dengan aspek sosial. Kewajiban melaksanakan zakat bagi umat Islam berdampak pada peningkatan kesejahteraan umat karena ekonomi yang merata.

Begitu juga dengan peradaban politik, kata Maman, mulai tertata. Islam mampu membuat Piagam Madinah dengan komunitas non-Muslim di Madinah.

Perjanjian itu melarang bangsa Yahudi untuk menduduki atau bermukim di Madinah. Meskipun memang nyatanya saat ini umat Yahudi ada yang nekat diam-diam bermukim di Madinah.

Maman menegaskan, peristiwa hijrah tersebut merupakan titik tolak kemajuan Islam. Sejak peristiwa itu, Islam berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok dunia hingga kini.

Sedangkan, dalam konteks pribadi Muslim, sambung Maman, hijrah berarti berpindah ke arah yang lebih baik dan menjauhi setiap larangan Allah SWT.

Segala perbuatan baik yang selama ini dilakukan oleh setiap Muslim harus lebih ditingkatkan. Bila masih melanggar larangan-Nya maka bersegeralah tinggalkan.

Hijrah individu itu bisa ditempuh dengan peningkatan ilmu akidah dan ibadah. Dan, jauhilah ingar-bingar kehidupan duniawi, hiduplah dalam kesederhanaan.
Lihatlah sebuah ironi. Pemimpin negara dan tak sedikit orang, justru menghamburkan uang untuk hal tak berfaedah.

Ini bertentangan dengan surah al-A’raf ayat 31. “Dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan,” kata Maman mengutip sebuah ayat. Ia mengingatkan, sifat boros itu merupakan sifat dari koloni setan.

Ini seperti penegasan surah al-Isra’ ayat 26-27.  “Dan, hijrah menuju kesederhanaan akan menyelamatkan dari kehancuran. Sebab, bermewah-mewahan berdampak pada kehancuran sebuah bangsa. Simak surah al-Israa’ ayat 16,” ujarnya menambahkan.

Hijrah, kata Ketua Pimpinan Pusat Hidayatullah KH Dr Abdul Mannan, adalah kembalinya hidup dalam kesederhanaan. Ia memandang banyak pemimpin maupun pejabat dan umat Islan pada umumnya telah terjebak dalam gaya hidup yang bermewah-mewahan.

Berbeda dengan masa Rasulullah. Memaknai hijrah dari masa dan tempat yang tidak baik ke tempat yang lebih baik. Karena berdakwah di Makkah memiliki banyak cobaan dan ujian maka Rasul dan umatnya berhijrah ke Madinah sekaligus disambut kebahagiaan oleh penduduknya.

Hijrah, kata dia, mesti dimaknai seorang Muslim saat ini dengan mengubah kehidupan yang miskin menjadi sejahtera, tidak berpendidikan menjadi berpendidikan.

Setiap individu harus mampu berhijrah dengan mengubah pemikiran menuju Islam yang integral mulai dari diri sendiri dan keluarga. “Hijrah saat ini dapat diartikan dengan mengubah nasib,” ujarnya

Soal kiat berhijrah, Mannan mengatakan, seorang Muslim harus dapat memenuhi perintah Allah SWT dan menjalani teladan Rasul. Perintah dan larangan telah tercantum jelas di dalam Alquran dan hadis. Umat Islam hanya perlu berpegang kepada dua hal itu saja.

Adapun tantangan terbesar dari kesuksesan hijrah, ia mengungkapkan, yakni kemalasan. Kemalasan hanya dapat disembuhkan dari dalam diri setiap Muslim. Bangkitkan motivasi kesadaran untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Mulakan dari yang terkecil, seperti shalat fardu tepat waktu. Lalu, sempurnakan dengan beristikamah. Konsistensi itu bisa dipupuk dengan menjaga hasrat dan nafsu duniawi. “Tetap fokus pada kehidupan akhirat,” katanya.



Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/11/02/mvmakf-multidimensi-di-balik-hijrah


Materi Kuliah Subuh yang disampaikan oleh Bapak Drs. A. Muis di Masjid Nurul Hikmah Jl. Darmapala Palembang tanggal 06 Nopember 2013.


Minggu, 03 November 2013

Takut Kepada Allah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul WahabSetiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari takut digigit ular, takut kehilangan jabatan, hingga takut kepada Tuhan.

Dalam psikologi agama, sebagian manusia mencari dan membutuhkan Tuhan, antara lain karena adanya rasa takut dalam diri terhadap kekuatan gaib.

Manusia takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam raya ini, seperti gunung meletus, angin puting beliung, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya, sehingga membuatnya mencari pelindung, pemberi rasa aman dan keselamatan hidupnya.

Secara psikologis, takut adalah kondisi psikis (kejiwaan) yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, ketakutan, was-was, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya  itu jika terjadi pada dirinya. Takut  bisa saja menjadi energi positif, jika dimaknai secara postif, demikian pula sebaliknya.

Kata takut dalam al-Qur’an, antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah. Kata khauf lebih umum daripada kata khasyyah. Khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik, dan disertai pengetahuan (ma’rifah).
Khasyyah disematkan kepada ulama (ilmuwan, saintis yang takut kepada Allah). Hal ini seperti diisyaratkan oleh firman-Nya: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28)

Takut dalam arti khasyyah hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu seperti Nabi SAW sesuai dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian”.
Sedangkan takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dan lari dari yang ditakuti. Akan tetapi, khasyyah  merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan akan yang ditakuti dan kepada kebesaran-Nya.

Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya.

Jika rasa takutnya meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, melainkan juga melengkapinya dengan amalan sunnah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area, abu-abu, samar-samar status hukumnya).

Setidak-tidaknya ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin, yaitu, pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.

Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajiban kepada Allah SWT dan kepada sesama. Ketiga,  takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya, sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka.

Keempat,  takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia. Kelima,  takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau kematian yang buruk). Keenam, takut azab kubur, pengadilan dan azab Allah di akhirat kelak.

Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah itu dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.

Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu.

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)

Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul.

Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. an-Nisa’ [4]: 9)

Di atas semua itu, memaknai takut secara positif dapat mengantarkan hamba meraih dan merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih surga-Nya.

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)

Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya, sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan,  takut kepada atasan, atau takut tidak memiliki masa depan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber : Materi Kuliah Subuh yang disampaikan oleh Bapak Drs. A. Muis di Masjid Nurul Hikmah Jl. Darmapala Palembang tanggal 04 Nopember 2013.