Rabu, 28 Mei 2014

Pakaian Warna-warni dan Menjuntai, Bolehkah?

oleh;Hafidz Muftisany--

Perkembangan dunia fashion Muslimah memunculkan beragam corak desain. Pertautan dengan gaya desain modern membuat desain pakaian Muslimah semakin digemari. Tak ayal kini, terutama Muslimah muda, gemar memakai pakaian Muslimah karena bisa tampil modern dan muda.

Pilihan berbagai warna dan kreativitas desain memunculkan jenis gaya berhijab dan berpakaian yang baru. Dengan berbagai gaya desain baru tersebut, adakah batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam menggunakan busana Muslimah dengan berbagai corak?

Ada beberapa desain baju Muslimah yang menjuntai hingga tanah. Soal baju yang menjuntai ini Syekh Kami Muhammad 'Uwaidah dalam al-Jami' Fii Fiqhii an-Nisa' mengatakan batasan menjulur pakaian bagi seorang Muslimah adalah sehasta dari mata kaki.

Dalam sebuah hadis dari Abdullah bin Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa menarik (menyeret) pakaiannya karena sombong, niscaya Allah tidak akan memandangnya. Lalu Ummu Salamah bertanya, 'Bagaimana kaum wanita harus membuat ujung pakaiannya?' Rasulullah SAW menjawab, 'Hendaklah mereka menurunkan pakaian mereka sejengkal dari pertengahan betis kaki,' kemudian Ummu Salamah berkata,'Kalau begitu, kaki mereka tetap tampak?' Lalu Beliau SAW berkata, 'Hendaklah mereka menurunkan satu hasta dan tidak boleh melebihinya.'" (HR an-Nasai).

Dikhawatirkan jika terlalu menjuntai ke bawah, pakaian akan terkena najis. Di sisi lain, jika pakaian yang menjuntai ke tanah dikhawatirkan terkena najis, tanah atau debu di jalanan yang ia lalui akan membersihkan najis tersebut.

Seperti hadis dari Ummu Salamah, bahwasanya ada seorang wanita yang berkata kepada Ummu Salamah, "Aku memanjangkan bajuku, lalu aku berjalan di tempat yang kotor," Ummu Salamah menjawab, "Rasulullah SAW pernah bersabda, ujung baju itu akan dibersihkan oleh tanah berikutnya." (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Dalam hadis lain, seorang wanita dari Bani Abdul Asyhal pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami memiliki jalan menuju masjid becek, lalu apa yang harus kami lakukan jika hujan turun?" Beliau SAW mengatakan, "Bukankah setelah jalan tersebut ada jalan yang lebih bersih darinya?" Wanita itu menjawab, "Ya". Kemudian, Nabi SAW berkata, "Yang ini (kotor) dibersihkan yang ini (bersih)." (HR Abu Dawud).

Soal najis pakaian, Sidiq Khan al-Bukhari mengatakan bagian yang terkena najis harus dibersihkan dengan cara mencucinya. Dan, air adalah alat pokok untuk membersihkan serta menyucikan dan tidak ada yang dapat menggantikannya kecuali yang dibenarkan syariat. Salah satunya debu atau tanah seperti hadis di atas.

Terkait dengan ragam corak warna pakaian, beberapa ulama membolehkan wanita memakai pakaian dengan berbagai warna. Perhiasan atau wewangian bagi kaum perempuan adalah sesuatu yang jelas warnanya, tapi tak jelas baunya. Seperti disebutkan dalam hadis, "Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya, tapi tampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas, tapi baunya tidak begitu tampak." (HR. Baihaqi).

Dalam beberapa riwayat, istri nabi dan sahabiyah juga memakai pakaian berwarna merah, hijau, dan kuning. Ummahatul Mukminin Aisyah RA dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah pernah berihram dengan pakaian merah yang dicelup 'ushfur. Pakaian jenis ini berwarna merah polos tanpa garis.

Sementara, pakaian berwarna hitam bermotif garis warna-warni lain juga diperbolehkan dipakai wanita sebagaimana hadis dari Ummi Khalid binti Khalid. Saat itu, Ummi Khalid masih kecil dan dia sudah dipanggil dengan nama kuniyahnya Ummi Khalid. Nabi SAW mendapatkan hadiah sebuah pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Rasulullah SAW bersabda, "Menurut kalian siapa yang paling tepat mendapat pakaian ini?" Para sahabat pun tidak ada yang menjawab. Kemudian beliau bersabda, "Bawa kemari Ummi Khalid." Lalu, Ummi Khalid digendong Nabi SAW kemudian mengenakan pakaian tadi yang berwarna hitam garis hijau atau kuning dan mendoakannya, "Semoga awet...semoga awet. Wahai Ummi Khalid ini pakaian yang cantik." (HR Bukhari).

Sementara itu, menurut pendapat Lajnah Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang beranggotkan Syekh Abdul Azis bin Abdullah bin Abdurahman al-Baz, Syekh Abdullah bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin, dan Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, wanita dilarang memakai pakaian putih di Arab Saudi. Karena, menurut mereka, di Arab Saudi pakaian putih adalah pakaian yang identik dengan laki-laki. Ulama ifta Arab Saudi ini mengambil hukum jika pakaian perempuan tidak boleh menyerupai pakaian laki-laki.

Warna pakaian yang termasuk perhiasan luar yang tidak boleh ditampakkan juga tergantung adat kebiasaan daerah masing-masing. Jika warna tertentu termasuk tabarruj dan menarik perhatian di sebuah daerah, segolongan ulama melarang wanita memakainya.

Secara umum kaidah pakaian Muslimah yang diperbolehkan menurut Syekh Yusuf Qaradhawi adalah menutup seluruh tubuh selain yang dikecualikan, yaitu muka dan dua tapak tangan. Kemudian, pakaian tidak tipis dan tidak menampakkan bentuk badan, tidak menimbulkan fitnah sekalipun tidak tipis. Terakhir bukan pakaian khusus yang dipakai laki-laki.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/05/23/n60jc419-pakaian-warnawarni-dan-menjuntai-bolehkah

Prof Dr KH Ali Mustafa Ya’qub: Perlu Reorientasi Shalat Berjamaah

olah:Hanan Putra--



Setiap orang menyadari, pahala shalat berjamaah di masjid 27 kali lipat daripada shalat sendirian. Pahala 27 derajat tersebut sudah pasti didapatkan, sementara pahala shalat sendirian belum pasti adanya. Orang yang cerdas, tentu akan memilih yang 27 kali lipat tersebut.

Namun, realitasnya masjid-masjid tetap sepi dari mereka yang menunaikan shalat berjamaah. Beberapa mushalla bahkan ada yang tutup ketika shalat Zhuhur dan Ashar. Apa yang sebenarnya salah dari umat ini?

Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Musafa Ya'qub, perlu ada reorientasi ibadah dalam shalat berjamaah. Umat perlu diingatkan apa sebenarnya yang mereka cari ketika menunaikan shalat. Berikut petikan wawancara selengkapnya bersama wartawan Republika Hannan Putra.

Bagaimana kondisi masjid-masjid di Indonesia?
Secara umum, saya termasuk yang prihatin. Sebab, di Indonesia ini orang berlomba-lomba gede-gedean masjid, kemudian berlomba-lomba pula kosong-kosongan masjid. Jadi, itu yang memprihatinkan.

Apa penyebab umat jauh dari masjid?

Saya tidak tahu persis. Misalkan, tentang shalat berjamaah. Itu hampir menggejala, orang Indonesia tidak menyukai shalat berjamaah. Saya sudah amati di mana-mana. Tidak ada rasa penyesalan kalau dia tidak shalat berjamaah.

Padahal, sebenarnya shalat berjamaah dengan shalat sendirian itu kan pekerjaannya sama. Misalkan, shalat Zhuhur atau Isya itu kan sama-sama empat rakaat, baik sendiri-sendiri ataupun berjamaah.

Namun, kalau berjamaah sudah pasti mendapatkan pahala 27. Itu pasti, meskipun jelek shalatnya. Kalau sendirian belum pasti mendapatkan satu. Mengapa belum pasti? Karena yang diterima itu yang baik saja. Kalau yang tidak baik, ya tidak diterima.

Namun, orang Indonesia itu lebih senang shalat sendirian daripada berjamaah, umumnya begitu. Tidak ada rasa penyesalan kalau shalat tidak berjamaah. Padahal, kehilangan 27 dan belum pasti mendapatkan satu, itu mestinya ada rasa penyesalan. Tapi, ternyata tidak ada.

Kadang, saya bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang ngajarin mereka begitu. Saya pernah dulu waktu mau shalat Zhuhur berjamaah di kawasan Tebet. Waktu sampai di sana, saya sudah ketinggalan. Akhirnya, saya menunggu orang yang mau datang. Jadi, ada seorang abang yang datang. "Assalamualaikum, Bang. Abang belum sembahyang Zhuhur ya?"
"Belum," jawabnya.
"Ayo kita shalat berjamaah."
Kemudian dia bilang, "Ayo Bapak dulu, silakan dimulai, saya mau wudhu dulu. Akhirnya, saya mulai. Bacaan saya panjang-panjangkan. Saya pikir, setelah wudhu dia akan menjadi makmum saya. Ternyata, saya tunggu-tunggu sampai saya salam dia gak jadi makmum saya. Ternyata, dia shalat di pojokan sana. Jadi saya bertanya, mengapa dia seperti itu? Siapa sih yang ngajarin orang Indonesia sampai tidak suka berjamaah. Inilah yang menyebabkan banyak masjid kosong.

Seberapa jauh peran ulama mengajak umat untuk kembali ke masjid?
Dulu, di Masjid Istiqlal itu, Pak Tarmizi Taher sampai marah-marah. Kok orang-orang para peziarah dan turis yang datang ke Masjid Istiqlal itu tidak mau shalat berjamaah dengan imam di Masjid Istiqlal. Itu sering sekali terjadi.

Saya sampai bagikan selebaran (kepada mereka). Saya sebutkan hadisnya dan macam-macam. Salah satunya hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud ada salah seorang yang bernama Yazid. Rasulullah kan sedang shalat, tapi Yazid ini duduk aja di pinggir masjid. Setelah itu, dipanggil Rasulullah. "Wahai Yazid, mengapa kamu tidak ikut shalat berjamaah. Bukankah kamu orang Islam?"

Nah, kata-kata ini menunjukkan bahwa perilaku Yazid itu bukan perilaku orang Islam. Kok orang shalat berjamaah dia ngobrol dengan temannya. Yazid mengatakan, "Saya sudah shalat di rumah ya Rasulullah." Tapi, Rasulullah mengatakan, kalau kamu sudah shalat di rumah kemudian ada shalat berjamaah kamu harus ikut shalat berjamaah bersama mereka. Bagimu, itu merupakan sunah."

Di Indonesia, tidak ada perhatian seperti itu. Di Masjid Istiqlal selalu seperti itu. Seperti yang banyak itu waktu shalat Ashar. Itu mereka tidak mau ikut shalat berjamaah. Setelah saya tanya, "Mengapa bapak ibu tidak mau ikut shalat?" Mereka menjawab, "Kami musafir, Pak."

Kok seperti itu, musafir itu tidak ada larangan shalat berjamaah. Menurut mazhab Syafi'i, orang yang shalat qashar tidak boleh bermakmum dengan orang yang tidak qashar, begitu. Bukan maksudnya tidak boleh berjamaah. Bahkan, menurut mazhab Hanbali, orang yang shalat qashar juga boleh bermakmum kepada orang yang shalatnya tidak qashar.

Ada pula yang beralasan, "Pak, kami ini sudah punya imam dari kampung, sudah punya pimpinan. Kami shalat menjadi makmum dia terus. Kalau kami ikut shalat di Masjid Istiqlal dan mengikut imam di sana maka imam dari kampung kami tidak jadi imam lagi."

Jadi, memang perlu ada reorientasi ibadah, khususnya dalam shalat berjamaah. Saya penasaran, di Troid Amerika itu shalat Subuh saja sampai 5.000 orang. Kalau betul informasi seperti itu, tentu itu lebih hebat dari Masjid Istiqlal.

Seberapa penting shalat berjamaah bagi Umat Islam?

Saya sampaikan di mana-mana, Rasulullah tidak pernah shalat fardhu kecuali berjamaah. Kita ini kadang-kadang ibadah itu orientasinya kepada fikih, bukan kepada hadis. Dalam fikih dikatakan shalat berjamaah itu fardhu kifayah. Jadi, cukup dua-tiga orang shalat berjamaah yang lain tidur semua tidak apa-apa.

Tapi, kalau orientasinya kepada hadis, pernahkah Rasulullah SAW shalatnya sendirian?
Tidak pernah. Jadi, kembalikan kepada hadis bukan kepada fikih. Kalau kepada fikih, nanti banyak pendapat.

Bagaimana membiasakan umat untuk shalat berjamaah?

Harus ada yang memberikan contoh. Para ustaz dan para pemimpinnya harus memberikan contoh shalat berjamaah di masjid. Kalau ustaznya malas, bagaimana umatnya bisa shalat ke masjid. Dakwah yang paling efektif itu adalah dengan memberikan contoh, bukan sekadar ngomong.

