Rabu, 16 Juli 2014

Hikmah Berbakti Kepada Orangtua

Selain seorang nabi, Sulaiman a.s. juga seorang raja terkenal. Atas izin Allah ia berhasil menundukkan Ratu Balqis dengan jin ifrit-Nya. Dia dikenal sebagai manusia dapat berdialog dengan segala binatang. Dikisahkan, Nabi Sulaiman sedang berkelana antara langit dan bumi hingga tiba di satu samudera yang bergelombang besar. Untuk mencegah gelombang, ia cukup memerintahkan angin agar tenang, dan tenang pula samudera itu.

Kemudian Nabi Sulaiman memerintahkan jin Ifrit menyelam ke samudera itu sampai ke dasarnya. Di sana jin Ifrit melihat sebuah kubah dari permata putih yang tanpa lubang, kubah itu diangkatnya ke atas samudera dan ditunjukkannya kepada Nabi Sulaiman. Melihat kubah tanpa lubang penuh permata dari dasar laut itu Nabi Sulaiman menjadi terlalu heran, "Kubah apakah gerangan ini?" fikirnya.

Dengan minta pertolongan Allah, Nabi Sulaiman membuka tutup kubah. Betapa terkejutnya dia begitu melihat seorang pemuda tinggal di dalamnya.
"Sipakah engkau ini? Kelompok jin atau manusia?" tanya Nabi Sulaiman keheranan.
"Aku adalah manusia," j awab pemuda itu perlahan.

"Bagaimana engkau boleh memperolehi karomah semacam ini?" tanya Nabi Sulaiman lagi.
Kemudian pemuda itu menceritakan riwayatnya sampai kemudian memperolehi karomah dari Allah boleh tinggal di dalam kubah dan berada di dasar lautan.

Diceritakan, ibunya dulu sudah tua dan tidak berdaya sehingga dialah yang memapah dan menggendongnya kemana pun ibunya pergi. Si anak selalu berbakti kepada orang tuanya, dan ibunya selalu mendoakan anaknya. Salah satu doanya itu, ibunya selalu mendoakan anaknya diberi rezeki dan perasaan puas diri. Semoga anaknya ditempatkan di suatu tempat yang tidak di dunia dan tidak pula di langit. "Setelah ibuku wafat aku berkeliling di atas pantai. Dalam perjalanan aku melihat sebuah terbuat dari permata. Aku mendekatinya dan terbukalah pintu kubah itu sehingga aku masuk ke dalamnya." Tutur pemuda itu kepada Nabi Sulaiman.
Nabi Sulaiman yang; dikenali boleh berjalan di antara bumi dan langit itu menjadi kagum terhadap pemuda itu. "Bagaimana engkau boleh hidup di dalam kubah di dasar lautan itu?" tanya Nabi Sulaiman ingin mengetahui lebih lanjut.

"Di dalam kubah itu sendiri, aku tidak tahu di mana berada. Di langitkah atau di udara, tetapi Allah tetap memberi rezeki kepadaku ketika aku tinggal di dalam kubah," jawab Pemuda itu.
"Bagaimana Allah memberi makan kepadamu?"

"Jika aku merasa lapar, Allah menciptakan pohon di dalam kubah, dan buahnya yang aku makan. Jika aku merasa haus maka keluarlah air yang teramat bersih, lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu,"jelas pemuda itu.
"Bagaimana engkau mengetahui perbedaan siang dan malam?" tanya Nabi Sulaiman a.s yang merasa semakin heran.

"Bila telah terbit fajar, maka kubah itu menjadi putih, dari situ aku mengetahui kalau hari itu sudah siang. Bila matahari terbenam kubah akan menjadi gelap dan aku mengetahui hari sudah malam," tutur pemuda tersebut.
Selesai menceritakan kisahnya, pemuda itu lalu berdoa kepada Allah, maka pintu kubah itu tertutup kembali, dan pemuda itu tetap tinggal di dalamnya. Itulah keromah bagi seorang pemuda yang berbakti kepada kedua orang tuanya.

Dikutip dari 115 Kisah Teladan Penuh Hikmah [ ALLAH TIDAK PERNAH TIDUR ]
Pnerbit : Karta Media
Wendy Setyawan, S.IP

---------------------------
 Sumber online : http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/hikmah/1119/hikmah-berbakti-kepada-orangtua.html

Sabtu, 12 Juli 2014

Inilah Tanda-tanda Matinya Hati


Hati (Ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Muhammmad Arifin Ilham
Hati adalah tempat mangkalnya berbagai perasaan, tumbuh kembang antara kebaikan dan keburukan. Hati juga menjadi sumber ilham dan permasalahan, tempat lahirnya cinta dan kebencian, serta muara bagi keimanan dan kekufuran.

Hati juga sumber kebahagiaan jika sang pemiliknya mampu membersihkan berbagai kotorannya yang berserakan, namun sebaliknya ia merupakan sumber bencana jika sang
empunya gemar mengotorinya.

Hati yang kotor hanya akan menyebabkan kapasitas ruangnya menjadi pengap, sumpek, gelap, dan bahkan mati. Jika sudah mati seluruh komponen juga akan turut mati. Dalam makna yang sama, Abu Hurairah RA berkata, “Hati ibarat panglima, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika panglima itu baik maka akan baik pulalah tentaranya. Jika raja itu buruk maka akan buruk pula tentaranya.”

