Minggu, 13 Oktober 2013

Hukum Menggabungkan Aqiqah dan Qurban Dalam Satu Sembelihan


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.

 Oleh : Abu Muawiah

Sudah banyak pertanyaan yang masuk seputar hukum menggabungkan niat antara menyembelih aqiqah/nasikah dengan menyembelih qurban  di hari idul adh-ha.
Maka berikut pembahasannya:
Sebenarnya, jawaban dari permasalahan ini dibangun di atas salah satu masalah ushuliah, yaitu: Hukum menggabungkan dua ibadah dalam satu niat. Apakah hal ini diperbolehkan atau tidak?
Ringkasnya, para ulama ushul menyebutkan 2 syarat akan bolehnya menggabungkan 2 ibadah dalam 1 niat, yaitu:
  1. Kedua ibadah itu sama jenis dan waktunya. Adapun jika kedua ibadah itu tidak sama jenis dan berbeda waktu pelaksanaannya, maka keduanya tidak boleh digabungkan.
  2. Ibadah yang mau digabungkan itu bukanlah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Laysat maqshudah li dzatiha), dalam artian ibadah itu bisa diwakilkan pelaksanaannya dengan ibadah lain yang sejenis. Adapun jika kedua ibadah itu berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dalam artian keduanya dituntut pelaksanaannya sendiri-sendiri karena maksud dan tujuan kedua ibadah itu berbeda, maka yang seperti ini tidak boleh menggabungkan keduanya.
Contoh yang memenuhi syarat:
Shalat 2 rakaat setelah azan dengan meniatkannya sebagai sunnah rawatib sekaligus tahiyatul masjid. Tahiyatul masjid bukanlah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Laysat maqshudah li dzatiha), dalam artian tahiyatul masjid adalah shalat 2 rakaat (apapun jenisnya) sebelum seseorang duduk di dalam masjid. Karenanya, kapan seseorang sudah shalat 2 rakaat sebelum duduk, maka dia telah melakukan tahiyatul masjid, apapun jenis shalat 2 rakaat yang dia lakukan itu. Karenanya ketika seseorang mengerjakan sunnah rawatib 2 rakaat sebelum duduk, maka itu sudah teranggap sebagai tahiyatul masjid baginya.

Puasa 6 hari di bulan syawal dengan puasa senin kamis. Yang dituntut dari puasa 6 hari di bulan syawal adalah pokoknya berpuasa 6 hari di dalamnya, hari apapun itu. Karenanya, jika seseorang berpuasa pada hari senin atau kamis di bulan syawal, maka itu bisa sekaligus dia jadikan sebagai puasa syawal baginya.


Contoh yang tidak memenuhi syarat:
Shalat 2 rakaat di akhir malam menjelang subuh, dengan niat shalat tahajud sekaligus shalat sunnah fajar. Ini tidak boleh, karena asal waktu pengerjaan kedua shalat sunnah berbeda. Satu sebelum subuh dan yang lainnya setelah masuknya waktu subuh.

Seseorang yang mempunyai hutang fidyah 10 hari dan sekaligus mempunyai kewajiban bayar kaffarat sumpah. Lalu dia member makan 10 orang miskin dengan niat fidyah sekaligus kaffarat sumpah. Maka ini tidak syah digabungkan, karena kedua jenis ibadah ini (fidyah dan kaffarat) adalah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dalam artian keduanya mempunyai maksud dan tujuan dasar yang berbeda. Satu sebagai pengganti puasa, sementara yang lainnya sebagai penggugur dosa karena telah melanggar sumpah.

Nah, bertolak dari uraian di atas, kita bisa mengetahui kalau jawaban dari pertanyaan di atas adalah:

TIDAK BOLEH MENGGABUNGKAN NIAT ANTARA  AQIQAH/NASIKAH DENGAN QURBAN/UDH-HIAH

Kenapa? Karena kedua ibadah ini berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dimana keduanya disyariatkan untuk maksud dan tujuan yang berbeda sehingga tidak bisa saling mewakilkan. Aqiqah/nasikah disyariatkan sebagai rasa syukur dan tebusan untuk anak yang baru lahir, sementara qurban/udh-hiah disyariatkan sebagai tebusan untuk diri sendiri.

Ucapan para ulama yang mendukung pendapat ini:
Al-Haitami berkata dalam Tuhfah Al-Muhtaj Syarh Al-Minhaj (9/371):

وَظَاهِرُ كَلَامِ َالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا ، وَهُوَ ظَاهِرٌ ; لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ

“Lahiriah pendapat teman-teman kami (ulama Syafi’iyah) adalah: Seandainya seseorang berniat dengan satu ekor kambing untuk qurban dan sekaligus untuk ‘aqiqah maka keduanya dihukumi tidak syah. Inilah pendapat yang lebih tepat, karena masing-masing dari kedua ibadah ini adalah sunnah yang maqshudah (punya tujuan tersendiri).”