Kemudian, yang harus disadari, kita harus merasa rugi kalau tidak berjamaah. Karena dengan shalat berjamaah kita mendapatkan pahala 27 dan itu pasti, tapi kalau shalat sendirian itu satu dan itu belum pasti. Kalau orang yang cerdas, dia pasti berjamaah. Karena, dia pasti memilih yang 27 ketimbang yang satu, kemudian memilih yang sudah pasti ketimbang yang belum pasti. ed: hafidz muftisany

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/05/23/n60jc414-prof-dr-kh-ali-mustafa-yaqub-perlu-reorientasi-shalat-berjamaah

Khusyuk Jadi Pengobat Luka

oleh :Hanan Putra--


Khusuk mengalahkan rasa sakit jasmani

Selepas kemenangan kaum Muslimin atas kaum kafir di perang Dzatur Riqa', Rasulullah bersama pasukan kaum Muslimin langsung bertolak ke Madinah. Dalam perjalanan, pasukan kaum Muslimin terpaksa bermalam di sebuah tempat. Lantas disuruhlah dua orang sahabat Rasulullah ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir untuk berjaga-jaga di tempat yang disebut pintu Syi'b.

Kedua sahabat yang kelelahan tersebut bersepakat untuk jaga malam secara bergantian. Melihat 'Ammar yang sangat kelelahan, 'Abbad meminta rekannya untuk tidur lebih dahulu. Ia pun mulai berjaga-jaga.

Melihat lingkungan sekelilingnya aman dan hening, terlintaslah dalam pikirannya untuk mengisi waktu dengan shalat malam. Bukankah ia bisa memperoleh pahala berlipat?

Ketika tengah khusyu' dengan bacaan shalatnya, tanpa disadari 'Abbad, ada sepasang mata yang mengincarnya. Sejurus kemudian, sebatang panah pun menancap di pangkal lengannya. Herannya, panah itu diabaikannya begitu saja. Ia terus melanjutkan shalatnya seakan tidak terjadi apa-apa.

Tak lama berselang, panah kedua dan ketiga pun berdesing menghujam tubuhnya. Namun, 'Abbad tetap saja bersikap tenang seperti tak terjadi apa-apa. Panah yang menancap di tubuhnya itu secara perlahan dicabutnya, lalu ia teruskan shalatnya. 'Abbad yang hampir sekarat itu terus menyelesaikan shalatnya. Setelah salam ke kanan dan kekiri, barulah ia tarik rekannya 'Ammar yang tertidur.

Spontan saja, ‘Ammar yang baru terbangun dari tidurnya sangat kaget melihat rekannya yang sudah bersimbah darah. "Gantikan aku mengawal, karena aku telah kena," tutur 'Abbad dengan sisa tenaganya.

Si pemanah pengecut itu pun lari tunggang-langgang melihat banyak di antara kaum Muslimin yang sudah terbangun. “Subhanallah, mengapa aku tidak dibangunkan ketika kamu dipanah yang pertama kali tadi?" tanya 'Ammar kepada 'Abbad.

"Ketika aku shalat tadi, aku membaca beberapa ayat Alquran yang amat mengharukan hatiku, hingga aku tak ingin untuk memutuskannya. Demi Allah, kalau bukan karena takut mengabaikan tugas yang diperintahkan Rasulullah, aku akan biarkan orang itu membunuhku hingga aku selesaikan bacaanku," ujar 'Abbad. Demikian seperti dikisahkan dalam Bidayah wan Nihayah Karangan Imam Ibnu Katsir.

Sedemikian hebatkah kekuatan khusyuk sehingga mampu menghilangkan rasa sakit dipanah? Seorang 'Abbad bin Bisyir secara sukarela dipanah dan hampir terbunuh hanya karena tidak ingin memutuskan shalatnya. Pastilah ada suatu kenikmatan luar biasa dalam khusyuknya yang bisa melebihi rasa sakit akibat ditembus panah.

Demikian juga agaknya ketika Ali bin Abi Thalib yang pernah tertusuk panah. Seperti dikisahkan dalam Tafsir Kasyf al-Asrâr Maibadi, sebuah anak panah pernah menembus kaki beliau hingga mengenai tulangnya. Meski telah diusahakan untuk mencabut, namun tidak kunjung berhasil. Satu-satunya cara untuk mencabutnya adalah dengan menusukkan anak panah tersebut sampai benar-benar tembus, kemudian mematahkan ujungnya. Barulah panah itu bisa dicabut.

Ali bin Abi Thalib pun meminta agar anak panah tersebut dicabut ketika ia tengah menunaikan shalat Ashar. Benar saja, ketika beliau tengah khusyuk dengan shalatnya, seorang tabib datang untuk mencabut anak panah itu. Sedangkan Ali bin Abi Thalib sama sekali tak merasakan kesakitan. Tatkala beliau memberikan salam, Ali langsung berujar, “Sekarang lukaku agak ringan.”

Khusyuk seperti inilah yang tak ingin dilewatkan para sahabat ketika shalat. Kenikmatan 'bercakap-cakap' dengan Allah telah menjadi penawar dari segala bentuk kesakitan. Jika sakit yang nyata seperti tertusuk panah saja bisa lenyap dengan shalat, apalagi dengan sakit ruhani.

Hati yang tidak tenang, pikiran yang buntu, dan jiwa yang ada dalam kegalauan. Shalat dengan khusyuklah yang menjadi penawar semua itu. Ketika mengadukan semuanya kepada Allah maka segala persoalan pasti akan diselesaikan oleh Yang Mahakuasa. Pantas saja Allah berfirman, "Minta tolonglah kalian dengan sabar dan shalat. Namun, yang demikian itu sungguh berat, melainkan bagi orang-orang yang khusyuk," (QS al-Baqarah [2]:153).

Khusyuk bukan berarti lupa segala-galanya. Seperti didefenisikan Imam Ibnu Rajab, khusyuk berarti kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia kepada Allah SWT. Intinya, seorang hamba menyadari bahwa ia tengah berkomunikasi dengan Allah. Ketahuilah, di akhirat nanti, kenikmatan terbesar seorang hamba ketika menemui Rabb mereka di surga. Bagaimanakah kiranya, ketika mereka bisa merasakan itu di dunia?

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/05/23/n60jc413-khusyuk-jadi-pengobat-luka

Selasa, 27 Mei 2014

Mencari Solusi dengan Shalat

oleh:Hannan Putra--



Isra' Miraj adalah peristiwa yang luar biasa. Untuk itulah, ketika menyebutkan peristiwa ini Allah SWT memulainya dengan ucapan tasbih. "Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam …." (QS al-Israa' [17]: 1).

Menurut Ketua Gerakan Pembangunan Kebiasaan Shalat Berjamaah (GPKSB) Akhmad Tefur SSi, kalimat tasbih identik dengan hal luar biasa. Seperti halnya, peristiwa Isra' Miraj dan juga perintah shalat yang diberikan Allah dalam peristiwa tersebut.

Tefur menerangkan, Allah sering menggunakan kata ganti shalat di dalam Alquran dengan kata rukuk dan sujud. Misalnya, dalam surat al-Baqarah disebutkan, "... dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS al-Baqarah [2]:43).