Pada akhirnya kita bisa mengenali dalam keadaan apa hati seseorang itu mati. Di antaranya adalah pertama, taarikush shalah, meninggalkan shalat dengan tanpa uzur atau tidak dengan alasan yang dibenarkan oleh syar’i. (QS Maryam [19]: 59).

Imbas dari seringnya meninggalkan shalat adalah kebiasaan memperturutkan hawa nafsu. Dan, kalau sudah demikian, dia akan menabung banyak kemaksiatan dan dosa. Ibnu Mas’ud menafsirkan kata ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut dengan sebuah aliran sungai di Jahanam (neraka) yang makanannya sangat menjijikkan. Bahkan, tempatnya sangat dalam dan diperuntukkan bagi mereka yang membiarkan dirinya larut dalam kemaksiatan.

Kedua, adz-dzanbu bil farhi, melakukan kemaksiatan dan dosa dengan bangga. Alih-alih merasa berdosa dan menyesal, justru si pemilik hati yang mati, ia teramat menikmati kemaksiatan dan dosanya. (QS al-A’raf [7]: 3).

Ketiga, karhul Qur'an, benci pada Alquran. Seorang Muslim, jelas memiliki pedoman yang menyelamatkan, yaitu Alquran. Tapi, justru ia enggan berpedoman dan mencari selamat dengan kitab yang menjadi mukjizat penuntun sepanjang zaman ini. Bahkan, ia membencinya dan tidak senang terhadap orang atau sekelompok orang yang berkhidmat dan bercita-cita luhur dengan Alquran.

Keempat, hubbul ma'asyi, gemar bermaksiat dan mencintai kemaksiatan. Nafsu yang diperturutkan akan mengantarkan mata hatinya tertutup, sehingga susah mengakses cahaya Ilahi. Sehingga, ia lebih senang maksiat daripada ibadah.

Kelima, asikhru, sibuk hanya mempergunjing dan buruk sangka serta merasa dirinya selalu lebih suci. Keenam, ghodbul ulamai, sangat benci dengan nasihat baik dan fatwa-fatwa ulama. Berikutnya, qolbul hajari, tidak ada rasa takut akan peringatan kematian, alam kubur, dan akhirat.

Selanjutnya, himmatuhul bathni, gila dunia bahkan tidak peduli halal haram yang penting kaya. Anaaniyyun, masa bodoh terhadap keadaan dan urusan orang lain. Keluarganya menderita, dia tetap saja cuek. Al-intiqoom, pendendam hebat, al-bukhlu, sangat pelit, ghodhbaanun, cepat marah, angkuh, dan pendengki. Na’udzubillah. Semoga kita semua dijaga dari hati yang mati.
--------------
 Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/04/21/m2td83-inilah-tandatanda-matinya-hati



Didapat dari : Materi Kuliah Subuh yang disampaikan oleh Bapak Drs. A. Muis di Masjid Nurul Hikmah Jl. Darmapala Palembang tanggal 13 Juli 2014.
 

Senin, 07 Juli 2014

Mengapa Rasulullah Melarang Kita Mencabut Uban?


SELALU ada yang tak pernah terpikirkan oleh akal biasa kita sebagai manusia yang hidup di zaman penuh teknologi kita menyangkut hampir semua perintah Rasulullah yang menyangkut ilmu pengerahuan. Misalnya saja, larangan seorang Muslim yang tidak boleh minum sambil berdiri. Atau harus tidur dengan posisi tertentu. Begitu juga dengan keajaiban yang tersimpan di setiap helai rambut yang sudah memutih, alias uban.

Hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban—walaupun sehelai—dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya,” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Muhammad bin Hibban At Tamimi rahimahullah, yang lebih dikenal dengan Ibnu Hibban, dalam kitab Shahihnya menyebutkan pembahasan “Hadits yang menceritakan bahwa Allah akan mencatat kebaikan dan menghapuskan kesalahan serta akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia.”

Lalu Ibnu Hibban membawakan hadits berikut. 

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat,” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Nah, di tahun 2012, Ismael Galvan Galvan dari Museo Nacional de Ciencias Naturales, Spanyol melakukan studi, tentang uban. Dari hasil para peneliti itu, ternyata uban merupakan tanda Anda akan memiliki hidup panjang dan sehat. Namun kabar buruk bagi Anda yang memiliki rambut merah, karena ini terkait tingkat yang lebih tinggi untuk mengidap kanker.

“Pada manusia, melanin kulit, rambut dan bulu merupakan jenis yang sama. Hal ini membatasi pengetahuan pada konsekuensi fisiologi pigmentasi,” kata Galvan.
Uban menandakan absennya melanin. Artinya, uban merupakan tanda hidup yang sehat.
“Jauh dari tanda terkait penuaan, uban mengindikasikan kondisi yang baik,” pungkasnya.
Jadi, Anda sudah beruban? Subhanallah…
-------------------
Sumber : http://www.islampos.com/mengapa-rasulullah-melarang-kita-mencabut-uban-10125/

Sistem Pendidikan Suku Mauritaniyyah Yang Menakjubkan

Ibnu 'Amr Ad Dimakiy dari ustadz 'Abdullah Zaidi bercerita kepadaku...