Abu Bakr Al-Fihri rahimahullah berkata mengenai hukum menggabungkan antara niat aqiqah, qurban, sekaligus walimah (resepsi pernikahan):

إذَا ذَبَحَ أُضْحِيَّتَهُ لِلْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيقَةِ لَا يُجْزِيهِ ، وَإِنْ أَطْعَمَهَا وَلِيمَةً أَجْزَأَهُ ، وَالْفَرْقُ أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْأَوَّلَيْنِ إرَاقَةُ الدَّمِ ، وَإِرَاقَتُهُ لَا تُجْزِئُ عَنْ إرَاقَتَيْنِ ، وَالْمَقْصُودُ مِنْ الْوَلِيمَةِ الْإِطْعَامُ ، وَهُوَ غَيْرُ مُنَافٍ لِلْإِرَاقَةِ ، فَأَمْكَنَ الْجَمْعُ

“Jika dia menyembelih hewan qurbannya dengan niat qurban sekaligus aqiqah, maka itu tidak syah. Namun jika dia menghidangkan hewan qurbannya dalam walimah, maka itu syah. Perbedaan antara kedua penggabungan ini adalah: Tujuan dari kedua ibadah yang pertama (qurban dengan aqiqah) adalah pengaliran darah, sehingga satu pengaliran darah tidak bisa menggantikan posisi dua pengaliran darah. Sementara tujuan dari walimah adalah memberi makan, dan tujuan ini tidak bertentangan dengan pengaliran darah (yang menjadi tujuan qurban), karenanya keduanya bisa digabungan (dalam satu niat).” Dinukil oleh Al-Haththab rahimahullah berkata dalam Mawahib Al-Jalil (3/259)

Kesimpulannya:

Tidak boleh menyembelih hewan dengan niat qurban sekaligus untuk aqiqah karena alasan di atas.
Ini adalah mazhab Al-Malikiah dan Asy-Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.

Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Al-Huda wa An-Nur, kaset no. 689. Namun alasan yang beliau gunakan adalah karena suatu ibadah yang wajib tidak bisa menggantikan ibadah wajib yang lainnya. Hal itu karena beliau memandang aqiqah dan qurban adalah wajib.
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin berkata menjawab pertanyaan mengenai hukum menggabungkan udh-hiah dengan aqiqah dalam satu sembelihan, jika Idul Adh-ha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak:
“Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adh-ha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiah, maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah. Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi dia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Hal itu karena kedua ibadah tersebut adalah ibadah yang sejenis dan waktu pelaksanaannya sama. Maka satu ibadah sudah menutupi ibadah yang lainnya.
Hanya saja, saya sendiri memandang bahwa: Jika Allah memberi kecukupan rezeki, maka hendaknya dia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il: 25/287-288)

Tambahan:
Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada satu pun dari kedua ibadah ini yang syah jika dia memaksa untuk menggabungkannya, qurbannya tidak syah dan aqiqahnya juga tidak syah[1]. Wallahu a’lam.

Tanya:
Trus, jika saya ingin menyembelih pada hari raya qurban dalam keadaan saya atau anak saya belum aqiqah, atau hari raya qurban bertepatan dengan hari ke-7 kelahiran anak saya. Apa yang harus saya lakukan?
Jawab:
Jika anda mempunyai keluasan rezeki, maka tidak diragukan jika anda menyembelih untuk keduanya, sembelihan untuk qurban sendiri dan sembelihan untuk aqiqah juga sendiri.

Tanya:
Jika uang saya tidak cukup, mana yang saya dahulukan: Qurban dulu atau aqiqah (untuk anak atau untuk diri sendiri) dulu?
Jawab:
Sebaiknya anda lebih mendahulukan qurban daripada aqiqah, karena waktu pelaksanaan qurban itu terbatas, yakni hanya 4 hari dalam setahun (10-13 Dzulhijjah). Sementara waktu pelaksanaan aqiqah bisa kapan saja sepanjang tahun. Wallahu a’lam.


[1] Seperti yang dikutip oleh Al-Haitami dari para ulama Syafi’iah di atas. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, dan beliau menyandarkan pendapat ini kepada sekelompok ulama salaf. Wallahu a’lam.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/hukum-menggabungkan-aqiqah-dan-qurban-dalam-satu-sembelihan.html
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar