Selasa, 29 Oktober 2013

Belajar pada Uwais


Gurun pasir (ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Muhammad Afirin Ilham
 Hari ini kita harus belajar banyak pada Uwais al-Qarni (w 657 M). Belajar untuk tetap yakin bahwa Allah pasti akan membalas sekecil apa pun kebaikan kita meski sepi dari apresiasi manusia. Sosok sejarah ini teramat agung di mata Allah dan Rasul-Nya. Buah keikhlasan dan kesabarannya, Allah menyilakan sebelum ia masuk surga nanti untuk memberi syafaat kepada dua kaumnya. Dan, Nabi menyebutnya sebagai orang yang sangat terkenal di langit meski tidak dikenal di bumi.
Sosok tabiin mulia ini sebenarnya hidup di masa Rasulullah. Namun, karena tidak ditakdirkan berjumpa dengan beliau maka bukan berkategori sahabat. Definisi sahabat dalam ilmu hadis adalah mereka yang hidup di masa Rasulullah, beriman kepadanya, dan pernah berjumpa atau melihat wajah Rasulullah meski sekali.

Uwais, pemuda asal Qaran, Yaman, ini hari itu berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke pasar ternak. Ibunya yang sudah sepuh dan lumpuh memberinya restu. Di salah satu sudut pasar, pemuda bersuku Murad ini membeli lembu atau kerbau yang masih kecil. Setelah deal harga, lelaki berwajah belang karena penyakit sopak ini membawanya pulang dengan memanggulnya.

Hari-hari Uwais yang dikenal sebagai penggembala kambing kini dilaluinya dengan aktivitas yang “aneh”. Setiap pagi dan sore, Uwais menggendong lembunya dari rumah menuju bukit yang ia buatkan kandang di atasnya. Jelas saja, aktivitas “nyeleneh” ini hanya menambah daftar cemoohan orang kepadanya, yang memang bagi Uwais sendiri merupakan menu akrab sejak sepeninggal ayahnya, Amir ibn Juz ibn Murad al-Qairani. Lebih-lebih setelah Uwais mengidap penyakit sopak yang membelangkan tubuhnya. Panggilan gila sering mampir di telinganya.

Begitulah kini hari-hari seorang Uwais; memanggul lembu dari rumah ke bukit. Dinikmatinya setiap ejekan tetangga karena dalam benaknya hanya satu; fisiknya semakin hari semakin kuat hingga jelang bulan haji ia bisa menggendong sang ibu untuk berangkat menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Bakkah atau Makkah.

Rupanya itu jawabannya, ia membeli lembu kecil dan memanggulnya setiap hari dalam rangka melatih fisiknya supaya terbiasa dan kuat saat bulan haji nanti tiba. Sejak ibunya yang buta dan lumpuh itu menyampaikan hasrat hatinya ingin berangkat haji, Uwais hanya bisa memaku-merenung. Dirinya bukan orang berpunya, hasil gembala kambing habis hanya untuk makan dirinya dan ibunya di hari itu. Sedangkan, ia teramat ingin membahagiakan sang ibu. Sehingga, tercetuslah ide membeli lembu.

Kini, bobot lembu sudah mencapai 100 kg dan aktivitas “nyeleneh” ini pun disudahinya. Dan ,di pagi itu Uwais merapat kepada sang bunda. “Ibu, mari kita berangkat haji!”

“Dengan apa, Nak? Mana ada bekal untuk ke sana?” sahut sang ibu dengan raut kaget.

“Mari Bu, aku gendong Ibu. Perbekalan insya Allah cukup. Jatah makanku selalu aku tabung. Fisik ini insya Allah sudah cukup kuat!” ujar Uwais meyakinkan sang ibu.

Sang ibu hanya bisa memburai air mata. Dan, pagi itu Uwais sang anak saleh ini menyaruk kaki, melintasi sahara panas dengan menggendong sang ibu tercinta. Berminggu-minggu ia lewati perjalanan mission impossible sejauh 600 km ini dengan penuh ikhlas dan sabar. Sampai akhirnya Ka’bah pun sudah berada persis di depan matanya. Mereka berdua pun akhirnya berhaji, menyempurnakan keberislaman mereka.

Allahu Akbar. Perjuangan yang berbuah manis. Benarlah janji Allah, setiap kebaikan sekecil apa pun pasti akan ada balasannya dari Allah. Sungguh setiap langkah Uwais telah menggetarkan langit. Pantaslah para malaikat terkesima dan membalas tasbih tak henti. Bakti yang luar biasa dan amal kebaikan yang tak bertepi dari Uwais mengangkat dirinya sebagai sosok yang sangat masyhur di seantero langit. Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib pernah diminta Rasulullah untuk memintakan doa kepada Uwais al-Qarni. Karena doanya tidak berpenghalang dan pasti diijabah. Bagaimana dengan kita? Siapkah belajar kepadanya? Insya Allah. 


Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/10/26/mvacj6-belajar-pada-uwais

Kisah Mualaf - Ibrahim Killington

Ibrahim Killington, semula ingin bergabung dalam tentara untuk melawan Islam, tapi kemudian hatinya terpaut oleh Al Quran dan Islam !
Berikut ini adalah kisah seorang mualaf asal Inggris. Berawal dari keinginan untuk mengkaji paganisme dan “bahkan” berniat bergabung dalam tentara untuk melawan Islam, namun akhirnya bisa menemukan cahaya dan hidayah Islam, berikut kisahnya:
——-
My name is Ibrahim Killington.

Sebelum saya menuju Islam, hidup saya benar-benar terfokus pada minuman (mabuk-mabukan), obat-obatan (ganja,narkotik,ekstasy), dan bersenang-senang semata.
Seluruh tujuan hidup saya hanya untuk bersenang-senang, tertawa, dan tidak ada yang dilakukan lagi selain bersenang-senang, mungkin sampai mati, dan berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kebiasaan yang sama, dan tentunya itu tidak membuat diri menjadi semakin lebih baik.

Pengalaman pertama saya mengenal Islam adalah pada saat terjadi serangan 9/11 . (Saksikan juga video kami pada bagian video, -Salah satu video terbaik- memberikan bukti, “Konspirasi Tragedi WTC dan bukti dilakukan “orang dalam” sendiri).

Saya ingat saya masih sangat muda pada waktu itu, saya tidak sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi. Bahkan, saya berlari ke teman-teman saya setelah melihat laporan berita itu, dan saya mengatakan kepada mereka bahwa “Turis” (salah pengucapan=orang yang melancong/berliburan kesuatu tempat) telah menyatakan perang terhadap Amerika.. karena saya belum pernah mendengar tentang teroris sebelumnya.

Dan ketika perang itu berlangsung, saya melihat semakin banyak informasi tentang perang di Afghanistan, saya mulai memahami bahwa orang-orang “yang diperangi ini” adalah Muslim. Kaum Muslim melakukan kekejaman mengerikan di seluruh dunia, begitu katanya yang terus di “bombardment” (=bertubi-tubi) di gencarkan oleh media-media. Saya mulai sangat membenci muslim. bahkan saya mencoba untuk bergabung dengan tentara sebayak tiga kali dengan maksud agar bisa pergi ke sana (Afghanistan), dan membunuh banyak muslim yang saya bisa, sebagai bagian demi membela negara serta melindungi dan memberi rasa aman untuk keluarga saya. Saya pikir pada waktu itu mereka adalah kejahatan besar dunia.

Menemukan Islam
Saya selanjutnya mulai mendengar lebih banyak tentang Islam, terakhir kali saya melamar tentara, saya datang ke stasiun radio, pada waktu itu saya mendengarkan radio yang membeberkan tentang teori konspirasi, dan sejenisnya. Stasiun radio itu membicarakan tentang suatu perang melawan teror dan tentang kehidupan Nabi Muhammad (shollallahu alaihi wa sallam).

Ini sangat tidak masuk akal bagi saya, bagaimana orang-orang itu “percaya” dan “mengikuti” Nabi ini, setelah semua macam saya dengar perihal “evil things” (hal-hal jahat) yang “mereka katakan” tentang dia. Jadi, saya mulai mempertanyakan apa yang diyakini Muslim pada waktu itu, dan ‘ketika itupun’ saya sedang tertarik untuk mengetahui hal-hal keagamaan..

Pada saat saya sedang mencari Norse Mythology,(kepercayaan terhadap mitos,legenda dan kekuatan supranatural), and Paganism (penyembahan terhadap berhala), Salah satu teman saya mengatakan kepada saya sebelum saya memutuskan mengkaji paganisme ada baiknya saya melihat-lihat ajaran spiritual yang lain.
Oleh sebab itu, menjadi terfikir buat saya untuk mencari informasi tentang Muslim di Internet. Saya pikir salah satu muslim pertama yang saya lihat di Internet adalah Baba Ali (muallaf, pembuat film-film keislaman yang ditanyangkan dalam “Islam channel” Inggris).