"Anta tau tidak kalau ada satu suku yang sangat disegani oleh masyaikh saudi, namun berasal dari luar As Su'udiyyah?"

"Suku apa itu ustadz?"

"Pernah dengar Mauritaniyyah?"

"Belum ustadz, kenapa mereka disegani ustadz?"

"Karena kebiasaan mereka dalam menuntut 'ilmu yang sangat luar biasa... Jika ada seorang anak kecil disana berumur 7 tahun belum hafal qur'an itu akan sangat memalukan kedua orangtuanya... Bahkan 7 dari 13 doktor di MEDIU berasal dari Mauritaniyyah."


 

Anak-anak suku Mauritania menunjukkan catatannya
yang ditulis di kayu "Lawhah"

"Masya Allah, bagaimana sistem pengajaran mereka...???


"Pertanyaan anta jamil... memang kita bukan hanya harus takjub, tapi kita harus meniru sistem yang mereka gunakan. jadi begini akhi...


Mereka itu mendapatkan pendidikan Al Qur'an bukan hanya sejak kecil, tapi sejak BAYI...

Ketika ada seorang ibu hamil, dia tidak akan menghabiskan waktu HANYA tidur di kasur. ibu tersebut akanMENYIBUKKAN DIRI untuk MUROJA'AH HAFALANNYA hingga ibu itu TERASA LETIH karenanya...


Setelah bayi itu lahir, keluarga yang akan muroja'ah. Misalkan seorang anak akan muroja'ah kepada bapak atau ibunya, maka DIWAJIBKAN untuk dia muroja'ah di depan adiknya yang masih bayi pula. Jadi ketika ibunya sedang menggendong bayi tersebut, kakaknya muroja'ah kepada ibunya. Kalaupun suara tangis bayi mengganggu kakaknya ya itulah tantangan untuk anak tersebut..."
 

"Masya Allah, lalu sistem ketika menginjak remaja gimana ustadz?"


"Ahsanta, ketika mereka berusia 7 tahun ke atas, mereka akan pergi kepada masyaikh untuk belajar agama. mereka TIDAK BELAJAR DI DALAM KELAS. Jadi para masyaikh setempat MEMBUAT TENDA DI TENGAH GURUN, dan di dalam tenda itulah proses belajar mengajar dilakukan... Mungkin dalam fikiran kita menyakitkan karena panasnya. namun itu NIKMAT untuk mereka karena RASA INGIN TAU YANG TINGGI pada diri mereka menjadikan SEDIKIT 'ILMU adalah NIKMAT DAN RIZQI YANG MELIMPAH UNTUK MEREKA, BUKAN HARTA...!!!"


"Masya Allah... Masya Allah Yaa Ustadz..."


"Na'am, ketika syaikh tersebut berkata, "ISTAMI'...!!!", maka semuanya menatap syaikh tersebut dan menyimak dengan seksama. Tidak ada yang berani menulis bahkan BERMAIN PULPEN, karena akan dimarahi... 


Setelah syaikhnya menerangkan panjang lebar barulah mereka menulis. Mereka menulispun juga BUKAN di selembar kertas. Mereka menulis di batu, daun, kulit pohon atau sejenisnya yang mereka bawa dari rumah, kenapa tidak pakai kertas? karena memang itu dilarang, dan mereka hanya membawa selembar saja... 


Setelah mereka menulis maka tulisan mereka yang berasal dari ingatan mereka itu ditunjukkan ke syaikh, kalau ada kesalahan maka akan dikembalikan untuk dibetulkan hingga semua santrinya menuliskan semua yang diucapkan syaikh... Itu menunjukkan SYAIKH TERSEBUT HAFAL APA YANG DIUCAPKAN.

Masya Allah... Ketika semua santrinya telah menuliskan dengan benar maka syaikh memerintahkan untuk dihapus..."


"Dihapus ustadz...??? Lalu mereka tidak punya catatan pelajaran hari itu dong?"


"Laa yaa akhi, ketika semuanya sudah benar itu menunjukkan pelajaran yang disampaikan oleh syaikh sudah HAFAL DI LUAR KEPALA. Jadi catatan mereka ya ingatan mereka itu... Setelah semuanya benar dan telah dihapus, maka syaikh melanjutkan pelajarannya... Begitu seterusnya sampai pelajaran di hari itu habis. Setelah mereka pulang ke rumah, barulah apa yang mereka INGAT mereka tulis ulang dalam buku-buku mereka...

Di usia 17 tahun, mereka sudah bisa mengeluarkan fatwa, yang berarti mereka sudah menjadi MUFTI..."

Belajar dengan hafalan dan mencatat di kayu

"Masya Allah, merinding ana ustadz..."


"Jamil... Dulu ketika ana di LIPIA ada cerita menarik, dosen ana ketika ingin mencari atau mengingat-ingat sebuah hadits maka beliau bertanya kepada temannya yang masih berstatus mahasiswa S2, karena apa?

Karena ikhwan ini sudah hafal kutubus sittah, bulughul marom, shohihain, dan sekarang sedang menghafal musnad imam ahmad dan sudah hafal 2/3 nya... Anta tau kan kitab-kitab tersebut tebalnya seperti apa??? itu hanya masih tebalnya, belum isi dari kitab tersebut... BERAPA BANYAK HADITS YANG TERDAPAT DI KITAB ITU? Masya Allah.


Dan yang akan lebih mengherankan anta adalah, MEREKA BUKAN HANYA HAFAL MATAN HADITSNYA... NAMUN SAMPAI KE RIJALUL HADITS, PERAWI INI LAHIR TAHUN SEKIAN, MENINGGAL TAHUN SEKIAN, MENGAMBIL HADITS DARI SIAPA SAJA, DINYATAKAN TSIQAH ATAU TIDAK OLEH 'ULAMA, HINGGA DIA BISA MENENTUKAN SENDIRI SANAD HADITS TERSEBUT SHAHIH ATAU TIDAK TANPA MENCATUT PERKATAAN SEORANG MUHADDITS SEPERTI SYAIKH ALBANI KALAU HADITS TERSEBUT SHAHIH..."


"Masya Allah, merasa tidak punya apa-apa ustadz ketika menyadari di belahan bumi lain ada yang mempelajari agama hingga seperti itu..."


"Na'am, ana pun demikian... kalau anta ingat, USTADZ ERWANDI TARMIDZI pernah bilang seperti ini : "Janganlah kalian bangga ketika sudah hafal al qur'an, karena memang itu belum ada apa-apanya di kalangan penuntut 'ilmu, dan janganlah kalian bangga ketika sudah hafal hadits arbain, karena itu sudah sangat lazim di kalangan penuntut 'ilmu, janganlah kalian menjadi sombong dengan sedikitnya 'ilmu yang kalian miliki... karena bukannya 'ilmu itu akan bertambah malah bisa jadi akan berkurang. hafal qur'an hanyalah pintu untuk antum memasuki dunia para 'ulama, hadits arbain hanyalah dasar pijakan pertama antum memasuki dunia para 'ulama, namun kalian belum pantas disebut 'ulama..."
 

Perpustakaan kuno di Syinqith (Chinguetti)

"Masya Allah, banyak faidah dari obrolan ini ustadz..."


"Jamil, makna dari zuhud itu apa? Al Faqir Wal Masakin kah? Atau seperti apa menurut anta?"


"Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang ditanya ustadz..."


"Ahsanta, Barakallahu fiik, zuhud adalah ketika kita mampu meninggalkan apa-apa saja yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita, al mislu: nonton YKS bermanfaat tidak untuk kehidupan akhirat kita?"


"Tidak ustadz."


"Jamil, maka tinggalkanlah hal yang serupa dengan itu dalam urusan duniawi kita kalau tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita... Itulah zuhud."


"Ahsanta, lalu kenapa 'ulama dari mauritaniyyah tidak terkenal ustadz?"


"Karena kebiasaan mereka... Mereka lebih disibukkan untuk belajar dan mengajar. Tidak ada yang namanya safari dakwah atau khuruj ke suatu tempat dan yang semisalnya... Kalau kita butuh beliau, ya kita yang mengunjungi beliau... Sebenarnya banyak 'ulama dari mauritaniyyah, coba saja cari 'ulama yang berakhiran "ASY SYINQITHI"Mereka adalah hasil didikan adat menuntut 'ilmu ala mauritaniyyah..."


"Syukran atas tadzkirahnya ustadz."

"'Afwan, sebenarnya ana juga sedang muhasabah diri, kalau diri kita belum dididik dengan sistem seperti itu, berarti tugas kita untuk mendidik anak cucu kita dengan sistem yang mereka miliki..."

  Sumber : http://darelatsar.com/index.php?route=pavblog/blog&id=12

Ulama Ahlus sunnah Sheikh Abdullah Bin Bayyah – Mauritania,
salah satu pengajar di Universitas King Abdul Aziz University – Saudi Arabia,
beliau bermazhab Maliki

Minggu, 06 Juli 2014

"Baca Qur’an? Yang Penting Itu Pengamalan!" Benarkah ?

“Membaca Al-Qur’an? Yang penting bisa memahami dan mengamalkannya.”
“Percuma tiap hari baca Qur’an tapi nggak ngerti artinya. Percuma hafal Al-Qur’an tapi nggak ngamalin isinya.!”
“Lebih baik membaca terjemahannya daripada cuma membaca Al-Qur’an tapi tidak mengerti artinya.”
“Orang baca Al-Qur’an tapi tidak paham isinya itu kayak keledai bawa kitab (lihat QS. Al-Jumu’ah : 5)”
***


Ungkapan-ungkapan di atas adalah ungkapan yang sangat populer dan sangat sering saya dapatkan selama mengajar Tahsin Tilawah di LTQ Al-Hikmah. Saya tidak tahu jumlah pastinya, tapi yang jelas banyak sekali orang Islam di Indonesia yang memiliki cara pandang seperti itu.


Kalau dibaca sekilas, keren juga. Kayaknya sih masuk akal. Sesuatu yang menekankan pemahaman dibanding sekedar membaca tapi tidak mengerti. Seorang teman dulu menganalogikannya dengan tukang jualan di toko buku. Dia hafal semua judul buku, pengarangnya, penerbitnya, tapi tidak membaca isinya. Bertahun-tahun dia menjaga toko buku, atau jualan buku, tapi tetap saja tidak seperti itu. Ilmunya tidak bertambah kecuali koleksi nama-nama.

Saya juga jadi ingat dengan cara pandang saya dulu waktu masih di pesantren. Cara pandang yang diajarkan oleh beberapa (tidak semua) guru tentang Al-Qur’an. Sampai-sampai kalau ada pelajaran Tajwid, seorang guru saya bilang, “Udah itu mah gampang. Dibaca-baca sendiri juga bisa. Yang penting Bahasa Arabnya kuat. Nanti akan mudah pahamnya.” Dalam satu semester, pelajaran Tajwid hanya diisi beberapa kali saja. Lebih sering digantikan dengan pelajaran Ajurumiyah atau tashrif-an.

Beberapa waktu yang lalu, saya ketemu dengan seorang murid saya waktu SMP yang sekarang belajar di pesantren. Dia bercerita, katanya sih menurut gurunya (redaksi menggunakan bahasa saya), “Al-Qur’an mah gampang, Pak. Nanti juga ngerti sendiri. Baca belakangan. Kalo sudah paham bahasa Arab, baru ke situ.”

***

Sebuah Catatan

Ada sebuah hadits yang dapat meluruskan cara pandang kita di atas. Hadits yang sangat populer dan seringkali kita baca dan kita kutip di banyak tempat:


Yang artinya, "Dari Abdullah bin Mas’ud r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda, “Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an akan mendapat satu kebaikan, dan setiap kebaikan setara dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan Alif-Laamm-Mim satu huruf; tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (H.R. Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini hasan shohih)

Kita semua paham bahwa hadits tersebut menggambarkan tentang pahala yang akan kita dapat ketika kita membaca Al-Qur’an. Tapi ingatlah bahwa Rasulullah s.a.w. mengutip ayat alif-laamm-miim sebagai contoh, bukan yang lain (basmallah, misalnya)! Padahal Kita tahu bahwa lafazh alif-laamm-miim tidak kita ketahui maknanya. Bahkan kebanyakan ulama dalam menafsirkan lafazh alif-laamm-miim ini selalu dengan kata:

وَاللهُ أَعْلَمُ بِمُــرَادِهِ

yang artinya kira-kira, “Hanya Allah yang mengetahui makna ayat tersebut.”

Lalu kenapa lafazh itu yang jadi contoh perumpamaan?

Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil, di antaranya:

Pertama, cara membaca Al-Qur’an sangat unik. Berbeda dari membaca bahasa Arab biasa. Di dalam lafazh alif-laamm-miim ada bacaan ghunnah dan mad lazim, yang tidak akan mempengaruhi makna ayat meskipun tidak diterapkan, tapi tetap saja harus dibaca seperti itu. Ulama menetapkan hukum lazim atau wajib dalam mad di lafazh alif-laamm-miim. Jika kita sengaja membaca pendek, padahal harus 6 harokat, maka lahn(kesalahan)nya adalah jaliy(besar). Tidak boleh menyengajakan memendekkan bacaan tersebut.

Artinya, tidak cukup hanya belajar bahasa Arab untuk membaca Al-Qur’an dengan benar. Karena orang Arab saja tetap harus belajar Tajwid kalau mau membaca Al-Qur'an dengan benar, sesuai dengan cara Rasulullah s.a.w. membaca Al-Qur'an.

Kedua, perumpamaan tersebut mengajarkan kepada kita agar tetap membaca Al-Qur’an, mengerti atau tidak ayat yang kita baca. Karena membaca itulah satu-satunya pintu memahami Al-Qur’an. Bahkan ketika membaca lafazh alif-laamm-miim, yang tidak kita pahami artinya, pahalanya tetap dihitung huruf perhuruf. Sepuluh kebaikan perhurufnya.

Ketiga, perumpamaan tersebut juga mengajarkan kepada kita, bahwa setelah terus membaca dan membacanya, kita jadi terdorong untuk berusaha memahami ayat yang kita baca. Kunci ilmu adalah dengan membaca. Bahkan kata di ayat pertama yang turun kepada Rasulullah s.a.w.pun adalah:

“Bacalah!”

Apa yang harus kita baca?

Tentu saja Al-Qur’an!

Allah berfirman di dalam surat An-Naml [27] ayat 92:



Yang artinya, “Dan supaya aku (Rasulullah s.a.w.) membacakan Al Qur'an (kepada manusia).”

Logika yang Terbalik


Logika berpikir di atas adalah salah dan terbalik. Urutannya bukanlah mengamalkan -– memahami –- membaca -- menghafal, tapi membaca –- menghafal –- memahami -- mengamalkan.

Bahkan keempatnya harusnya dapat berjalan beriringan.

Ingatlah baik-baik, bahwa di dalam cabang ilmu apapun, kunci memahami adalah dengan membaca. Dan hanya dengan membacalah seseorang akan dapat membuka rahasia ilmu pengetahuan.