"Maksudnya di sini bukan rukuk berjamaah, tapi tunaikanlah shalat secara berjamaah," terang Tefur.

Demikian juga dengan sujud, seperti diterangkan dalam ayat lain, "... bersihkanlah rumah-Ku (Masjidil Haram) untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (QS al-Baqarah [2]:125).

Jadi, rukuk dan sujud adalah salah satu rukun di dalam shalat yang menggambarkan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah. Di dalamnya dibaca bacaan tasbih yang menyucikan Allah SWT.

"Rukuk dan sujud itu yang dibaca tasbih, tasbih adalah shalat, dan shalat ketika menjemput perintahnya dalam peristiwa Isra' Miraj itu juga dimulai dengan tasbih," papar Tefur.

Namun, peristiwa luar biasa itu tidak semata-mata hanya untuk menjemput perintah shalat lima waktu. Ketua PBNU KH Said Aqil Siraj menambahkan, latar belakang peristiwa tersebut sebagai bentuk keprihatinan Allah SWT kepada Rasul-Nya yang diterpa berbagai masalah dan penderitaan. Allah SWT ingin memberikan 'paket tamasya' ke ujung langit (Sidratul Muntaha) kepada Nabi Muhammad yang banyak mengalami keperihan hidup.

Setahun sebelum hijrah adalah masa-masa tersulit bagi Rasulullah SAW. Ditinggal istri tercinta Khadijah RA, berikut meninggalnya paman beliau, Abu Thalib. Semenjak itu, kafir Quraisy benar-benar semena-mena kepada beliau. Rasulullah bahkan sempat diusir dari Makkah dan mencari perlindungan ke Thaif. Alih-alih mendapat perlindungan, Rasul SAW bahkan dilempari batu hingga berdarah-darah. Ketika itulah Rasul berdoa kepada Allah.

"Jadi, tujuan utama Isra' Miraj itu awalnya bukan untuk menjemput perintah shalat, tetapi memberikan semacam solusi dari permasalahan yang dihadapi Nabi ketika itu," papar Kiai Said Agil kepada Republika, Sabtu (17/5).

Setelah mendapat paket tamasya itu, Allah SWT memberikan 'oleh-oleh' berupa perintah shalat. Oleh-oleh itulah yang menjadi senjata bagi Rasulullah dan umatnya dalam menghadapi masalah. Dengan adanya shalat, hamba yang mendapat masalah mempunyai akses langsung untuk mengadukan masalahnya kepada Allah Sang Maha Pemberi Solusi.

"Jadi, shalat menjadi solusi dari berbagai masalah kita. Seperti halnya Nabi ketika itu," papar Kiai Said Agil.

Ketua umum Persatuan Islam (Persis) Prof Dr KH Maman Abdurrahman menambahkan, peristiwa Isra' dan Miraj bagi umat Islam jangan hanya sebatas peringatan. Hendaklah peristiwa luar biasa itu menjadi momen untuk meningkatkan kualitas keimanan umat Islam untuk menjadi karakter yang lebih baik.

Menurutnya, perintah shalat sebagai buah hasil dari Isra' Miraj tersebut merupakan media penempaan bagi seorang Muslim untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

"Mestinya, mereka yang suka melaksanakan peringatan itu, bagaimana menjadikan kualitas shalat mereka bisa meningkatkan karakter. Karena, dalam shalat itu sebenarnya ada pendidikan karakter di situ," terang Kiai Maman.

Ia menerangkan, secara filosofis, setiap gerakan yang ada di dalam shalat mengandung makna pendidikan karakter. Bahkan, dengan berwudhu saja sudah dapat dimaknai dan menjadi pelajaran bagi umat Islam.

"Misalkan saja dengan berwudhu ada pendidikan karakter bahwa kita wajib memelihara lingkungan," terangnya. Seseorang yang berwudhu harus menggunakan air mutlaq, yakni yang terpelihara kesuciannya. Untuk itulah, seorang mukmin tidak boleh mengotori lingkungan.

Ia melanjutkan, ketika seseorang berkumur-kumur, hendaklah dimaknai dengan membersihkan mulut dari segala ucapan yang kotor. "Jadi, bukan hanya sekadar kebersihan fisiknya saja," terang Maman. Demikian juga dengan anggota wudhu yang lain. Jadi, seseorang yang berwudhu tidak mungkin melangkahkan kaki atau mengayunkan tangan ke tempat yang tidak baik.

Inilah sebenarnya yang ditekankan sebagaimana disebutkan dalam Alquran, "... sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar....” (QS al-Ankabut [29]: 45). "Itu ibrah yang paling utama dalam shalat itu," tegas Maman.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/05/23/n60jc415-mencari-solusi-dengan-shalat

Sabtu, 24 Mei 2014

Agar Bacaan Al-Qur'an Lebih Menyentuh Hati

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam firman-Nya,
 
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
 
“Dan bacakanlah apa-apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (Al-Qur`an). Tiada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan engkau tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain Dia.” [Al-Kahf: 27]
 
 
Juga dalam firman-Nya,
 
إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ. وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْآنَ
 
“Aku hanya diperintah untuk menyembah Rabb negeri (Makkah) ini Yang telah menjadikan (negeri) itu suci, dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu. Serta, aku diperintah agar aku tergolong sebagai orang-orang yang berserah diri, dan supaya aku membacakan Al-Qur`an (kepada manusia).” [An-Naml: 91-92]
 
Kepada kaum mukminin, Allah ‘Azza wa Jalla menganjurkan,


إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ.
 
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca (tilawah) kitab Allah, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka secara diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. (Yakni) agar Dia menyempurnakan pahala untuk mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [Fathir: 29-30]
Tidak diragukan bahwa membaca Al-Qur`an adalah salah satu tugas pokok seorang muslim dan muslimah serta sumber kebaikan dan kebahagiaan yang dia tidak bisa terlepas dari kehidupannya.
Membaca Al-Qur`an sesuai dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla akan mewariskan keimanan yang sangat agung di dalam Allah dan akan menambah keyakinan, ketenangan, dan kelembutan[1].
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
 
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا.
 
“Dan dari Al-Qur`an, Kami menurunkan sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, sedang Al-Qur`an itu tidaklah menambah (sesuatu) kepada orang-orang zhalim, kecuali kerugian.” [Al-Isra`: 82]
Keutamaan dan manfaat membaca Al-Qur`an tentunya sangatlah banyak. Namun, yang menjadi masalah pada sebagian kaum muslimin pembaca Al-Qur`an adalah kurangnya pengaruh pada jiwa dalam membaca Al-Qur`an Al-Karim.
Oleh karena itu, pada tulisan ini, kami akan menjelaskan beberapa kiat yang bisa membantu seorang muslim dan muslimah agar hati dan jiwanya lebih tersentuh serta lebih membuat dia bisa cinta dan mengagungkan Al-Qur`an.
Berikut penjelasan beberapa kiat tersebut dengan memohon pertolongan kepada Allah.
Pertama, mengetahui keutamaan, keagungan derajat, dan ketinggian kedudukan Al-Qur`an sehingga seseorang membaca Al-Qur`an dengan penuh kegembiraan dan rasa harap, serta penuh penghormatan, pengagungan, dan rasa takut kepada Allah, Yang menurunkan Al-Qur`an tersebut. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
 
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ.
 
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang pelajaran dari Rabb kalian kepada kalian, penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengan itu. (Karunia Allah dan rahmat-Nya) itu adalah lebih baik daripada apa-apa yang mereka kumpulkan. ” [Yunus: 57-58]
Kedua, pengetahuan seorang hamba bahwa Al-Qur`an adalah kalamullah (firman Allah) yang merupakan sebaik-baik pembicaraan dan ucapan jujur yang teragung dan terbenar.
Mencermati bahwa Al-Qur`an adalah kalamullah akan membuat pembaca Al-Qur`an merasakan bahwa seakan-akan Allah berbicara kepadanya. Tentunya, pengagungan seperti ini akan berpengaruh kepada hati seorang hamba. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
 
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ.
 
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]
Ketiga, membaca Al-Qur`an dengan menadabburi dan mencermati kandungannya.
Karena, maksud utama penurunan Al-Qur`an adalah agar kita menadabburi ayat-ayat-Nya sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya,
 
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ.
 
“Ini adalah sebuah kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepadamu supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” [Shad: 29]
Meninggalkan tadabbur terhadap Al-Qur`an akan menimbulkan kekerasan dalam hati. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan,
 
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا.
 
“Maka apakah mereka tidak menadabburi Al-Qur`an, ataukah hati mereka terkunci?” [Muhammad: 24]
 
Hendaknya diketahui bahwa menadabburi dan mencermati Al-Qur`an adalah lebih baik daripada sekadar membaca Al-Qur`an. Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al-Asqalâny rahimahullâh berkata, “Siapa saja yang membaca (Al-Qur`an) dengan tartil dan mencermati (Al-Qur`an), dia bagaikan orang yang bersedekah dengan suatu permata yang sangat mahal.”[2]
 
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Barangsiapa yang membaca Al-Qur`an dengan tafakkur (memikirkan dan merenunginya) hingga, jika melalui sebuah ayat yang dia perlukan dalam mengobati hatinya, dia mengulangi walaupun seratus kali, bahkan semalam penuh, karena membaca satu ayat dengan tafakkur dan memahami (ayat) itu adalah lebih baik daripada bacaan khatam tanpa tadabbur dan memahami. (Hal tersebut) juga lebih bermanfaat bagi hati dan lebih mengajak untuk memperoleh keimanan dan merasakan kemanisan Al-Qur`an.”[3]
Keempat, membaca Al-Qur`an dengan memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari gangguan syaithan yang terkutuk. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan,
 
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ.
 
“Apabila membaca Al-Qur`an, hendaklah engkau meminta perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” [An-Nahl: 98]
 
Hendaknya dia membaca, “A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm,” dengan menyadari bahwa syaithan sungguh berusaha memalingkannya dari mengambil manfaat dan mengamalkan Al-Qur`an.
Kelima, membaca Al-Qur`an dengan rasa khusyu’. Allah telah memerintah, disertai dengan peringatan, kepada orang-orang yang beriman dalam firman-Nya,
 
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ.
 
“Belumkah datang waktunya, bagi orang-orang yang beriman, untuk hati mereka khusyu’ dalam mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, (tetapi) kemudian hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik.” [Al-Hadîd: 16]
Keenam, membaca Al-Qur`an secara tartil.
Allah telah memerintahkan dalam firman-Nya,
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا.
 
“Dan bacalah Al-Qur`an itu secara tartil (perlahan-lahan).” [Al-Muzzammil: 4]
 
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah memberi contoh dengan membaca secara tartil dalam shalat malamnya. Jika melewati bacaan ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih. Jika melewati bacaan ayat tentang rahmat, beliau berhenti dan memohon rahmat Allah. Bila melalui bacaan ayat tentang ayat adzab, beliau berlindung kepada Allah[4].
 
Dalam sebuah hadits[5], Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam hanya dengan mengulangi membaca sebuah ayat, yaitu firman Allah Ta’âlâ,
 
إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.
 
“Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, tetapi jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Al-Maidah: 118]
Ketujuh, mempelajari kandungan dan tafsir Al-Qur`an dari para ulama.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
 
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah (baca: masjid) di antara rumah-rumah Allah, yang mereka membaca kitab Allah dan saling mempelajari (kitab) tersebut di antara mereka, kecuali bahwa pasti turun ketenangan di tengah mereka, mereka akan diliputi rahmat, dinaungi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut mereka (di depan para malaikat) di sisi-Nya.”
Kedelapan, memahami makna tilawah Al-Qur`an yang sebenarnya.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ.
 
“Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab, mereka menilawah (Al-Qur`an) dengan bacaan yang sebenarnya. Mereka itu beriman kepada (Al-Qur`an). Dan barangsiapa yang ingkar terhadap (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang merugi.” [Al-Baqarah: 121]
 
Tilawah terhadap Al-Qur`an adalah dengan tiga hal:
  1. Membacanya sesuai dengan ketentuan-ketentuan pembacaan Al-Qur`an yang ada di kalangan ahli qirâ`ah dan tajwid.
  2. Memahami kandungan dan penafsirannya.
  3. Mengimani dan mengamalkan kandungan dan hukum-hukumnya[6].
Kesembilan, mencontoh keadaan para nabi dan orang-orang shalih dalam membaca Al-Qur`an.
Salah satu sifat para malaikat, yang selalu taat dan takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, adalah membaca kalamullah sebagaimana dalam firman-Nya,
فَالتَّالِيَاتِ ذِكْرًا.
“Dan demi (rombongan malaikat) yang membacakan Kalamullah.” [Ash-Shaffat: 3]
 
Tentang para nabi, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
 
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا.
 
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah Allah beri nikmat, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dari keturunan Ibrahim dan Israil, serta dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” [Maryam: 58]
Juga, Allah menjelaskan sifat orang-orang yang berilmu saat mendengar ayat-ayat Allah sebagaimana dalam firman-Nya,
 
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا. وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا.
 
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila dibacakan Al-Qur`an kepada mereka, bersungkur di atas muka mereka sambil bersujud seraya berkata, ‘Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka bersungkur di atas muka mereka sambil menangis, dan mereka pun bertambah khusyu’.” [Al-Isra`: 107-109]
 
Nabi kita, Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menangis pada banyak keadaan dalam membaca Al-Qur`an atau ketika mendengar bacaan Al-Qur`an para shahabat sebagaimana telah sah dalam sejumlah hadits.
Kesepuluh, kekhawatiran terhadap diri bila tergolong sebagai orang-orang yang meninggalkan dan mengacuhkan Al-Qur`an.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah mengingatkan,
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا.
 
