Sabtu, 25 Oktober 2014

KISAH TELADAN : Imam Nawawi, Memilih Hidup Sederhana

Silsilah Keturunan
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Damsyiq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.

Masa Dewasa
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Damsyiq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmisebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].

Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.

Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.

Tawadhu dan Zuhud
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya.

Diriwayatkan bahwa beliau berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah
atau menulis.

Kehidupannya dihabiskan untuk berbakti kepada penyebaran dam perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Makan minumnya hanya sekali dalam sehari, sekadar memelihara kesehatan badannya.

Hidupnya sangat sederhana. Ini bisa disaksikan dari pakaiannya yang sangat sederhana. Tidak suka makan buah-buahan karena khawatir mengantuk yang akan mengganggu aktifitasnya. Ada juga riwayat lain yang menjelaskan bahwa keengganannya makan buah-buahan bukan semata khawatir mengantuk tetapi karena buah-buahan di Damsyik waktu itu terlalu banyak mengandung syubhat.

Beliau dikenal sebagai seorang yang bertaqwa menurut arti sepenuhnya, karena wara’ dan kebersihan jiwanya. Ia seorang ulama’ yang senang ditemui. Sepanjang hayatnya selalu istiqamah dalam menjalankan kewajiban menyebarkan ilmu dengan mengajar dan mengarang. Senantiasa beribadah di tengah-tengah kehidupannya yang serba kekurangan, sehingga hidupnya dipenuhi oleh usaha dan amal saleh terhadap agama, masyarakat dan umat.

Bersikap kepada Penguasa
Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali.

Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana.

Raja pun meremehkannya dan berkata: “Tandatanganilah fatwa ini!!”

Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan.

Raja marah dan berkata: “Kenapa !?”

Beliau menjawab: “Karena berisi kedhaliman yang nyata.”

Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari semua jabatannya!”

Para pembantu raja berkata: “Ia tidak punya jabatan sama sekali.”

Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya.

Raja ditanya: “Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?”

Raja pun menjawab: “Demi Allah, aku sangat segan padanya.”

Fatwa Imam Nawawi yang Menggemparkan
Menurut riwayat, suatu ketika Khalifah al-Malik al-Zahir mengadakan persiapan perang melawan orang-orang Tatar (monggol). Dalam persiapan tersebut  khalifah menggunakan fatwa ‘ulama yang mengharuskan mengambil harta rakyat untuk kepentingan perang melawan musuh. Para ulama fiqh negeri Syam membuat fatwa yang membolehkan negara mengambil harta rakyat untuk kepentingan perang. 

Namun rupanya hati khalifah masih belum tenang karena Imam Nawawi belum memberi fatwa mengenai hal itu. “Masih adakah lagi orang lain,”kata khalifah. “Masih ada, al-Syaikh Muhyiddin al-Nawawi” – demikian jawaban yang disampaikan kepada baginda.

Kemudian khalifah menjemput Imam Nawawi dan memintanya memberi fatwa seperti ‘ulama fiqh lain mengenai pengambilan harta rakyat untuk peperangan.

Namun beliau enggan dan tidak mau memberi fatwanya. Baginda bertanya: “Mengapa engkau enggan?” Lalu beliau memberi penjelasan mengapa enggan memberi fatwa.

Beliau berkata kepada khalifah,”Saya tahu sesungguhnya tuanku dulu seorang tawanan yang tidak memiliki harta benda. Kemudian Allah melimpahkan kurnianya kepada tuanku dan menjadikan  tuan seorang raja.

Saya mendengar bahawa tuan memiliki seribu orang hamba yang tiap-tiap mereka mempunyai beberapa ketul emas. Seandainya dua ratus orang khadam wanita milik tuanku, mempunyai perhiasan yang bernilai dan tuanku menjual perhiasan itu untuk biaya perang, maka saya bersedia memberi fatwa untuk membenarkan tuanku mengambil harta rakyat.”

Itulah jawaban Imam Nawawi kenapa ia enggan mengeluarkan fatwa. Intinya, beliau tidak membenarkan khalifah mengambil harta rakyat selama kekayaannya sendiri masih dapat dipergunakan.

Mendengar jawaban tersebut, al-Malik al-Zahir murka kepada Imam Nawawi. Akhirnya ia mengusir ulama yang kharismatik itu keluar dari Damsyik. Imam Nawawi pun memilih hengkang dari negerinya. Kemudian suatu ketika para ‘ulama Syam berusaha menjemput beliau agar kembali ke Damsyik. Namun beliau tidak mau dengan berkata: “Saya tidak akan kembali ke Damsyik selama khalifah masih berkuasa”.