Jangan samakan Al-Qur’an dengan yang lain! Bahkan dengan hadits sekalipun. Membaca hadits, misalnya, tidak akan berpahala meskipun dibaca seribu kali jika kita tidak memahami artinya dan tidak menerapkan isinya. Tapi tidak dengan Al-Qur’an!

Khusus untuk Al-Qur’an, membacanya akan bernilai pahala. Lancar atau belum lancar. Mengerti atau belum mengerti. Bisa mengamalkannya ataupun belum mampu!

Seperti membaca Alif-laamm-miim. Setiap huruf bernilai sepuluh kebaikan!

Dan perlu kita ingat:

Kalau membacanya saja tidak bisa, bagaimana mungkin mengerti artinya?

Kalau membacanya saja malas, bagaimana mungkin mau mengamalkannya?

Kalau tidak berusaha menghafalnya, bacaan apa yang akan dibaca dalam sholat?

Dan kalau kita tidak mau membaca Al-Qur’an, Rasul mana yang kita jadikan teladan?

Yang perlu diluruskan…

Membaca Al-Qur’an adalah keharusan. Bernilai pahala dan termasuk ibadah yang utama. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda pada orang-orang yang konsisten menjalankannya.

Menghafal Al-Qur’an adalah keutamaan. Rasulullah, semua sahabat beliau, semua tabi’in dan orang-orang sholeh sepanjang masa senantiasa melakukannya. Semoga Allah menjadikan para penghafal Al-Qur'an sebagai keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.

Memahami Al-Qur’an adalah kemuliaan. Membuka pintu ilmu pengetahuan tentang dunia dan akhirat. Semoga Allah menjadikan mereka sebagai ulama dan fuqaha panutan ummat manusia. 

Mengamalkannya adalah kewajiban. Karena itulah tujuan utama dari Al-Qur’an diturunkan. Semoga orang-orang yang konsisten di dalamnya menjadi para pejuang dan penegak kalimat Allah di muka bumi.

Dan semoga kita semua menjadi bagian dari Barisan Para Penjaga Al-Qur'an, menjadi orang-orang terbaik di zaman ini karena menjadi pencinta kalamullah. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
Yang artinya, “Dan keutamaan firman Allah (Al Qur’an) dibandingkan seluruh ucapan selainnya adalah seperti keutamaan Allah atas makhlukNya.” (H.R. Tirmidzi)

(Abu Qawwam -- RQNF)

Usia Ideal Menghafal Al-Qur'an


Menghafal di usia muda, bagai mengukir di atas batu
Menghafal di usia tua, bagai mengukir di atas air

 
Ini adalah pepatah lama yang sering kita dengar sejak dari bangku SD. Ini adalah nasihat indah yang mengingatkan anak-anak kecil agar bersemangat dalam belajar. Agar menggunakan waktu emas dengan sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu yang bermanfaat. Tapi lalu apa jadinya kalau pepatah ini diucapkan oleh orang tua untuk dirinya sendiri?
Inilah yang sering saya dapatkan ketika ada calon murid yang mau bergabung ke LTQ Al-Hikmah. Dari yang usianya diatas 70 tahun, 50-an, 40-an, sampai baru 30-an, semuanya menganggap dirinya terlalu tua untuk mulai belajar menghafal Al-Qur'an.
Alhamdulillah kalau beliau-beliau ngomong seperti itu, lalu kemudian beneran ikut bergabung ke halaqoh Tahsin / Tahfizh. Yang kadang terjadi, mereka cuma mengantarkan teman, anak, cucu, saudara atau bawahannya untuk ikut mengaji, sementara ia sendiri pulang lagi dengan jawaban diplomatis bertema 'tua',
"Wah, kalo saya sih udah ketuaan kali kalo ikut ngaji sekarang. Udah susah."
"Saya pengen anak saya ngafal Qur'an biar jadi hafizh. Biar nggak kayak bapaknya! Udah tua susah ngaji. Pengennya sih pengen ikut ngaji. Tapi gimana lagi, repot kerjaan."
"Kan katanya kalo ngafal udah tua itu kayak ngukir di atas air, ya! Susah banget! Udah nggak bisa! Otaknya udah bebal."
Dan beberapa tipe komentar sejenis yang tidak saya ingat detailnya.
Yang lebih repot lagi kalau yang datang itu adalah ustadz atau imam masjid yang sedang bawa anaknya. (yang sering saya dapatkan, anak-anak beliau-beliau ini biasanya pintar dan cepat dalam belajar--insya Allah karena didikan orang tuanya). Yang biasa jadi imam sholat bapaknya, tapi yang disuruh ngafal Qur'an malah anaknya. Padahal masih lama masanya bagi si anak untuk menggantikan posisi sang ayah sebagai imam yang kadang masih mengalami lahn jali ketika menjadi imam.
 

Terlalu Tua Untuk Menghafal

Sungguh kita harus meluruskan lagi cara pandang kita tentang yang satu ini. Menghafal Al-Qur'an sangat kita butuhkan, karena kita harus sholat. Lebih kita butuhkan lagi, kalau kita menjadi imam dalam sholat. Mau membaca Al-Baqoroh atau Al-Ikhlash, bacaan kita harus tartiil dan itu menuntut kita untuk belajar tahsin tilawah.
Karenanya, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memulai dengan anggapan "saya terlalu tua untuk menghafal". Tidak mungkin kita menunggu muda kembali agar mau menghafal. Waktu itu berjalan maju dan tidak pernah kembali lagi. Jika di usia tua kita memaksakan diri untuk mengerti teknologi karena tidak ingin menjadi bodoh di dunia yang berpengetahuan, maka bagaimana bisa kita tidak memaksakan diri untuk belajar Al-Qur'an padahal gerakan kaum muslimin sekarang sedang menuju ke arah sana?
Menghafal Al-Qur'an adalah tradisi keilmuan Islam paling tua di muka bumi ini, lebih tua dari pelajaran Hadits, Fiqih, Bahasa Arab, Sejarah, Ilmu Sosial dan semua turunannya, Ilmu Alam dan semua turunannya, Ilmu Hisab dan semua turunannya, serta semua ilmu Islam yang kita kenal sekarang ini. Menghafal Al-Qur’an adalah sebuah ilmu yang dimulai oleh Rasulullah sendiri ketika beliau menerima wahyu pertama di gua Hiro.
Ingatlah bahwa meskipun perintahnya adalah Iqro', Rasulullah membaca Surat Al-'Alaq tidak sambil melihat mush-haf. Dan ingatlah bahwa biarpun Rasulullah adalah orang Arab yang paling fasih berbahasa Arab, Rasulullah harus mengulangi bacaan Al-Qur'an berkali-kali sampai Jibril melepaskan pelukannya.
Nah, berapa kira-kira usia Rasulullah saat pertama kali membaca dan menghafal Al-Qur'an? 
 

Usia Tua Para Sahabat

Jika kita cek kapan Rasulullah dan para sahabat mulai menghafal Al-Qur'an, apalagi jika itu sahabat muhajirin, maka hanya 'Ali lah satu-satunya sahabat pertama Rasulullah yang menghafal Al-Qur'an di usia anak-anak. Sisanya, minimal belasan tahun dan bahkan tidak sedikit yang sudah sepuh. Kita ambil contoh sedikit saja, dari usia Rasulullah, istri pertama beliau dan 10 sahabat yang dijamin masuk surga :


Dari data di atas dapat kita ambil catatan bahwa:
- 1 orang menghafal di usia anak-anak (di bawah 12 tahun)
- 4 orang menghafal di usia remaja (usia belasan tahun)
- 3 orang menghafal di usia pemuda (antara 20 s.d. 30 tahun)
- 3 orang menghafal di usia dewasa (antara 31 s.d. 40 tahun)
- 1 orang menghafal di usia tua (di atas 50 tahun)
Jadi, dari awal Islam datang, penghafal Al-Qur'an itu sudah beragam usianya. Dari mulai anak-anak, remaja, pemuda, dewasa hingga yang berusia lanjut. Jadi tidak ada alasan bahwa "saya terlalu tua untuk mulai menghafal". 
 

Bagaikan mengukir di Atas Air

Jika menghafal di usia tua itu seperti mengukir di atas air, maka jangan khawatir karena sekarang sudah ada banyak cara untuk melakukannya. Airpun bisa diukir dan menjadi ukiran yang indah. Caranya:

Pertama, kita bekukan terlebih dahulu air tersebut.



Kedua, kita pahat dengan alat yang khusus dengan kesabaran yang khusus.




Ketiga, pertahankan ukiran dengan mempertahankan suhu dinginnya dan dengan terus merapikan ukiran itu agar tetap sesuai dengan bentuk asalnya.



Lalu, setelah selesai, Andapun bisa memajang ukiran air itu di acara-acara publik dan membuat semua orang takjub dengan keajaiban itu....


Selamat memahat air anda sendiri...

Abu Qawwam -- RQNF
 --------------
Sumber : http://www.nurulfurqon.org/2014/02/usia-ideal-menghafal-al-quran.html

Wajah Manis di Profil Facebook

cadar 

Surat Terbuka untuk Calon Ahli surga
Yang Akhlaq Mereka Dicemburui Bidadari

Buat Saudariku
yang dirahmati oleh Allah

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ukhti yang baik,
Kecantikan adalah anugerah. Senyum manis adalah berkah. Sungguh karunia dari Allah bahwa wanita diciptakan memiliki kecantikan yang sangat mempesona. Dan kecantikan itulah yang akan menjadi jalannya menuju surga, jika ia mampu membarenginya dengan akhlaq yang mulia.
Rasulullah menjelaskan bahwa di antara fitrah lelaki adalah menyukai kecantikan wanita. Bahkan ‘Aisyah yang merupakan salah seorang shahabiyah paling pandai di masa itu, terkenal pula karena kecantikannya. Rasulullah menjulukinya Humaira`: Gadis yang pipinya merona merah.
Dan karena kecantikannya itu, wanita dapat mengumpulkan pahala yang sebesar-besarnya dari Allah. Caranya? Bersyukurlah atas nikmat yang Allah berikan itu dan pandailah menjaga diri. Rasulullah mengajarkan cara bersyukur itu dengan membiasakan diri membaca do’a tatkala bercermin:

اللَّهُمَّ كّمَا حَسَّنْتَ خَلْقِيْ فَحَسِّنْ خُلُقِيْ
Yang maknanya, “Ya Allah… Sebagaimana Engkau telah mengelokkan parasku, elokkan pulalah akhlaqku…”

Ukhti yang dijaga oleh Allah…
Tak ada yang salah dengan kecantikan, karena, seperti kata pepatah, kecantikan bukanlah suatu dosa. Tapi sungguh itu tak berarti bahwa setiap wajah yang cantik berhak dijadikan barang tontonan. Kami kaum pria sangat bersedih karena sekarang ini banyak di antara kawan-kawan Ukhti yang gemar memajang wajah cantik mereka di profil Facebook. Juga di blog-blog yang katanya pribadi, tapi nyatanya dapat diakses oleh siapapun.

Ini adalah satu hal yang sangat marak belakangan ini. Satu hal yang dianggap lumrah, sehingga para gadis berjilbab itu memasang pose-pose mereka di foto-foto yang kian hari kian bertambah jumlahnya. Seakan nama saja sudah tidak cukup.

Mohon Ukhti tanyakan pada mereka, apa sesungguhnya tujuan mereka memajang foto tersebut di tempat-tempat publik? Yakni foto dengan gaya yang menggoda serta senyum yang memikat!

Jika tujuan berjilbab itu adalah agar menutupi aurat dan terhindar dari pandangan-pandangan jahat, apakah itu pula yang menjadi tujuan mereka saat bergaya di depan kamera dan memamerkannya pada setiap orang?
Jika berjilbab itu tujuannya adalah mencari ridho Allah, apakah tujuan memperlihatkan foto-foto itupun adalah ridho Allah? Apakah betul  Allah akan ridho pada wanita yang melakukan hal itu?

Ukhti yang baik,
Kami kaum pria sangat bersedih menghadapi fenomena ini. Mengapa? Karena mungkin saja di antara gadis-gadis yang fotonya tersebar di seantero jagad ini adalah istri atau calon istri kami. Apakah mereka tidak tahu bahwa foto mereka tersimpan dalam komputer puluhan, ratusan atau bahkan mungkin jutaan pria lain yang tidak berhak? Yang mungkin saja dijadikan sarana oleh para pendosa sebagai ajang bermaksiat? Apakah mereka mengijinkan pria-pria selain suami mereka itu menyimpan foto-foto tersebut?

Ukhti,
Kami kaum pria sangat bersedih mendapati semua ini. Mengapa? Karena mungkin saja di antara foto yang tersebar luas itu adalah ibu atau calon ibu kami, yang seharusnya menunjukkan caranya menjaga diri, bukan dengan menunjukkan hal-hal yang seharusnya disembunyikan…

Kami kaum pria sangat bersedih menyaksikan semua ini. Mengapa? Karena mungkin saja di antara foto yang tersebar luas itu adalah guru atau calon guru kami, yang seharusnya mendidik dan mengajarkan Al Qur’an serta akhlaqul karimah kepada kami.

Apakah semua ini akan dibiarkan begitu saja tanpa ada penyelesaian? Tanpa ada seorangpun yang berani menegur serta mengingatkannya, memberitahukan bahwa itu adalah sebuah kesalahan? Atau harus menunggu tangan-tangan jahat memanfaatkannya untuk merusak harga diri dan menyebarkan aib yang seharusnya ditutup rapat-rapat?

Ukhti yang baik…
Jazakillah khairan… Terima kasih banyak karena Ukhti tetap pandai menjaga diri dari sekecil apapun celah-celah kealpaan. Tapi tolong sampaikan pula pada kawan-kawan Ukhti, agar merekapun mengikuti jejak ukhti dengan menghapus foto-foto mereka dari Facebook dan blog-blog mereka. Sampaikanlah pada mereka agar menahan diri dari keinginan menunjukkan eksistensi diri di hadapan pria yang tidak berhak.

Jika mereka ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa mereka cantik, cukuplah tunjukkan pada suami mereka saja. Atau orang tua dan anak-anak mereka saja. Karena Allah Maha Tahu segala sesuatu. Jika mereka membutuhkan sanjungan atas kecantikan yang telah dianugerahkan Allah pada mereka, biarlah Allah saja yang menyanjungnya, dengan balasan berlipat-lipat ganda di hari akhirat kelak.

Dan jika mereka ingin kecantikan mereka dikagumi, biarkanlah suami mereka saja yang mengagumi, lalu memberikannya sejuta hadiah cinta yang tidak akan pernah ada bandingnya…

Sementara kami, kaum pria yang tidak atau belum berhak atas itu semua, biarlah asyik masyuk tenggelam dalam do’a, agar dianugerahi istri yang cantik dan shalehah, ibu yang baik dan bersahaja, guru yang taat dan menjaga martabatnya…

Agar Allah mengumpulkan kita kelak di surgaNya. Meraih ridho dan ampunanNya serta dihindarkan dari adzab neraka…

Atas perhatian dari Ukhti, saya ucapkan jazakillah khairal jaza

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Salam Hormat,
rickyfirman
-------------------
Sumber : http://rickyfirman.wordpress.com/2009/11/16/wajah-manis-di-profil-facebook/