Dia mematahkan stereotip tentang Muslim untuk saya. Saya terkejut bahwa orang ini lucu (tidak berdarah dingin) dan pembawaannya tenang. Dia tidak seperti apa yang “mereka” tuduhkan perihal muslim dari apa yang pernah saya dengar.

Untuk memenuhi kehausan saya akan Islam, saya memutuskan untuk meminjam Al-Quran dari tempat saya kuliah (kampus). Ketika saya memegangnya, saya pikir ini adalah “Buku Pegangan teroris,” dalam gemgaman saya, dan saya khawatir bahwa agen MI5 (Agen rahasia Inggris) akan datang untuk menahan saya. Saya memutuskan untuk cepat-cepat keluar dari perpustakaan dan membawa pulang Al-Quran yang saya pinjam.

Tapi begitu mulai saya membaca Al-Quran (terjemah), “..it hit me immediately” , itu menghantam saya,.. dan saya tidak dapat menghentikan untuk tidak membacanya; itu benar-benar menghunjam jauh kedalam hati saya.; Saat saya membaca surat-surat yang ada di Al Quran, Saya tak sengaja membaca tentang orang-orang di neraka yang keadaannya meminum air mendidih sehingga membakar tenggorokan mereka. Membaca ini, hati saya bergetar, seakan-akan saya bisa merasakan tenggorokan saya terbakar, dan saya bisa merasakan bagaimana sebenarnya hal ini, sehingga saya memutuskan saya harus berubah.

Dalam upaya untuk berubah, hal pertama yang saya lakukan adalah saya pergi ke masjid, saya menghabiskan sepanjang hari di sana dengan membaca. Bahkan ibu saya menelepon di malam hari dan bertanya di mana saya berada sepanjang hari. Saya katakan “Saya sedang berada di masjid !…”
Dengan terkejut Ibu saya mengatakan, “Tidak, kamu tidak bisa di Masjid, kamu seorang Kristen. Kristen tidak pergi ke masjid.”
Ibu saya sangat terkejut dan sangat yakin bahwa saya akan menyusuri jalan yang buruk.
Itu reaksi ibu saya yang wajar,(mengingat gencarnya media dalam melakukan stereotip negatif tentang islam “war on terror”). namun setelah beberapa waktu, dia mulai dapat menerimanya. Dia banyak menangis. Saya tidak terlalu yakin mengapa dia menangis, saya pikir dia merasa saya menolak semua yang diajarinya ke saya selama ini.

Banyak orang mengatakan bahwa ketika mereka menemukan Islam, seolah-olah mereka sudah pulang kerumah aslinya. Dan itulah perasaan yang saya dapatkan. Saya di masa lalu bukanlah saya yang sesungguhnya, saat itu bukanlah diri saya yang sebenarnya. Dan inilah sekarang diri saya sebenarnya.! Saya menjadi diri yang lebih baik setelah saya masuk Islam.

Dan saran saya bagi orang lainnya (non muslim) yang berfikir/meragukan Islam, Janganlah mencari hanya di internet untuk mengetahuinya, tapi datangilah ke masjid dan berbicara dengan orang yang memiliki pengetahuan tentang hal itu. karena terdapat banyak propaganda dan fitnah-fitnah dari situs-situs anti Islam yang tidak benar. dan jika anda tidak tahu apa-apa tentang Islam. Anda akan kesulitan untuk menilai mana yang benar dan mana yang kebohongan. Jadi jauh lebih baik untuk berbicara dengan seseorang yang paham dan berilmu.

Dan jangan takut dengan apa yang akan dipikirkan keluarga Anda; banyak orang bahkan saya sendiri pada mulanya khawatir tentang apa yang akan orang tua saya pikirkan, namun setelah masuk Islam. justru saya berharap yang terbaik bagi kedua orang tua. bahwa mereka akan mengikuti jejak saya untuk segera memeluk Islam.=

sumber,.
http://www.onislam.net/english/reading-islam/my-journey-to-islam/456467-from-paganism-to-islam.html
eramuslim

Mengapa Cat Stevens Masuk Islam ?

Popularitas dan kekayaan tidak menjamin seseorang hidup bahagia. Cat Steven, bintang pop era tahun ’70-an, yang kemudian dikenal dengan nama Yusuf Islam, justeru merasakan kegelisahan hidupnya ketika sedang berada di puncak popularitas dimana ia hidup bergelimang harta. Kegelisahan yang mendorongnya untuk menyusuri jalan panjang mencari Tuhan hingga ia menemukan cahaya Islam dan akhirnya menjadi juru dakwah lewat kegiatan musiknya dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Bintang Pop

Sejak kecil Yusuf Islam sudah akrab dengan panggung-panggung hiburan karena bisnis keluarganya bergerak dalam bidang itu. Ia terbiasa hidup dalam kemewahan kalangan sosial kelas tinggi di Inggris. Sebagai penganut ajaran Kristen, keluarganya mengajarkan Yusuf bahwa Tuhan itu ada, tapi manusia tidak bisa melakukan kontak langsung dengan Tuhan. Umat Kristiani meyakini Yesus sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan."Saya menerima ajaran itu, tapi saya tidak menelannya mentah-mentah," kata Yusuf.

"Saya melihat patung-patung Yesus, mereka cuma benda mati tanpa nyawa. Saya tambah bingung ketika mereka bilang Tuhan ada tiga. Tapi saya tidak mendebat pernyataan itu. Saya menerimanya, karena saya harus menghormati keyakinan orang-orang tua saya," sambungnya.

Beranjak dewasa, Yusuf mulai menggeluti musik dan ia mulai melupakan kebingungannya terhadap ajaran agamanya karena ia sendiri mulai jauh dari kekristenan. Impiannya saat itu hanyalah menjadi bintang musik pop. Apa yang ia lihat dan ia baca di media massa sangat mempengaruhi pemikirannya untuk menjadi seorang bintang. Yusuf punya paman yang punya mobil mewah dan mahal. Ketika itu Yusuf berpikir, pamannya punya mobil mewah karena punya banyak uang.

"Banyak orang di sekeliling saya memberi pengaruh pada pemikiran saya bahwa uang dan dunia adalah Tuhan mereka. Sehingga saya memutuskan untuk bahwa itulah hidup saya. Banyak uang, hidup enak," tutur Yusuf.

Meski demikian, Yusuf mengaku saat itu masih ada sisi kemanusiaan jauh di dalam hatinya, keinginan untuk membantu sesama manusia jika ia jadi orang kaya kelak.

Yusuf pun membangun karirnya sebagai musisi dan penyanyi. Dalam usia yang masih remaja, Yusuf sudah mengenyam kesuksesan dan keinginannya menjadi seorang ‘bintang besar’ tercapai. Nama dan foto-fotonya muncul di hampir seluruh media massa. Yusuf pun merasakan kenikmatan dunia, tapi itu tak membuatnya jadi puas, ia ingin kehidupan yang lebih dan lebih dari apa yang ia miliki, sayangnya Yusuf terjerumus ke jalan yang salah. Ia memilih narkoba dan minuman keras untuk mencari kehidupan yang ia inginkan itu.

Mencari Kebenaran 
 Baru setahun Yusuf mengenyam kesuksesan dalam karir dan finansialnya. Yusuf terkena tubercolusis akibat gaya hidup dan kebiasaannya menenggak minuman keras dan narkoba. Ia sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit.

 Saat itu Yusuf pun berpikir, ‘mengapa saya di sini, tergelatak di tempat tidur?, ‘apa yang terjadi pada saya? apakah saya cuma seonggok tubuh? apakah tujuan hidup saya semata-mata hanya untuk memuaskan tubuh ini?. Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikirannya dan ia mencoba mencari jawabannya.

Karena pada masa itu di kalangan masyarakat Barat sedang trend mempelajari hal-hal yang berbau mistis dari Timur, Yusuf pun ikut mempelajarinya. Ia mulai sadar tentang kematian. Ia mulai melakukan meditasi dan menjadi vegetarian. Tapi pertanyaan-pertanyaan bahwa dirinya bukan hanya seonggok tubuh manusia, tetap mengganggu pikirannya.

Sebagai bintang pop, namanya terus merangkak ke tangga popularitas. Kekayaan terus mengalir, tapi ketika itu Yusuf mulai mencari kebenaran. Ia pun belajar agama Budha, namun di satu sisi, Yusuf belum berani meninggalkan kehidupan glamournya, meninggalkan kenikmatan dunia dan hidup seperti layaknya pendeta Budha, mengisolasikan diri dari masyarakat.