Sikap Imam Nawawi ini membuktikan bahwa beliau bukanlah seorang ulama’ yang mencari kebenaran untuk dirinya saja, tapi demi kemaslahatan umat. Beliau tidak menjual ilmu yang dimiliki demi harta benda dunia. Seluruh hidupnya dicurhakan untuk ilmu demi masyarakat. Beliau yang memimpin ummat bukan ummat yang memimpinnya. Berani mengeluarkan fatwa tanpa memandang bulu, walaupun fatwanya itu meyusahkan posisinya. Inilah bukti bahwa beliau adalah ulama’ pewaris nabi (warithatul anbiya’).

Karya-Karya Imam Nawawi
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:


  1. Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush ShalihinAl-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
  2. Dalam bidang fiqih: Minhajuth ThalibinRaudhatuth ThalibinAl-Majmu’.
  3. Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
  4. Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’anBustanul ArifinAl-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.

Banyak orang yang tidak berusia panjang, namun meninggalkan kenangan yang tak terlupakan. Tidak terkecuali Imam Nawawi. Meski usianya hanya 45 tahun (631-676 H). Pada 24 Rajab 676 Hijrah beliau wafat dan dimakamkan di Nawa, setelah sekian lama hidup membujang di tengah-tengah suasana masyarakat Damsyiq sudah maju peradabannya.
------------------------
Sumber : https://www.facebook.com/notes/salihul-fajri/kisah-teladan-imam-nawawi-memilih-hidup-sederhana/10150614437469792

Jumat, 24 Oktober 2014

Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi Pada Hari Jum'at


DR Muhammad Bakar Isma’il dalam Al-Fiqh al Wadhih min al Kitab wa al Sunnah menyebutkan bahwa di antara amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan pada malam dan hari Jum’at adalah membaca surat al-Kahfi berdasarkan hadits di atas. (Al-Fiqhul Wadhih minal Kitab was Sunnah, hal 241).

Kesempatan membaca surat Al-Kahfi adalah sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis sore sampai terbenamnya matahari pada hari Jum’at.

KEUTAMAAN MEMBACA SURAT AL-KAHFI DI HARI JUM’AT

Dari beberapa riwayat di atas, bahwa ganjaran yang disiapkan bagi orang yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at atau pada siang harinya akan diberikan cahaya (disinari). Dan cahaya ini diberikan pada hari kiamat, yang memanjang dari bawah kedua telapak kakinya sampai ke langit. Dan hal ini menunjukkan panjangnya jarak cahaya yang diberikan kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ
Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. Al-Hadid: 12)

Balasan kedua bagi orang yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at berupa ampunan dosa antara dua Jum’at. Dan boleh jadi inilah maksud dari disinari di antara dua Jum’at. Karena nurr (cahaya) ketaatan akan menghapuskan kegelapan maksiat, seperti firman Allah Ta’ala:
إن الحسنات يُذْهِبْن السيئات
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Huud: 114)

Surat Al-Kahfi dan Fitnah Dajjal

Manfaat lain surat Al-Kahfi yang telah dijelaskan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah untuk menangkal fitnah Dajjal. Yaitu dengan membaca dan menghafal beberapa ayat dari surat Al-Kahfi. Sebagian riwayat menerangkan sepuluh yang pertama, sebagian keterangan lagi sepuluh ayat terakhir.

Imam Muslim meriwayatkan dari hadits al-Nawas bin Sam’an yang cukup panjang, yang di dalam riwayat tersebut Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,  “Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapatinya (mendapati zaman Dajjal) hendaknya ia membacakan atasnya ayat-ayat permulaan surat al-Kahfi.

Dalam riwayat Muslim yang lain, dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari permulaan surat al-Kahfi, maka ia dilindungi dari Dajjal.” Yakni dari huru-haranya.

Imam Muslim berkata, Syu’bah berkata, “Dari bagian akhir surat al-Kahfi.” Dan Hammam berkata, “Dari permulaan surat al-Kahfi.” (Shahih Muslim, Kitab Shalah al-Mufassirin, Bab; Fadhlu Surah al-Kahfi wa Aayah al-Kursi: 6/92-93)

Imam Nawawi berkata, “Sebabnya, karena pada awal-awal surat al-Kahfi itu tedapat/ berisi keajaiban-keajaiban dan tanda-tanda kebesaran Allah. Maka orang yang merenungkan tidak akan tertipu dengan fitnah Dajjal. Demikian juga pada akhirnya, yaitu firman Allah:

أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ
Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? . . .” QS. Al-Kahfi: 102. (Lihat Syarah Muslim milik Imam Nawawi: 6/93)

Penutup

Dari penjelasan-penjelasan di atas, sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk memiliki kemauan keras untuk membaca surat Al-Kahfi dan menghafalnya serta mengulang-ulangnya. Khususnya pada hari yang paling baik dan mulia, yaitu hari Jum’at. 

Wallahu Ta’ala a’lam. [PurWD/voa-islam.com]
----------------------------
Sumber : http://www.voa-islam.com/read/ibadah/2011/02/03/13112/keutamaan-membaca-surat-alkahfi-pada-hari-jumat/;#sthash.YdkLWVnv.dpuf


TEMPAT INI.....TEMPAT KITA..


Apa yang harus dipersiapkan untuk masuk ke dalamnya? 
Sumber : Video dari akun Facebook Ust. Salihul Fajri  dengan link berikut ini : 

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Segala puji bagi Allah Yang telah Mencukupi.
Shalawat dan salam atas Nabi yang terpilih, juga atas keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du.

Kekasihku yang sangat aku kasihi,
Tempat ini adalah tempatku dan tempatmu.
Lubang yang sempit ini, yang jikalau kita mati maka kita akan memasukinya.
Kita akan dibawa seperti halnya kita membawa banyak dari mereka yang telah wafat. Dan kita bawa mereka ke pemakaman ini, kemudian kita kubur mereka di tempat ini.

Lihatlah....semoga Allah memeliharamu.
Lihatlah tempatmu ini.....Tanah merupakan kasurmu.....Itu juga menutupimu kelak.
Tempat ini, dimana akan diletakkan kamu, begitu juga dengan saya sendiri.
Namun renungkanlah.....
Bagaimana solusinya ???
Apa yang akan terjadi nanti di tempat ini ??!!
Yang sekarang kamu lihat di depan mata kepalamu.
Tempat ini....
kamu akan diletakkan dan dikuburkan.
Tempat ini adalah tempatmu, tempat yang sangat sempit.
Tempat ini bisa menjadi taman dari taman surga atau lubang dari lubang neraka.

Saudaraku yang sangat aku kasihi
Mungkin kamu bisa hidup dirumah atau di sebuah istana atau dengan lantai yang bertingkat2 tapi malah kamu merasa sempit dan gundah.
Akan tetapi di tempat ini....Yaa Allah...
Bisa kau bayangkan tempat ini, bisa kamu bayangkan lubang ini....
Temanmu kelak adalah AMALMU....
Baik itu amal yang sholeh ataupun sebaliknya.

Di tempat ini....ulat akan mendatangimu
Sehingga memakan jasadmu. Mungkin jasad itu dulu indah.
Akan tetapi....BERHATI-HATILAH...!!!
Bisa saja nanti akan mendapat NIKMAT atau sebaliknya JAHIM (AZAB).

Maka mulailah beramal untuk dirimu.
Beramallah untuk dirimu kelak di tempat ini.
Demi Allah...kalian tidak akan mampu bertahan, KECUALI...
Jika kalian termasuk seseorang yang takut kepada Allah dan memiliki amal sholeh yang kalian persiapkan untuk masuk lubang ini.

Subhaanallaah...Maha Suci Allah...
Mungkin kamu tidak mampu untuk tidur di tempat yang mewah...
Maka bagaimana dengan tempat yang sempit ini?

Aku memohon kepada Allah agar menutup kehidupan kita dengan HUSNUL KHOTIMAH.
BERTAUBATLAH KEPADA ALLAH....!!!!!
MENYESALLAH....!!!!
Sebelum tiba suatu hari yang tidak bermanfaat penyesalan itu.

Kamu tidak akan mampu.....untuk hidup di suatu rumah yang sangat sempit.
Demi Allah, kamu tidak akan mampu....
Lalu bagaimana dengan lubang ini ?!

Aku menasehati diriku dan dirimu untuk kembali kepada Allah dengan menyesal dan bertaubat dan istrighfar memohon ampunan.

Maka aku katakan kepada mereka :
"Beristighfarlah kepada Tuhan kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkanmu hujan yang lebat."
"Wahai orang-orang yang beriman...!!! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha."
Katakanlah wahai Muhammad :
"Wahai hambaku yang melampaui batas. Janganlah kalian putus asa akan Rahmat Allah. "

Semoga Allah mengampuni saya dan kalian.
Sesungguhnya Dialah Yang Kuasa Atas Itu.
Shalawat dan salam ke atas Nabi Allah, Muhammad shallallaahu 'alayhi wasallam.
Walhamdulillaahi robbil 'aalamiin.

Amalan di Bulan Muharram

Amalan di Bulan Muharram

Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram:

Memperbanyak puasa selama bulan Muharram

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان
“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».
Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا».
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)

Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم)) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار
Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:

كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه
Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)

Adakah anjuran puasa tanggal 11 Bulan Muharram?

Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
“Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).

Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:
صوموا قبله يوماً وبعده يوماً
“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”
Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”).

Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:
Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.

Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.

Imam Ahmad mengatakan:
Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).
Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:
  1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
  2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
  3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
(Zadul Ma’ad, 2/72)

Bolehkah puasa tanggal 10 saja?

Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.
Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.

Beliau menjawab:
Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram….. Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)

Artikel KonsultasiSyariah.com
---------------
Sumber : http://www.konsultasisyariah.com/amalan-di-bulan-muharram/ 

Jumat, 17 Oktober 2014

‘Jangan Kalian Memakan Bangkai Saudaramu’

10 October, 2014
Sebuah ikhtibar yang dapat diambil dari pemaparan Ustad Arfan M. Alwy dalam pengajian di Masjid Alfurqon. Begitupun berbagai faedah amalnya. Pada pengajian – pengajian yang dilaksanakan, selalu ada nasehat yang dapat diambil darinya.

Misalnya dikemukakan bahwa tiadalah gunanya berprasangka buruk. Karena prasangka buruk itu tidaklah baik, bahkan akan menurunkan derajat kemuliaan seseorang. Begitu ungkap  Ustad Arfan M. Alwy pada Kamis Malam belum lama ini.

Ia mengutip sebuah kisah dalam sebuah hadist, dimana ‘Ubaid r.a, dia berkata : “Di masa Rasulullah SAW, beliau memerintahkan orang-orang berpuasa selama satu hari. Lalu mereka pun berpuasa. Saat itu ada dua orang wanita berpuasa, dan mereka sangat menderita karena lapar dan dahaga pada sore harinya. Kemudian kedua wanita itu mengutus seseorang menghadap Rasulullah SAW, untuk memintakan izin bagi keduanya agar diperbolehkan menghentikan puasa mereka.

Sesampainya utusan tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau memberikan sebuah mangkuk kepadanya untuk diberikan kepada kedua wanita tadi, seraya memerintahkan agar kedua-duanya memuntahkan isi perutnya ke dalam mangkuk itu. Ternyata kedua wanita tsb memuntahkan darah dan daging segar, sepenuh mangkuk tersebut, sehingga membuat orang-orang yang menyaksikannya terheran-heran.

Dan Rasulullah SAW bersabda : “Kedua wanita ini berpuasa terhadap makanan yang dihalalkan Allah tetapi membatalkan puasanya itu dengan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Mereka duduk bersantai sambil menggunjingkan orang-orang lain. Maka itulah ‘daging-daging’ yang mereka pergunjingkan.” (H.R.  Ahmad)
“Orang yang menggunjing dan mendengarkan gunjingan, keduanya bersekutu dalam perbuatan dosa.” (H.R. Ath-Thabrani)

“...Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita dusta dan banyak memakan yang haram....” (Al-Qur’an Surat Al-Maidah : 42)

Allah S.W.T berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian sebagian besar dari rasa curiga kepada sesama mukmin. Karena rasa curiga (prasangka buruk) kepada sesama mukmin itu dosa. Janganlah kalian memata-matai sesama mukmin. Janganlah kalian menggunjing satu sama lain. Patutkah seorang diantara kalian dengan senang hati memakan daging baNgkai saudaranya.? Tentu kalian benci hal itu. Taatlah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang kepada sesama makhluk-Nya.” (QS: Al-Hujuraat:12).

Demikianlah sebuah kisah yang diungkapkan, dapat dijadikan pelajaran bagi kita dalam setiap pergaulan dalam kehidupan bermasayarakat. Seruannya, mengajak kita untuk meninggalkan sikap-sikap seperti itu, karena bukan sebuah kebaikan, malah akan membuat dosa besar bagi pelakuknya. Wallohu’alam.(*)
BY : CANDRA SETIA

Sumber : http://www.assajidin.com/2014/10/10/319/jangan-kalian-memakan-bangkai-saudaramu