Selanjutnya, Yusuf juga mempelajari Zen dan Ching, numerologi, kartu tarot dan astrologi, balik lagi mempelajari alkitab, tapi Yusuf tidak menemukan apa yang dicarinya, kebenaran yang hakiki. Sampai kemudian apa yang disebutnya mukjizat itu datang.

"Saudara lelaki saya baru saja kembali dari kunjungannya ke Yerusalem dan disana ia mengunjungi sebuah masjid. Saudara saya itu sangat terkesan melihat masjid yang ramai dikunjungi orang, seperti ada denyut kehidupan, tapi atmosfir ketenangan dan kedamaiannya tetap terasa. Berbeda rasanya ketika ia mengunjungi gereja dan sinagog yang sepi," kata Yusuf.

Ketika kembali ke London, saudara lelakinya itu memberikan al Quran pada Yusuf Islam. "Dia tidak masuk Islam, tapi ia merasakan sesuatu di agama ini (Islam) dan ia pikir saya juga akan merasakan hal yang sama. Saya menerima al Quran pemberian saudara saya itu dan membacanya. Saat itulah saya merasakan bahwa saya telah menemukan agama yang benar, agama yang tidak seperti pandangan masyarakat Barat selama ini bahwa agama hanya untuk orang-orang tua," tukas Yusuf.

Ia melanjutkan,"Di Barat, jika ada orang yang ingin memeluk satu agama dan menjadikannya sebagai cara hidunya, maka orang yang bersangkutan akan dianggap fanatik. Tapi setelah membaca al Quran saya yang awalnya bingung tentang tubuh dan jiwa, akhirnya menyadari bahwa keduanya adalah bagian yang tak terpisahkan, Anda tidak perlu pergi ke gunung untuk menjadi religius."

Saat itu, satu-satunya yang diinginkan Yusuf Islam adalah menjadi seorang Muslim. Dari al Quran ia tahu bahwa semua rasul dan nabi dikirim Allah swt untuk menyampaikan pesan yang sama. "Mengapa kemudian Yahudi dan Kristen berbeda? Kaum Yahudi tidak mau menerima Yesus sebagai Mesiah dan mereka mengubah perintah-perintah Tuhan. Sementara Kristen salah memahami perintah-perintah Tuhan dan menyebut Yesus sebagai anak Tuhan. Tapi dalam al Quran saya menemukan keindahan, al- Quran melarang menyembah matahari atau bulan tapi memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan merenungi semua ciptaan Allah swt ," papar Yusuf Islam.

"Ketika saya membaca al Quran lebih jauh lagi, al Quran bicara soal salat, sedekah dan perbuatan baik. Saya belum menjadi seorang Muslim saat itu, tapi saya merasa al Quran adalah jawaban buat saya dan Allah swt telah mengirimkannya pada saya," sambung Yusuf Islam.

Mengucap Dua Kalimat Syahadat

Yusuf Islam kemudian memutuskan untuk berkunjung ke Yerusalem. Di kota suci itu, ia datang ke masjid dan duduk di sana. "Seseorang bertanya, apa yang ia inginkan, saya menjawab bahwa saya seorang Muslim. Orang itu bertanya lagi, siapa nama saya. Saya jawab ‘Steven’. Orang itu tampak bingung. Saya ikut salah berjamaah, meski salat saya tidak begitu sukses," kisah Yusuf menceritakan pengalamannya di sebuah masjid di Yerusalem.

Kembali ke London, Yusuf menemui seorang muslimah bernama Nafisa dan mengatakan bahwa ia ingin masuk Islam. Nafisa kemudian mengajak Yusuf ke Masjid New Regent. Ketika itu tahun 1977, satu satu setengah tahun sesudah ia membaca al Quran yang diberikan saudara lelakinya. Pada hari Jumat, setelah salat Jumat, Yusuf menemui imam masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun menjadi seorang Muslim. Nama Cat Steven diganti menjadi Yusuf Islam.

"Saya pun akhirnya tahu bahwa saya bisa melakukan kontak langsung dengan Tuhan, tidak seperti dalam agama Hindu dan Kristen yang harus melalui perantara. Dalam Islam, semua penghalang itu tidak ada . Satu-satunya yang membedakan orang yang bertakwa dan tidak bertakwa adalah salatnya, salat adalah proses pemurnian diri," papar Yusuf Islam.

"Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa apa yang saya lakukan saat ini adalah untuk Allah swt semata. Saya berharap Anda mendapatkan inspirasi dari pengalaman saya ini. Satu yang ingin saya katakan, saya tidak pernah sekalipun berinteraksi dengan seorang Muslim pun sebelum saya masuk Islam. Saya lebih dulu membaca al Quran dan menyadari bahwa tak seorang pun sempurna. Tapi Islam adalah agama yang sempurna dan jika kita mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad saw, hidup kita akan selamat. Semoga Allah swt senantiasa membimbing umat Rasulullah Muhammad saw ke jalan yang lurus. amiin," kata Yusuf Islam menutup pembicaraan. (ln/ri)

Sumber : http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/cat-steven-masuk-islam-saat-berada-di-puncak-ketenaran.htm#.Um-hBVOdqSo

Mabrur Itu Memberi Makan

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mabrur memiliki dua arti, yaitu: Pertama, diterima oleh Allah; dan kedua, baik. Kata mabrur sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab, akar katanya barra-yaburru-barran atau birran yang artinya taat berbakti. Dalam kitab Lisan al-Arab, mabrur dapat berarti baik, suci, dan bersih; juga berarti makbul atau diterima
 
Jika kata mabrur diambil dari akar kata birran atau al-birru, maka menurut Kamus Al-Munawwir dapat diartikan sebagai taat berbakti, bersikap baik-sopan, benar atau tidak berdusta, benar untuk dilaksanakan sesuai dengan sumpahnya, menerima, diterima, banyak berbuat kebajikan. Menurut Al-Fairuzi bahwa al-birru dapat juga berarti hubungan, berupaya dalam kebaikan. Menurut Budiharjo bahwa kata al-birru sepadan dengan kata al-hasan, al-khair, al-shalih, al-thayyib dan al-ma’ruf, Dan kata al-birru berarti “baik” jika dihubungkan dengan orang tua, “mabrur” jika dihubungkan dengan haji, “benar “jika dihubungkan dengan janji, “laris” jika dihubungkan dengan dagangan, “terhindar subhat, dusta dan khianat” jika dihubungkan dengan jual beli, ”memperbanyak ketaatan” jika dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika dihubungkan dengan orang tua. 

Sedangkan menurut Allah SWT di dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 177 al-birru itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, akan tetapi sesungguhnya al-birru itu beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Jika mabrur itu berakar dari kata al-birru yang memiliki arti kebaikan dan kebaikan itu bukan menurut manusia, tetapi menurut Allah SWT sesuai firman-Nya di Q.S. Al-Baqarah ayat 177, maka haji mabrur bukanlah haji yang diterima oleh Allah SWT karena pelakunya telah melakukan ritual haji dengan yang baik sesuai syarat dan rukunnya, bukan pula hanya dalam iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para nabi, bukan juga senantiasa melaksanakan shalat, membayar zakat, tetapi si pelaku telah dan selalu melakukan perbuatan sosial di atas rata-rata kebanyakan orang. Perbuatan itu di antaranya memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya atau membebaskan orang dari ketertindasan, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan juga dalam peperangan.
 
Bentuk-bentuk perbuatan sosial dalam ayat tersebut di atas, selain zakat, tidak harus semuanya dilakukan serentak dalam satu waktu, tetapi sesuai kemampuan dan kesempatan, khususnya bagi seseorang yang telah mendapatkan predikat haji mabrur. Seperti bunyi hadits dari Jabir ra yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda,”Haji yang mabrur tidak ada pahala yang layak kecuali surga. Sahabat bertanya: Wahai Nabi Allah, apakah haji mabrur itu? Rasulullah SAW menjawab: Memberi makan dan menebarkan salam.

Mafhum mukhalafah atau pemahaman kebalikan dari hadits di atas adalah orang yang berhaji tidak mendapat predikat haji mabrur jika ia tidak memberi makan orang yang membutuhkan atau kelaparan dan tidak memberikan salam. Dengan kata lain, haji mabrur itu ditentukan bukan hanya oleh ritual ibadah haji yang telah dilaksanakan seseorang sesuai syarat dan rukunnya, tetapi oleh perbuatan sosialnya, yaitu memberi makan orang miskin dan menebarkan salam. 

Khusus perbuatan memberi makan, ini seperti kisah Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi, seorang ahli hadits yang terkemuka. Ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M. Ia mendapat petunjuk dari Allah SWT tentang seorang, yaitu Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu di Damaskus, yang mendapatkan gelar haji mabrur pada satu musim haji yang tidak ada mendapatkannya selain dirinya padahal dia tidak pergi haji karena uang untuk berangkat haji ia dermakan kepada tetangganya untuk makan. 

Maka, memberi makan dari harta yang dicintai merupakan bentuk al-birru, salah satu bentuk nyata atau indikator yang terlihat dari kemabruran haji seseorang. Jadi, tidak susah kita menilai apakah haji seorang atau haji kita ini mabrur atau tidak cukup dilihat dari amal-amal sosialnya, salah satunya adalah memberi makan. Amal memberi makan sepertinya amalan yang sepele, tetapi itu merupakan amalan para nabi dan rasul. Nabi Ibrahim as. yang bergelar Khalilullah, Kekasih Allah, selalu memanggil orang lain untuk ikut makan bersamanya setiap ia makan. Sunnah Rasulullah SAW yang terakhir dikerjakan oleh Abu Bakar Ash-Shidiq ra. adalah memberi makan orang tua Yahudi yang buta matanya dari kunyahan mulut Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. sendiri persis seperti yang dilakukan Rasulullah SAW semasa hidupnya sampai beliau wafat. Maka wajar jika Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berkata,” Aku telah meneliti semua amal saleh, dan tidak ada yang melebihi keutamaan amal memberi makan.” 

Akhir kalam, saat ini di Suriah, ulama di sana telah memberi fatwa bahwa kaum muslimin dan muslimat di Suriah boleh memakan daging kucing dan anjing karena tengah dilanda kelaparan yang hebat dan makanan amat sangat sulit didapat, juga kelaparan di Somalia dan tempat-tempat lainnya, sementara jutaan jama`ah haji kebanyakan pulang ke tanah airnya masing-masing membawa air zam-zam dan makanan khas timur tengah berkilo-kilo beratnya. Jadi belumlah terlambat jika para haji ingin mendapatkan gelar haji mabrur tahun ini, sesampainya di tanah air segera kirim makanan kepada mereka yang membutuhkan di Suriah, Somalia dan tempat-tempat lainnya, mungkin ada pula tetangganya yang kelaparan, Insya Allah hajinya mabrur. Amin.***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan JIC

Minggu, 27 Oktober 2013

AMIN,AMIIN,AAMIN,AMIEN, YANG BETUL AAMIIN...

Bismillahirrahmanirrahim……
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Sudah Benarkah Ucapan “Aamiin...” Kita ???

1. ”AMIN” (alif dan mim sama-sama pendek), artinya AMAN, TENTRAM
2. “AAMIN” (alif panjang & mim pendek), artinya MEMINTA PERLINDUNGAN KEAMANAN
3. ”AMIIN” (alif pendek & mim panjang), artinya JUJUR TERPERCAYA
4. “AAMIIN” (alif & mim sama-sama panjang), artinya YA TUHAN, KABULKANLAH DOA KAMI
Bismillah. . . Mungkin artikel ini tidaklah seberapa penting buat sebagian orang, tapi buat saya pribadi teramat sangatlah penting sekali (lengkap amat kalimatnya ). Banyak saya temui diantara kita yang salah dalam penulisan Aamiin. Ada yang menulis “amin“, “amiin”, “aamin” bahkan tidak jarang juga ada yg menulis “Amien” Seperti kita ketahui Lafaz Aamiin diucapkan didalam dan diluar salat, diluar salat, aamiin diucapkan oleh orang yang mendengar doa orang lain. Aamiin termasuk isim fiil Amr, yaitu isim yang mengandung pekerjaan. Maka para ulama jumhur mengartikannya dengan Allahumma istajib (ya Allah ijabahlah). Makna inilah yang paling kuat dibanding makna-makna lainnya seperti bahwa aamiin adalah salah satu nama dari asma Allah Subhanahu wata’alaa.
Membaca aamiin adalah dengan memanjangkan a (alif) dan memanjangkan min, apabila tidak demikian akan menimbulkan arti lain. Dalam Bahasa Arab, ada empat perbedaan kata “AMIN” yaitu : 1. ”AMIN” (alif dan mim sama-sama pendek), artinya AMAN, TENTRAM 2. “AAMIN” (alif panjang & mim pendek), artinya MEMINTA PERLINDUNGAN KEAMANAN 3. ”AMIIN” (alif pendek & mim panjang), artinya JUJUR TERPERCAYA 4. “AAMIIN” (alif & mim sama-sama panjang), artinya YA TUHAN, KABULKANLAH DOA KAMI
Terus Bagaimana dengan pengucapan/Penulisan “Amien“ ??? Sebisa mungkin untuk yang satu ini (Amien) dihindari, karena Ucapan “Amien” yang lazim dilafadzkan oleh penyembah berhala (Paganisme) setelah do'a ini sesungguhnya berasal dari nama seorang Dewa Matahari Mesir Kuno: Amin-Ra (atau orang Barat menyebutnya Amun-Ra) Marilah kita biasakan menggunakan kaidah bahasa yang benar dan jangan pernah menyepelekan hal yang sebenarnya besar dianggap kecil. Sekilas penjelasan yang singkat ini mudah-mudahan bermanfaat.--

Minggu, 13 Oktober 2013

Hukum Menggabungkan Aqiqah dan Qurban Dalam Satu Sembelihan


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.

 Oleh : Abu Muawiah

Sudah banyak pertanyaan yang masuk seputar hukum menggabungkan niat antara menyembelih aqiqah/nasikah dengan menyembelih qurban  di hari idul adh-ha.
Maka berikut pembahasannya:
Sebenarnya, jawaban dari permasalahan ini dibangun di atas salah satu masalah ushuliah, yaitu: Hukum menggabungkan dua ibadah dalam satu niat. Apakah hal ini diperbolehkan atau tidak?
Ringkasnya, para ulama ushul menyebutkan 2 syarat akan bolehnya menggabungkan 2 ibadah dalam 1 niat, yaitu:
  1. Kedua ibadah itu sama jenis dan waktunya. Adapun jika kedua ibadah itu tidak sama jenis dan berbeda waktu pelaksanaannya, maka keduanya tidak boleh digabungkan.
  2. Ibadah yang mau digabungkan itu bukanlah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Laysat maqshudah li dzatiha), dalam artian ibadah itu bisa diwakilkan pelaksanaannya dengan ibadah lain yang sejenis. Adapun jika kedua ibadah itu berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dalam artian keduanya dituntut pelaksanaannya sendiri-sendiri karena maksud dan tujuan kedua ibadah itu berbeda, maka yang seperti ini tidak boleh menggabungkan keduanya.
Contoh yang memenuhi syarat:
Shalat 2 rakaat setelah azan dengan meniatkannya sebagai sunnah rawatib sekaligus tahiyatul masjid. Tahiyatul masjid bukanlah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Laysat maqshudah li dzatiha), dalam artian tahiyatul masjid adalah shalat 2 rakaat (apapun jenisnya) sebelum seseorang duduk di dalam masjid. Karenanya, kapan seseorang sudah shalat 2 rakaat sebelum duduk, maka dia telah melakukan tahiyatul masjid, apapun jenis shalat 2 rakaat yang dia lakukan itu. Karenanya ketika seseorang mengerjakan sunnah rawatib 2 rakaat sebelum duduk, maka itu sudah teranggap sebagai tahiyatul masjid baginya.

Puasa 6 hari di bulan syawal dengan puasa senin kamis. Yang dituntut dari puasa 6 hari di bulan syawal adalah pokoknya berpuasa 6 hari di dalamnya, hari apapun itu. Karenanya, jika seseorang berpuasa pada hari senin atau kamis di bulan syawal, maka itu bisa sekaligus dia jadikan sebagai puasa syawal baginya.


Contoh yang tidak memenuhi syarat:
Shalat 2 rakaat di akhir malam menjelang subuh, dengan niat shalat tahajud sekaligus shalat sunnah fajar. Ini tidak boleh, karena asal waktu pengerjaan kedua shalat sunnah berbeda. Satu sebelum subuh dan yang lainnya setelah masuknya waktu subuh.

Seseorang yang mempunyai hutang fidyah 10 hari dan sekaligus mempunyai kewajiban bayar kaffarat sumpah. Lalu dia member makan 10 orang miskin dengan niat fidyah sekaligus kaffarat sumpah. Maka ini tidak syah digabungkan, karena kedua jenis ibadah ini (fidyah dan kaffarat) adalah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dalam artian keduanya mempunyai maksud dan tujuan dasar yang berbeda. Satu sebagai pengganti puasa, sementara yang lainnya sebagai penggugur dosa karena telah melanggar sumpah.

Nah, bertolak dari uraian di atas, kita bisa mengetahui kalau jawaban dari pertanyaan di atas adalah:

TIDAK BOLEH MENGGABUNGKAN NIAT ANTARA  AQIQAH/NASIKAH DENGAN QURBAN/UDH-HIAH

Kenapa? Karena kedua ibadah ini berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dimana keduanya disyariatkan untuk maksud dan tujuan yang berbeda sehingga tidak bisa saling mewakilkan. Aqiqah/nasikah disyariatkan sebagai rasa syukur dan tebusan untuk anak yang baru lahir, sementara qurban/udh-hiah disyariatkan sebagai tebusan untuk diri sendiri.

Ucapan para ulama yang mendukung pendapat ini:
Al-Haitami berkata dalam Tuhfah Al-Muhtaj Syarh Al-Minhaj (9/371):

وَظَاهِرُ كَلَامِ َالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا ، وَهُوَ ظَاهِرٌ ; لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ

“Lahiriah pendapat teman-teman kami (ulama Syafi’iyah) adalah: Seandainya seseorang berniat dengan satu ekor kambing untuk qurban dan sekaligus untuk ‘aqiqah maka keduanya dihukumi tidak syah. Inilah pendapat yang lebih tepat, karena masing-masing dari kedua ibadah ini adalah sunnah yang maqshudah (punya tujuan tersendiri).”

Abu Bakr Al-Fihri rahimahullah berkata mengenai hukum menggabungkan antara niat aqiqah, qurban, sekaligus walimah (resepsi pernikahan):

إذَا ذَبَحَ أُضْحِيَّتَهُ لِلْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيقَةِ لَا يُجْزِيهِ ، وَإِنْ أَطْعَمَهَا وَلِيمَةً أَجْزَأَهُ ، وَالْفَرْقُ أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْأَوَّلَيْنِ إرَاقَةُ الدَّمِ ، وَإِرَاقَتُهُ لَا تُجْزِئُ عَنْ إرَاقَتَيْنِ ، وَالْمَقْصُودُ مِنْ الْوَلِيمَةِ الْإِطْعَامُ ، وَهُوَ غَيْرُ مُنَافٍ لِلْإِرَاقَةِ ، فَأَمْكَنَ الْجَمْعُ

“Jika dia menyembelih hewan qurbannya dengan niat qurban sekaligus aqiqah, maka itu tidak syah. Namun jika dia menghidangkan hewan qurbannya dalam walimah, maka itu syah. Perbedaan antara kedua penggabungan ini adalah: Tujuan dari kedua ibadah yang pertama (qurban dengan aqiqah) adalah pengaliran darah, sehingga satu pengaliran darah tidak bisa menggantikan posisi dua pengaliran darah. Sementara tujuan dari walimah adalah memberi makan, dan tujuan ini tidak bertentangan dengan pengaliran darah (yang menjadi tujuan qurban), karenanya keduanya bisa digabungan (dalam satu niat).” Dinukil oleh Al-Haththab rahimahullah berkata dalam Mawahib Al-Jalil (3/259)

Kesimpulannya:

Tidak boleh menyembelih hewan dengan niat qurban sekaligus untuk aqiqah karena alasan di atas.
Ini adalah mazhab Al-Malikiah dan Asy-Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.

Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Al-Huda wa An-Nur, kaset no. 689. Namun alasan yang beliau gunakan adalah karena suatu ibadah yang wajib tidak bisa menggantikan ibadah wajib yang lainnya. Hal itu karena beliau memandang aqiqah dan qurban adalah wajib.
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin berkata menjawab pertanyaan mengenai hukum menggabungkan udh-hiah dengan aqiqah dalam satu sembelihan, jika Idul Adh-ha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak:
“Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adh-ha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiah, maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah. Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi dia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Hal itu karena kedua ibadah tersebut adalah ibadah yang sejenis dan waktu pelaksanaannya sama. Maka satu ibadah sudah menutupi ibadah yang lainnya.
Hanya saja, saya sendiri memandang bahwa: Jika Allah memberi kecukupan rezeki, maka hendaknya dia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il: 25/287-288)

Tambahan:
Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada satu pun dari kedua ibadah ini yang syah jika dia memaksa untuk menggabungkannya, qurbannya tidak syah dan aqiqahnya juga tidak syah[1]. Wallahu a’lam.

Tanya:
Trus, jika saya ingin menyembelih pada hari raya qurban dalam keadaan saya atau anak saya belum aqiqah, atau hari raya qurban bertepatan dengan hari ke-7 kelahiran anak saya. Apa yang harus saya lakukan?
Jawab:
Jika anda mempunyai keluasan rezeki, maka tidak diragukan jika anda menyembelih untuk keduanya, sembelihan untuk qurban sendiri dan sembelihan untuk aqiqah juga sendiri.

Tanya:
Jika uang saya tidak cukup, mana yang saya dahulukan: Qurban dulu atau aqiqah (untuk anak atau untuk diri sendiri) dulu?
Jawab:
Sebaiknya anda lebih mendahulukan qurban daripada aqiqah, karena waktu pelaksanaan qurban itu terbatas, yakni hanya 4 hari dalam setahun (10-13 Dzulhijjah). Sementara waktu pelaksanaan aqiqah bisa kapan saja sepanjang tahun. Wallahu a’lam.


[1] Seperti yang dikutip oleh Al-Haitami dari para ulama Syafi’iah di atas. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, dan beliau menyandarkan pendapat ini kepada sekelompok ulama salaf. Wallahu a’lam.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/hukum-menggabungkan-aqiqah-dan-qurban-dalam-satu-sembelihan.html
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.



HAJI SARAT HIKMAH

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr Miftah Faridl


Pada tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya, sekitar 200.000 saudara-saudara sebangsa se-Tanah Air meninggalkan Tanah Air untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima, Ibadah Haji.

Ibadah Haji satu-satunya ibadah yang terpaksa harus dibatasi jumlah pesertanya. Pembatasan ini disebabkan ibadah haji tidak hanya ketat waktu tapi juga ketat tempat.

Perluasan tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji dapat melahirkan masalah, karena tempatnya sudah ditetapkan oleh Nabi SAW.

Ibadah haji senantisa memberikan kesan-kesan spiritual yang sering sulit dilupakan. Orang yang pulang ibadah Haji sering menjadi ketagihan ingin kembali ke tanah suci.

Hampir tidak pernah terjadi orang kapok melaksanakan haji. Sesuatu yang menjadi daya tarik dari ibadah haji itu ialah ni’mat ibadah dan do’a ketika haji hampir senantisa dikabulkan.

Tentang ni’mat ibadah hampir setiap orang yang melaksanakan haji mendapatkan kepuasan spiritual ketika thawaf, ketika shalat di Maqam Ibrahim, di Hijir Ismail, di Raudlah dan terutama ketika Wukuf di ‘Arafah.

Apa yang dinyatakan Rasulullah SAW ketika menjelaskan tentang ihsan yaitu ''Sembahlah olehmu Allah seolah-olah kamu melihat Allah'', sangat terasa ketika ibadah Haji.

Ketika berzikir, berdo’a, beristigfar di tempat-tempat tertentu, air mata mengalir, terasa begitu dekat dengan Allah. Selama di Makkah, jamaah menikmati shalat jamaah di Masjdil Haram, mereka menikmati zikir, bertasbih, bertahmid, beristigfar.

Selama beberapa hari di kota Makkah ada yang sempat thawaf lebih dari 50 kali, berangkat ke masjid dua jam sebelum waktu shalat fardlu, selama ibadah haji ada yang mampu menamatkan baca Al Qur’an sebanyak lebih dari lima kali.

Tentang do’a, tidak sedikit jamaah haji yang berhasil mendapatkan apa yang sebelumnya sulit mereka dapatkan. Ada yang sakitnya sembuh, ada yang berhasil mendapatkan jodoh, mendapatkan keturunan, dan lain-lain.

Ibadah Haji sarat dengan latihan dan tantangan yang ujungnya kenikmatan. Proses ibadah Haji sarat dengan latihan kesabaran, keuletan, ketekunan dan kepasrahan juga kebersamaan yang selalu mengesankan.

Dengan pakaian ihram yang putih tak berjahit melambangkan kesederhanaan, kesamaan dan kesucian. Juga menanggalkan identitas-identitas kebangsaan, kebesaran dan identitas-identitas eklusif lainnya.

Ketika berihram, tidak boleh mencabut tumbuh-tumbuhan, tidak boleh membunuh hewan buruan. Mereka yang berihram dilatih untuk mencintai lingkungan, mendidik seorang untuk menjadi rahmat, kasih sayang kepada fauna dan flora sebagai wujud rahmatan lil’alamin.

Kalimat talbiyah yang mesti diulang-ulang memantapkan tekad dan karakter unggul. ''Kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, puji hanya milik-Mu, kenimatan sepenuhnya anugrah dari-Mu, kekuasaan juga adalah milik-Mu''.

Kehadiran jamaah Haji sekitar tiga juta manusia yang datang dari berbagai negara, bangsa dan suku dengan ibadah yang sama, pakaian yang sama semacam mu’tamar besar Umat Islam sedunia. Silaturrahim besar berbagai bangsa.

Orang yang beribadah haji disebut Duyufurrahman (tamu-tamu Allah) berkunjung ke rumah Allah; Sebagai tamu Allah maka yang menerimanya adalah Allah, shahibulbaitnya adalah Allah, hidangannnya dari Allah, jamuannya anugerah dari Allah berupa rahmat Allah, barokah Allah dan magfirah dari Allah.

Proses ibadah Haji semacam perjalanan hidup yang dipadatkan. Dalam perjalanan hidup, seseorang akan memperoleh hasil panen tergantung apa yang ia tanam. Kalau ia menanam kebaikan ia ada harapan panen kebaikan.

Sebaliknya seseorang yang banyak menanam kejelekan, ia akan mendapat panen kejahatan. Dalam prosesi ibadah Haji panen kebaikan atau kejelekan itu ukurannya bukan bulan dan bukan tahun tapi jam dan menit.
Tawaf melambangkan perjuangan dengan berbagai cara. Singkat, cepat, penuh tantangan atau lambat, lama, tapi minim tantangan. Semuanya harus terkait dengan tauhid yang dilambangkan dengan Ka'bah.
Sa'i melambangkan perjuangan keras yang harus ditempuh seseorang untuk memperoleh anugerah Allah yang dilambangkan dengan air zamzam.
Melempar jumrah melambangkan usaha yang sungguh-sungguh melemparkan karakter-karakter yang tidak baik yang ada pada tujuh anggota badan.
Dan, puncak ibadah haji, yaitu wukuf di Arafah, semacam drama kolosal. Refleksi peristiwa kemanusiaan, semacam gladi resik Mahsyar. Di dalamnya adalah pengakuan dan pertobatan.
Haji mabrur pahalanya surga.  Ada dosa-dosa yang tidak termaafkan kecuali dengan wukuf di Arafah. Wallahu 'alam.

Sumber :  http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/10/11/muh5s0-haji-sarat-hikmah

Kamis, 10 Oktober 2013

Apa yang Harus kita Lakukan di Masjidil Haram ?


Sebagai seorang muslim, siapakah orangnya yang tidak mengetahui Al Masjidil Haram ? Masjid ini adalah masjid yang paling bersejarah di antara masjid manapun di dunia. Bahkan Nabi Muhammad saw pun mengakui keutamaan masjid ini. Dialah rumah pertama yang dibangun Allah SWT untuk umat manusia (QS 3 : 96).

Inilah salah satu dari tiga masjid yang diperintahkan oleh Rasulullah saw kepada umatnya untuk dikunjungi. Dalam sebuah kesempatan beliau bersabda :

"Jasnganlah kalian bersusah payah dalam bepergian, kecuali menuju tiga masjid, Al-Masjidil Haram, Al-Masjidil Aqsha, dan Masjidku ini (Masjid Nabawi)." (Muttafaqun 'Alaihi).

Hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw amat menganjurkan umatnya untuk mengunjungi ketiga masjid ini dan Masjidil Haram adalah masjid peringkat pertama yang perlu dikunjungi oleh setiap muslim.

Masjidil Haram adalah satu-satunya masjid di dunia yang terdapat didalamnya Ka'bah Al-Musyarrofah dimana setiap muslim menghadapkan wajah dan hatinya ke arah yang sama sedikitnya lima kali dalam sehari. Ia adalah simbol persatuan umat. Ia pun merupakan tempat turunnya rahmat Allah SWT setiap saat.

Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw menyebutkan,
"Sungguh Allah menurunkan pada setiap hari dan malam 120 rahmat di Baitullah ini. Enam puluh rahmat untuk orang yang melakukan thawaf, 40 rahmat bagi orang yang mendirikan shalat, dan 20 rahmat bagi orang yang memandang ke arah ka'bah." (HR. Thabrani).

Hadist ini menunjukkan bahwa ibadah di Masjidil Haram amatlah diperintahkan sebab rahmat Allah SWT senantiasa diturunkan disana sepanjang waktu. Wa bil khusus ketiga ibadah yang spesifik tadi, yaitu thawaf, memperbanyak shalat, dan memandang Ka'bah.

Banyak sekali jamaah haji Indonesia yang beriktikaf di Masjidil Haram, namun mereka tidak mengerti harus mengerjakan apa. Tidak sedikit terlihat diantara mereka yang berbicara satu sama lain, bahkan ada juga yang tidur terlelap di lantai masjid.

Semoga tidur itu pun dianggap berpahala sebab niat iktikaf mereka. Namun, alangkah baiknya jika mereka memperbanyak shalat selama mereka berada di Masjidil Haram sebab shalat di dalam Masjidil Haram bernilai 100.000 kali lipat dibandingkan shalat dimanapun juga.

Hal ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad saw yang berbunyi,
"Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama 1.000 kali lipat dibandingkan shalat dimanapun kecuali Masjidil Haram. Sebab shalat di Masjidil Haram 100 kali lipat dibandingkan shalat di masjidku ini." (Muttafaqun 'Alaihi).

Karena itu, memperbanyak ibadah shalat di Masjidil Haram amat dianjurkan untuk setiap muslim yang datang ke sana. Selain mengerjakan shalat fardhu lima waktu, mereka bisa mengerjakan shalat sunnah rawatib, baik yang muakadah maupun yang ghairu muakadah. Shalat sunnah yang lain pun bisa mereka kerjakan dalam jumlah rakaat yang maksimal. Shalat-shalat sunnah itu adalah Isyraq (waktu matahari terbit), Dhuha, Tahajjud, Syukrul Wudhu (usai berwudhu), Witir, Hajat, Istikharah, Taubat, Mutlaq dan lain-lain.

Maka, berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas amatlah dianjurkan bagi setiap muslim yang beruntung untuk datang ke Masjidil Haram dan memperbanyak shalat sunnah disana. Semoga Allah SWT memberi mereka rahmat yang tiada terputus sebab mereka sibuk mencari ridho-Nya dengan cara memperbanyak shalat disana. Aamiin Allahumma Aamiin....


Sabtu, 05 Oktober 2013

Berhaji Mestikah Berkurban?

Perlu diketahui bahwa yang menjalankan ibadah haji dengan mengambil manasik tamattu’ dan qiron punya kewajiban untuk menunaikan hadyu (hewan sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah haram Mekkah). Sedangkan di sisi lain saat Idul Adha juga dianjurkan bagi kaum muslimin untuk berqurban (menunaikan udhiyah). Bagaimanakah dengan jama’ah haji? Apakah mereka disunnahkan pula melakukan kedua-duanya? Apakah berhaji mesti juga berqurban?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Udhiyah (qurban) disunnahkan untuk jama’ah haji dan seorang musafir sebagaimana disunnahkan bagi orang yang mukim. Tidak ada beda dalam hal ini dan tidak ada beda pula sunnahnya hal ini bagi laki-laki maupun perempuan.” (Al Muhalla, 7: 375)
Riwayat berikut ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk istri-istrinya saat berhaji.

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ « مَا لَكِ أَنَفِسْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ « إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ » . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (ia berkata), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah  menemui ‘Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu ‘Aisyah sedang menangis. Beliau pun bersabda, “Apakah engkau haidh?” “Iya”, jawab ‘Aisyah. Beliau bersabda, “Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain dari thawaf di Ka’bah.” Tatkala kami di Mina, kami didatangkan daging sapi. Aku pun berkata, “Apa ini?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan udhiyah (berqurban) atas nama dirinya dan istri-istrinya dengan sapi.” (HR. Bukhari no. 5548)
Guru kami, Syaikh Dr. ‘Abdullah As Sulmiy, Dosen Ma’had ‘Ali lil Qodho di Riyadh KSA ditanya, “Apa hukum menggabungkan antara hadyu dan udhiyah (qurban)?”
Beliau -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata,
“Yang kita bahas pertama, apakah udhiyah (qurban) dianjurkan (disunnahkan) untuk jama’ah haji. Para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya hal itu tidak dianjurkan (disunnahkan). Sedangkan ulama Syafi’iyah, Hambali dan juga Ibnu Hazm berpendapat tetap disunnahkannya udhiyah (qurban) bagi jama’ah haji. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Karena udhiyah itu umum, untuk orang yang berhaji maupun yang tidak berhaji. Dan ada hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berqurban (menunaikan udhiyah) padahal beliau sedang berhaji. Seperti riwayat Daruquthni, namun asalnya dalam shahih Muslim yaitu dari hadits Tsauban …. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban saat haji dan waktu lainnya.” [Sumber fatwa: http://www.youtube.com/watch?v=F-Oy26wROk0]
Lantas bagaimana mengenai larangan mencukur bagi shohibul qurban, apa berlaku juga untuk jama’ah haji yang juga berqurban di negerinya?
Syaikh Dr. Abdullah As Sulmi mengatakan bahwa larangan tersebut tetap berlaku bagi jama’ah haji yang berqurban. Namun setelah tahallul awal mereka boleh memotong kuku dan mencukur rambut meski qurbannya belum disembelih. Karena mencukur saat tahallul itu perintah dan untuk shohibul qurban tadi adalah larangan. Berdasarkan kaedah, perintah didahulukan dari larangan. [Faedah dari ceramah beliau pada link di atas]
Mudah-mudahan bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Setelah shalat Isya’ @ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSU, 29/11/1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
==========

Perlu diketahui bahwa yang menjalankan ibadah haji dengan mengambil manasik tamattu’ dan qiron punya kewajiban untuk menunaikan hadyu (hewan sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah haram Mekkah). Sedangkan di sisi lain saat Idul Adha juga dianjurkan bagi kaum muslimin untuk berqurban (menunaikan udhiyah). Bagaimanakah dengan jama’ah haji? Apakah mereka disunnahkan pula melakukan kedua-duanya? Apakah berhaji mesti juga berqurban?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Udhiyah (qurban) disunnahkan untuk jama’ah haji dan seorang musafir sebagaimana disunnahkan bagi orang yang mukim. Tidak ada beda dalam hal ini dan tidak ada beda pula sunnahnya hal ini bagi laki-laki maupun perempuan.” (Al Muhalla, 7: 375)
Riwayat berikut ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk istri-istrinya saat berhaji.
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ « مَا لَكِ أَنَفِسْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ « إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ » . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (ia berkata), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah  menemui ‘Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu ‘Aisyah sedang menangis. Beliau pun bersabda, “Apakah engkau haidh?” “Iya”, jawab ‘Aisyah. Beliau bersabda, “Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain dari thawaf di Ka’bah.” Tatkala kami di Mina, kami didatangkan daging sapi. Aku pun berkata, “Apa ini?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan udhiyah (berqurban) atas nama dirinya dan istri-istrinya dengan sapi.” (HR. Bukhari no. 5548)
Guru kami, Syaikh Dr. ‘Abdullah As Sulmiy, Dosen Ma’had ‘Ali lil Qodho di Riyadh KSA ditanya, “Apa hukum menggabungkan antara hadyu dan udhiyah (qurban)?”
Beliau -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata,
“Yang kita bahas pertama, apakah udhiyah (qurban) dianjurkan (disunnahkan) untuk jama’ah haji. Para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya hal itu tidak dianjurkan (disunnahkan). Sedangkan ulama Syafi’iyah, Hambali dan juga Ibnu Hazm berpendapat tetap disunnahkannya udhiyah (qurban) bagi jama’ah haji. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Karena udhiyah itu umum, untuk orang yang berhaji maupun yang tidak berhaji. Dan ada hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berqurban (menunaikan udhiyah) padahal beliau sedang berhaji. Seperti riwayat Daruquthni, namun asalnya dalam shahih Muslim yaitu dari hadits Tsauban …. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban saat haji dan waktu lainnya.” [Sumber fatwa: http://www.youtube.com/watch?v=F-Oy26wROk0]
Lantas bagaimana mengenai larangan mencukur bagi shohibul qurban, apa berlaku juga untuk jama’ah haji yang juga berqurban di negerinya?
Syaikh Dr. Abdullah As Sulmi mengatakan bahwa larangan tersebut tetap berlaku bagi jama’ah haji yang berqurban. Namun setelah tahallul awal mereka boleh memotong kuku dan mencukur rambut meski qurbannya belum disembelih. Karena mencukur saat tahallul itu perintah dan untuk shohibul qurban tadi adalah larangan. Berdasarkan kaedah, perintah didahulukan dari larangan. [Faedah dari ceramah beliau pada link di atas]
Mudah-mudahan bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Setelah shalat Isya’ @ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSU, 29/11/1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

 
Perlu diketahui bahwa yang menjalankan ibadah haji dengan mengambil manasik tamattu’ dan qiron punya kewajiban untuk menunaikan hadyu (hewan sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah haram Mekkah). Sedangkan di sisi lain saat Idul Adha juga dianjurkan bagi kaum muslimin untuk berqurban (menunaikan udhiyah). Bagaimanakah dengan jama’ah haji? Apakah mereka disunnahkan pula melakukan kedua-duanya? Apakah berhaji mesti juga berqurban?

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Udhiyah (qurban) disunnahkan untuk jama’ah haji dan seorang musafir sebagaimana disunnahkan bagi orang yang mukim. Tidak ada beda dalam hal ini dan tidak ada beda pula sunnahnya hal ini bagi laki-laki maupun perempuan.” (Al Muhalla, 7: 375)

Riwayat berikut ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk istri-istrinya saat berhaji.

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ « مَا لَكِ أَنَفِسْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ « إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ » . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (ia berkata), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah  menemui ‘Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu ‘Aisyah sedang menangis. Beliau pun bersabda, “Apakah engkau haidh?” “Iya”, jawab ‘Aisyah. Beliau bersabda, “Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain dari thawaf di Ka’bah.” Tatkala kami di Mina, kami didatangkan daging sapi. Aku pun berkata, “Apa ini?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan udhiyah (berqurban) atas nama dirinya dan istri-istrinya dengan sapi.” (HR. Bukhari no. 5548)

Guru kami, Syaikh Dr. ‘Abdullah As Sulmiy, Dosen Ma’had ‘Ali lil Qodho di Riyadh KSA ditanya, “Apa hukum menggabungkan antara hadyu dan udhiyah (qurban)?”
Beliau -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata,
“Yang kita bahas pertama, apakah udhiyah (qurban) dianjurkan (disunnahkan) untuk jama’ah haji. Para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya hal itu tidak dianjurkan (disunnahkan). Sedangkan ulama Syafi’iyah, Hambali dan juga Ibnu Hazm berpendapat tetap disunnahkannya udhiyah (qurban) bagi jama’ah haji. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Karena udhiyah itu umum, untuk orang yang berhaji maupun yang tidak berhaji. Dan ada hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berqurban (menunaikan udhiyah) padahal beliau sedang berhaji. Seperti riwayat Daruquthni, namun asalnya dalam shahih Muslim yaitu dari hadits Tsauban …. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban saat haji dan waktu lainnya.” [Sumber fatwa: http://www.youtube.com/watch?v=F-Oy26wROk0]

Lantas bagaimana mengenai larangan mencukur bagi shohibul qurban, apa berlaku juga untuk jama’ah haji yang juga berqurban di negerinya?

Syaikh Dr. Abdullah As Sulmi mengatakan bahwa larangan tersebut tetap berlaku bagi jama’ah haji yang berqurban. Namun setelah tahallul awal mereka boleh memotong kuku dan mencukur rambut meski qurbannya belum disembelih. Karena mencukur saat tahallul itu perintah dan untuk shohibul qurban tadi adalah larangan. Berdasarkan kaedah, perintah didahulukan dari larangan. [Faedah dari ceramah beliau pada link di atas]


Mudah-mudahan bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Setelah shalat Isya’ @ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSU, 29/11/1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

الحرم المكي Siaran Langsung dari Masjidil Haram Makkah Al Mukarromah

Siaran Langsung (Live) dari Masjidil Haram.

Jumat, 04 Oktober 2013

Maher Zain - Radhitu Billahi Rabba | Unofficial Lyrics Video


Bismillaahirrahmanirrahiim
(Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Saudaraku,  semoga selalu dalam berkah dan rahmat Allah.
Di awal pesan7menit ini, mari kita ucapkan, Segala puji hanya untuk Allah, karena segala puji terhimpun hanya untuk Dia, Dialah yang Maha Suci dan Dialah Yang Maha Besar dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Kepada Nya kita tunduk dan selalu melaksanakan semuan perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya., sebab Dia tiada lalai dari apa yang kita kerjakan. Sholawat  dan  salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi  Muhammad Saw, juga untuk seluruh keluarganya, para sahabatnya dan seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Saudaraku kaum muslimin, yang selalu dalam ridha Allah
Setiap hari, bahkan setiap detik kita mengharapkan ridha Allah. Tetapi ridha Allah tidak datang begitu saja dia harus diraih baik  dengan hati yang  paling  dalam, dengan lisan, dan dengan amalan kebajikan.  Mengharap  ridha Allah adalah desah dzikir setiap orang muslim. Ridha Allah  adalah pakaian seorang mukmin yang melekat pada tubuhnya dalam kondisi apapun yang menimpa pada dirinya.  Ridha diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk (maksiyat), baik lahir ataupun bathin.  Dalam hal meraih keridhaan,  Allah swt berfirman, 

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
 (Qs Al Baqarah (2) : 207)
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, memberi gambaran tentang seseorang yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata untuk meraih ridha Allah dalam seluruh totalitas kehidupannya. Dikisahkan seorang sahabat Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi yang rela  mengorbankan   seluruh    yang dimilikinya karena tekanan kaum Quraisy agar ia diperkenankan untuk berhijrah ke Madinah. Shuhaib dihalangi oleh para pemuka Quraisy untuk berhjrah melainkan bila ia menyerahkan seluruh hartanya kepada mereka tanpa tersisa sedikit pun. Dengan tanpa ragu-ragu, ia meninggalkan hartanya di Mekah semata-mata mengharapkan ridha Allah dari perbuatan hijrahnya yang mulia tersebut. Setelah sampai di Madinah dan bertemu dengan Rasulullah, beliau memujinya dengan ungkapannya yang masyhur sungguh telah beruntung Shuhaib dalam riwayat lain: sungguh telah beruntung perniagaannya.
Masih dalam konteks ayat ini, Ar-Razi mengisahkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengutus pasukan dan berhasil mengepung benteng pertahanan mereka. Karena tidak mampu menembus benteng tersebut, tiba-tiba seseorang berinisiatif untuk menerjunkan dirinya di tengah-tengah musuh untuk membuka pertahanan mereka sampai akhirnya orang tersebut menemui ajalnya. Setelah pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan Umar bin Khattab atas keberanian sahabat tersebut, beberapa pasukan mengomentari apa yang dilakukan oleh orang tersebut yang dianggap membinasakan diri sendiri. Umar bin Khattab menampik pandangan mereka dan mengatakan: “Kalian telah berdusta dengan ucapan kalian itu. Semoga Allah merahmatinya”. Kemudian Umar membaca ayat ini untuk membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh sahabatnya tersebut.
Dua kisah diatas adalah kisah para sahabat, meskipun tidak sama dengan kondisi sekarang tetapi paling tidak kita dapat merenung begitu hebatnya untuk meraih  keridhaan Allah,  sehingga harta dan bahkan jiwanya siap dikorbankan. Mereka berkeyakinan dengan meraih ridha Allah, segala kebaikan, kemuliaan dan keberkahan hidup akan senantiasa menyertainya dan Allah akan senantiasa hadir dengan sifat Penyantun yang ditegaskan oleh kalimat terakhir ayat ini:
“Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hambaNya (yang rela mengorbankan segalanya untuk Allah)”
Para ulama banyak membahas tentang ridha, salah satunya Yahya bin Mu’adz bahwa beliau pernah ditanya, “ Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha? Maka dia menjawab,” Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, “ (1) Jika Engkau memberiku, aku menerimanya. (2) Jika Engkau menahan pemberian kepadaku, maka aku ridha. (3) Jika Engkau membiarkan aku, maka akan tetap beribadah. (4) Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya.
Untuk memantapkan diri sekaligus mengharapkan ridha Allah Swt, Rasulullah Saw sangat  menganjurkan untuk berdzikir, di dalam sebuah hadits dari Abu Salmah r.a khadim Nabi saw,  sesungguhnya ia berkata., “ Rasulullah Saw bersabda,” Barangsiapa membaca pada waktu pagi dan pada sore hari,  
Radhitu billahi rabba), wabil islami dina(n) wabi Muhammadin nabiyyaw wa rasulaa(n). Aku ridha Allah sebagai Rab ku, dan Islam sebagai  agamaku,  dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku) wajiblah Allah meridhai dia (HR Abu Dawud, Turmuzi, Nasai dan al Hakim)
Saudaraku yang dimuliakan Allah.
Dzikir ini adalah pernyataan sikap setiap muslim, perlu direnungkan dan diwujudkan. Renungan yang dapat diperpanjang seakan-akan lautan tidak bertepi dan diwujudkan dalam amal setiap denjut jantung dan setiap hirupan nafas sampai nafas yang terakhir. Mari kita coba  renungkan :
Ridha Allah mengandung arti ridha mencintaiNya semata, ridha menyembahnya semata, takut dan berharap kepadanya, merendahkan diri kepadanya, beriman kepada pengaturan dan menyukainya, bertawakkal dan meminta pertolongan kepada-Nya, dan ridha kepada apa yang telah diperbuatnya, maka inilah yang dimaksud dengan ridha kepada Allah. Hal ini sesui dengan firman Allah Swt. “.
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
(Qs Al Bayyinah : 8)
Ridha kepada Allah, menurut para sufi; mengandung makna yang luas, diantaranya: Tidak menentang pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.
Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis,
lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan.
Ridha dengan Islam sebagai agama artinya apa saja yang di dalam Islam, baik berupa perintah dan larangan, maka sesungguhnya kita meridhainya secara keseluruhan, tanpa ada rasa rasa keberatan sedikitpun dalam diri kita untuk menerimanya, melainkan kita pasrah menerima nya dengan hal tersebut dengan kaaffah. Allah Swt berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaaffah dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian”. (Al-Baqarah: 208)
Berislam secara kaaffah seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam ayat ini berarti melaksanakan Islam secara keseluruhan, tidak sepotong-potong mencari yang mudah dan meninggalkan yang sukar. Kemudian harus meninggalkan segala bentuk langkah syaitan secara totalitas juga. Terbawa dan hanyut dalam salah satu dari jerat syaitan akan mengurangi totalitas keislaman kita. Karenanya, mengikuti langkah-langkah syaitan dimaknai oleh para ulama dalam arti setiap perbuatan maksiat kepada Allah swt.
Ridha kepada nabi Muhammad Saw sebagai nabi artinya kita harus beriman kepadanya, patuh kepada-nya, dan pasrah kepadanya, dan hendaknya beliau Saw harus kita  pentingkan daripada diri anda sendiri. Untuk itu seandainya beliau Saw masih ada, kemudian ada sebuah anak panah yang melesat mengarah padanya, kita wajib melindunginya meskipun mengorbankan nyawa kita sendiri. Kita rela mati membelanya. kita ridha dengan tuntunan dan sunnahnya. Jika ridha kepada sunnahnya, berarti kita tidak mau merujuk kepada siapapun, kecuali hanya kepadanya.  Allah Swt berfirman,
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-sau-dara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan ru-mah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
(Qs At Taubah : 24)
Ridha kepada Allah, ridha kepada Islam dan ridha kepada Nabi Muhammad merupakan satu kesatuan yang utuh. Tidaklah mungkin ridha kepada Allah tetapi tidak berislam dan bernabikan Muhammad seperti laiknya orang Nasrani. Begitu juga ridha dengan Islam tetapi tidak patuh Allah dan mengangkat nabi lain seperti kaum Ahmadiyah. Tidaklah mungkin ridha kepada Rasulullah tetapi masih meragukan perintah dan larangan Allah swt yang termuat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Demikianlah antara lain sikap kita keseharian yaitu hati dipenuhi ridha kepada Allah, kepada Islam dan kepada nabi Muhammad. Bagi para sufi sampai menyatakan walaupun berdo’a di syariatkan oleh agama, tidak merasa pantas lagi meminta ini dan itu kepada Allah. karena mereka mencapai taraf kerohanian yang tinggi, Tetapi kita terus berdo’a kepada Allah tidak putusnya doa kebaikan hiduo di dunia dan kehidupan di akhirat.
Saudaraku sebelum aku akhiri pesan7menit ini mari kita simak hadits Qudsi yang berhubungan dengan keridhaan.  “Allah berfirman kepada Rasul Saw: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.
      Wallahu ‘alam bish shawab

Sumber : http://marwanpesan7menit.blogspot.com/2012/11/meraih-ridha-allah.html