“Berkatalah Rasul, ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an itu sebagai sesuatu yang tidak diacuhkan.’.” [Al-Furqan: 30]
 
Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebut lima bentuk tentang meninggalkan Al-Qur`an:
  1. Meninggalkan mendengar, mengimani, dan memperhatikan Al-Qur`an.
  2. Meninggalkan beramal dengan Al-Qur`an serta berhenti pada setiap halal dan haramnya.
  3. Meninggalkan berhukum dan tahâkum kepada Al-Qur`an.
  4. Meninggalkan tadabbur dan memahami (Al-Qur`an).
  5. Meninggalkan berobat dan mencari kesembuhan dengan (Al-Qur`an)[7].
Demikianlah sepuluh kiat agar hati lebih tersentuh ketika membaca Al-Qur`an. Semoga Allah membersihkan hati dan jiwa kita dari segala dosa dan maksiat, dari segala penyakit dan bahaya, serta semoga Allah senantiasa memerangi dan menyejukkan hati-hati kita dengan Al-Qur`an Al-Karim. Innahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi wa huwa jawwadun karîm.
 
[Disarikan dari Makalah Tsamaniyyah Khathawât Min Ajl Qirâ’ah Mu`tsirah Li Al-Qur`ân Al-Karîm dengan banyak tambahan]

[1] Majmû’ Al-Fatâwâ 7/283 karya Ibnu Taimiyah.
[2] Fath Al-Bâry.
[3] Miftâh Dâr As-Sa’âdah.
[4] Diriwayatkan oleh Muslim.
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Mâjah dengan sanad yang hasan. Bacalah Ashl Shifât Ash-Shalah 2/534-535 karya Al-Albâny.
[6] Ahkâm Min Al-Qur`ân Al-Karîm 1/322 karya Syaikh Shalih bin ‘Utsaimin.
[7] Al-Fawâ`id.

Sumber artikel dzulqarnain.net
http://unga-rilangi.blogspot.com/2012/08/agar-bacaan-al-quran-lebih-menyentuh.html 

Menjaga Wudhu bagi Orang yang Suci, Junub dan Wanita Haidh

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
Ayub Jambi أبو أيوب | Admin BBG AsSunnah : Pertanyaan Untuk Ust. Sofyan
 
“Ustadz, saya mau tanya, kan sebaiknya kita bersuci (wudhu) setiap saat, mau pergi, mau tidur, betul tidak begitu?
Nah bagaimana kalau sedang berhalangan (haid)? Apakah boleh tetap berwudhu? Jazaakallaahu khoyron…” (10a)
 
Jawaban:
 
Disyari’atkan menjaga wudhu’ dalam setiap keadaan. 
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
 
استقيموا و لن تحصوا و اعلموا أن خير أعمالكم الصلاة و لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن
 
“Istiqomahlah kalian, walaupun kalian tidak akan mampu melakukannya secara hakiki (namun berusahalah mendekatinya), dan ketahuilah sebaik-baik amalan kalian adalah sholat, dan tidaklah ada yang MENJAGA WUDHU kecuali dia seorang mukmin.” [HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari Tsauban radhiyallahu’anhu, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’: 952]
 
Laki-laki dan wanita junub juga dianjurkan menjaga wudhu’ untuk meringankan junubnya, khususnya ketika akan makan atau tidur, berdasarkan keumuman hadits di atas dan juga terdapat hadits khusus dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
 
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
 
“Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam jika sedang junub, lalu beliau ingin makan atau tidur, maka beliau berwudhu’ terlebih dahulu sebagaimana wudhu’ beliau untuk sholat.” [HR. Muslim]
 
Adapun bagi wanita haid, tidak ada dalil khusus yang menganjurkannya, hanya saja sebagian ulama menyamakan antara junub dan haid, sehingga dibolehkan insya Allah ta’ala bagi wanita haid untuk menjaga wudhunya.
 
WaLlahu A’lam.
 
Sumber artikel: nasihatonline.wordpress.com

Haid, Ibadah Haji dan Umrah

 


 Hukum ihram bagi wanita haid, baik ihram untuk haji atau untuk umrah.
 
Al-Imam An-Nawawi menghikayatkan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang sahnya wanita nifas dan haid berihram. Disunnahkan bagi si wanita untuk mandi sebelum ihram, sebagaimana disunnahkan pula bagi selain wanita haid. (Al-Minhaj, 8/372)
Bahkan untuk wanita haid, mandi ini lebih ditekankan karena adanya hadits yang menyebutkannya. (Al-Mughni, Kitabul Hajj, bab Dzikrul Ihram)
Di antaranya:
 
1. Hadits Jabir bin Abdillah ra yang panjang tentang kisah haji Rasulullah. Di antaranya ia berkata:
 
حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: اغْتَسِلِي وَاسْتَنْفِرِي بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِي
 
Hingga ketika kami tiba di Dzul Hulaifah2, Asma’ bintu Umais melahirkan putranya yang bernama Muhammad bin Abi Bakr. Asma’ mengirim orang menemui Rasulullah shallalahu alaihi wasallam untuk menanyakan, “Apa yang harus kuperbuat?”3 Rasulullah bersabda, “Mandilah dan tutuplah (tempat keluar darah nifas) dengan kain dan berihramlah.” (HR. Muslim no. 2941)
 
Wanita haid hukumnya sama dengan wanita nifas.
2. Hadits Ibnu Abbas c dari Nabi n, beliau bersabda:

الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ إِذَا أَتَتَا عَلَى الْوَقْتِ تَغْتَسِلاَنِ وَتُحْرِمَانِ وَتَقْضِيَانِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ
 
“Wanita nifas dan haid, bila keduanya mendatangi miqat, hendaknya keduanya mandi dan berihram serta menunaikan manasik seluruhnya selain thawaf di Baitullah.” (HR. Abu Dawud no. 1744 dan selainnya, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
3. Nabi n memerintahkan Aisyah x mandi karena berihram haji dalam keadaan haid4. (HR. Ibnu Majah no. 641, dishahihkan dalam Al-Irwa’ no. 134, Ash-Shahihah no. 188)
Namun, sebagian ahlul ilmi menyatakan jika wanita haid tersebut ada harapan suci sebelum keluar dari miqat, disenangi baginya menunda mandi sampai ia suci agar lebih sempurna baginya. (Al-Majmu’, 7/220)
Hukum thawaf ketika haid
 
Ulama sepakat, wanita yang sedang haid tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah. (Al-Iqna’ fi Masailil Ijma’, 1/270)
Ibnu Hazm t berkata, “Larangan shalat, puasa, thawaf, dan jima’ pada kemaluan ketika sedang haid merupakan ijma’ yang diyakini lagi dipastikan. Tidak ada perselisihan di dalamnya di antara seorang pun dari pemeluk Islam.” (Al-Muhalla, 1/380)

Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t memberikan batasan/ketentuan bahwa ijma’/kesepakatan tersebut –terkhusus masalah larangan thawaf bagi wanita haid– adalah bila ia melakukan thawaf dalam keadaan tidak darurat. Adapun bila darurat, lain lagi pembicaraannya (tentang hal ini akan dibahas pada edisi mendatang, insya Allah, pen.), karena beliau menyatakan, “Adapun masalah yang aku tidak mengetahui ada perselisihan di dalamnya adalah seorang wanita tidak boleh thawaf dalam keadaan haid, jika memang dia mampu untuk thawaf dalam keadaan suci nantinya. Aku tidak tahu ada perselisihan tentang haramnya thawaf tersebut baginya dan ia berdosa bila melakukannya.” (Majmu’ Fatawa, 26/206)

Bila ternyata wanita haid itu tetap melakukan thawaf, ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya thawaf tersebut. Mayoritas ahlul ilmi (Al-Majmu’, 8/23), termasuk pendapat Malikiyyah (Al-Ma’unah, 1/186), Syafi’iyyah, Hanabilah dalam satu pendapat (Al-Majmu’, 8/23), dan Zhahiriyyah (Al-Muhalla, 5/189) memandang thawafnya tidak sah, karena menurut mereka, thaharah dari hadats merupakan syarat thawaf, sehingga orang yang melakukan thawaf harus dalam keadaan suci. Dalil mereka di antaranya:

1. Hadits Aisyah ra :

أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِيْنَ قَدِمَ النَّبِيُّ n أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ ….
 
“Yang awal dilakukan Nabi n ketika beliau tiba di Makkah adalah berwudhu kemudian thawaf…” (HR. Al-Bukhari no. 1614 dan Muslim no. 2991)
 
2. Hadits Jabir c bahwasanya Nabi n bersabda:

لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
 
“Ambillah dariku manasik kalian.” (HR. Muslim no. 3124)
 
Makna ucapan Nabi n di atas adalah bahwa urusan-urusan yang aku lakukan dalam hajiku, baik ucapan, perbuatan maupun penampilan, merupakan urusan dan tata cara haji. Ini adalah manasik kalian, hendaklah kalian mengambilnya dariku. Terimalah manasik ini, hafalkan/jagalah, amalkan dan ajarkanlah kepada orang-orang. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/50)
 
Adapula yang berpendapat sah thawafnya, namun ia berdosa. Demikian pendapat Hanafiyyah (Al-Mabsuth, 4/38), satu riwayat dari Al-Imam Ahmad (Al-Majmu’, 8/23), dan pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa, 26/213) sebagaimana telah diisyaratkan di atas, karena beliau memandang thaharah bukanlah syarat sahnya thawaf tapi merupakan kewajiban. Sebagaimana pernyataan beliau, “Pewajiban thaharah dan menutup aurat di dalam thawaf yang tsabit/pasti dengan dalil nash adalah masalah yang disepakati. Adapun keterangan pasti akan keharusan thaharah sebagai syarat dalam thawaf sebagaimana shalat (dipersyaratkan thaharah), ada perbedaan pendapat tentangnya.” (Majmu’ Fatawa, 26/222-223)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Apa yang harus dilakukan oleh wanita yang berhaji tamattu’5 bila ia haid sebelum thawaf umrah dan khawatir tidak bisa melakukan amalan haji?

Yang dimaksudkan di sini adalah wanita yang berihram untuk umrah, setelah selesai dari umrah ia bertahallul, kemudian berihram untuk haji di tahun itu juga. Wanita tersebut misalnya tiba di Makkah tanggal 5 Dzulhijjah. Ternyata ia haid dan kebiasaan haidnya 6 hari. Berarti, ia akan suci tanggal 11 Dzulhijjah, sedangkan waktu wukuf telah berlalu (tanggal 9 Dzulhijjah). Dengan demikian, ia luput menunaikan haji. Kondisinya sekarang, karena sedang haid ia tidak mungkin melakukan thawaf, sa’i, dan mengakhiri umrahnya. Lalu apa yang harus ia lakukan?

Jumhur ulama, di antaranya ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Zhahiriyyah, pendapat Al-Auza’i dan kebanyakan ulama lainnya, menyatakan ia berihram untuk haji bersama umrahnya sehingga hajinya menjadi haji qiran. Hal ini dengan dalil hadits Jabir ibnu Abdillah c, ia berkata:

أَقْبَلْنَا مُهِلِّيْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n بِحَجٍّ مُفْرَدٍ، وَأَقْبَلَتْ عَائِشَةُ x بِعُمْرَةٍ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِسَرَفٍ عَرَكَتْ، حَتَّى إِذَا قَدِمْنَا طُفْنَا بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَأَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ n أَنْ يَحِلَّ مِنَّا مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ. قَالَ: فَقُلْنَا: حِلُّ مَاذَا؟ قَالَ: الْحِلُّ كُلُّهُ. فَوَاقَعْنَا النِّسَاءَ وَتَطَيَّبْنَا بِطِيْبٍ وَلَبِسْنَا ثِيَابَنَا وَلَيْسَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ عَرَفَةٍ إِلاَّ أَرْبَعُ لَيَالٍ، ثُمَّ أهْلَلْنَا يَوْمَ التَّرْوِيَة، ثُمَّ دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ n عَلَى عَائِشَةَ x، فَوَجَدَهاَ تَبْكِي. فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: شَأْنِي أَنِّي قَدْ حِضْتُ وَقَدْ حَلَّ النَّاسُ وَلَمْ أَحْلِلْ، وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَالنَّاسُ يَذْهَبُوْنَ إِلَى الْحَجِّ الْآنَ. فَقاَلَ: إِنَّ هذِهِ أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَناَتِ آدَمَ، فَاغْسِلِيْ ثُمَّ أَهِلِّي بِالْحَجِّ. فَفَعَلَتْ وَوَقَفَتِ الْمَوَاقِفَ حَتَّى إِذَا طَهَرَتْ طَافَتْ بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةَِ. ثُمَّ قَالَ: قَدْ حَلَلْتِ مِنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ جَمِيْعًا. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي أَجِدُ فِي نَفْسِي أَنِّي لَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ حَتَّى حَجَجْتُ. قَالَ: فَاذْهَبْ بِهَا يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ، فَأَعْمِرْهَا مِنَ التَّنْعِيْمِ
 
Kami datang bertalbiyah bersama Rasulullah saw dengan haji ifrad dan Aisyah ra datang dengan umrah6, hingga ketika kami tiba di Sarf ia haid. Saat kami tiba di Makkah, kami thawaf di Ka’bah dan melakukan sa’i di Shafa dan Marwah. Kemudian, Rasulullah saw memerintahkan orang-orang yang tidak membawa hewan hadyu7 di antara kami agar bertahallul8. Jabir berkata, “Kami bertanya, ‘Tahallul dari apa?’.” Beliau menjawab, “Halal dari segala sesuatu yang semula diharamkan karena sedang berihram.” Kami pun menggauli istri-istri kami, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian yang biasa kami kenakan (tidak lagi mengenakan pakaian ihram, pen.). Jarak waktu kami dengan hari Arafah hanya empat malam. Kemudian pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) kami bertalbiyyah untuk haji. Ketika itu Rasulullah n masuk ke tempat Aisyah x dan mendapatinya sedang menangis. Rasulullah n bertanya, “Ada apa denganmu?” Aisyah menjawab, “Aku haid, sementara orang-orang telah bertahallul (dari umrah mereka), sedangkan aku belum tahallu, karena aku belum thawaf di Baitullah. Sekarang orang-orang pergi untuk berhaji.” Rasulullah bersabda, “Haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah l terhadap anak-anak perempuan Adam. Mandilah engkau kemudian bertalbiyahlah untuk haji.” Aisyah pun melakukan apa yang diperintahkan dan wukuf di tempat wukuf. Ketika ia telah suci, ia thawaf di Ka’bah dan sa’i di antara Shafa dan Marwah. Rasulullah n berkata, “Engkau telah tahallul dari haji dan umrahmu sekaligus9.” Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, aku merasakan tidak enak dalam hatiku, karena belum thawaf umrah hingga aku berhaji.” Rasulullah bersabda, “Bawalah dia wahai Abdurrahman. Umrahkan dia dari Tan’im.” (HR. Muslim no. 2929)

Hadits di atas merupakan dalil wajibnya wanita yang mengalami kejadian seperti Aisyah ra berihram untuk haji sehingga hajinya menjadi haji qiran, karena Rasulullah saw memerintahkan Aisyah ra untuk melakukannya. Sementara, hukum asal perintah adalah wajib.
 
Disamping itu, ibadah haji merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan, tidak boleh ditunda. Bila si wanita yang sedang haid itu tidak berihram untuk haji niscaya ia akan kehilangan haji pada tahun tersebut.
Alasan lain, seseorang sebenarnya datang ke Makkah untuk haji, sedangkan umrah ditunaikan karena ingin berhaji setelahnya. Umrah sendiri bisa ditunaikan di setiap waktu dan tidak mungkin si wanita menunaikan haji ketika itu terkecuali ia telah tahallul dari umrahnya. Dalam situasi seperti ini, mustahil ia bertahallul dari umrahnya karena tidak bisa thawaf di Ka’bah akibat haid yang menimpanya. Maka dari itu, tidak ada yang tersisa baginya kecuali berihram untuk haji, dan dinamakan haji qiran.

Makna berihram untuk haji adalah memasukkan haji kepada umrah dan bukan membatalkan umrah, karena kalau umrah dibatalkan berarti hajinya ifrad. Sementara Rasulullah n berkata kepada Aisyah ra :

يَسَعُكِ طَوَافُكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ
 
“Thawafmu di Baitullah mencukupimu untuk haji dan umrahmu.” (HR. Muslim no. 2925)
 
Dalam riwayat lain:

يُجْزِءُ عَنْكِ طَوَافُكِ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ عَنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ
 
“Thawafmu (sa’i) antara Shafa dan Marwah mencukupimu dari amalan haji dan umrahmu.” (HR. Muslim no. 2926)

Misalnya, bila ada seorang wanita berihram untuk umrah, setelahnya bertahallul. Ketika hari Tarwiyah nanti ia akan berihlal (talbiyah) untuk haji (tamattu’). Namun setelah thawaf di Baitullah, sebelum sempat sa’i, ia haid. Tidak mungkin di saat itu dia berihram untuk haji (memasukkan haji pada umrahnya sehingga hajinya menjadi qiran), karena termasuk syarat bolehnya memasukkan haji pada umrah adalah sebelum dilakukannya thawaf, sedangkan si wanita telah selesai mengerjakan thawaf.

Bila demikian, apa yang harus dilakukannya?
Si wanita melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah, karena orang yang berhadats besar, seperti junub dan haid –apatah lagi orang yang berhadats kecil– diperkenankan untuk melakukan sa’i. Namun di atas thaharah tentu lebih utama.
 
Menunaikan setiap ibadah dalam keadaan bersuci tentu lebih utama. Namun bila telah datang waktu haji sementara ia belum suci dari haid, ia tetap berihram karena haid tidak menghalanginya untuk berihram. Dalilnya hadits Asma’ bintu Umais ra yang telah disebutkan.

Bila haid menimpa seorang wanita ketika ia melakukan thawaf, ia tidak boleh menyempurnakan thawafnya karena haidnya. Dia harus berhenti dan membatalkan thawafnya. Bila ia khawatir luput mengerjakan haji, ia berihram untuk haji (melaksanakan haji qiran). 
 
(Asy-Syarhul Mumti’, 7/ 98-100)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Insya Allah bersambung)

1 Sebagaimana kata Rasulullah saw kepada istrinya Aisyah ra :

إِنَّ هذِهِ أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَناَتِ آدَمَ
 
“Haid ini merupakan perkara yang telah Allah l tetapkan terhadap anak-anak perempuan Adam.” (HR. Muslim no. 2929)

2 Miqat bagi penduduk Madinah.

3 Setelah melahirkan, sementara mereka telah berada di miqat.

4 Ketika itu Rasulullah n bersabda kepada Aisyah x:

انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي
 
“Gerailah rambutmu dan mandilah.”
 
5 Silakan lihat kembali kajian utama majalah Asy-Syariah Vol.III/No. 27/1427/2006 tentang jenis-jenis haji yang tiga: haji tamattu’, qiran, dan ifrad.
 
6 Rasulullah n memang mempersilakan para sahabatnya untuk memilih jenis haji yang hendak ditunaikan. Beliau n bersabda:

مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍ وَعُمْرَةٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍ فَلْيُهِلَّ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِعُمْرَةٍ فَلْيُهِلَّ
 
“Siapa di antara kalian yang ingin berihlal/berrtalbiyah dengan haji dan umrah maka silakan ia lakukan. Siapa di antara kalian yang ingin berihlal dengan haji maka silakan ia berihlal. Dan siapa yang ingin untuk berihlal dengan umrah maka berihlallah.” (HR. Muslim no. 2905)
 
7 Yaitu hewan yang dihadiahkan untuk Al-Haram, nantinya disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin di sekitar Al-Haram.
 
8 Sehingga yang semula ingin melaksanakan haji qiran diganti menjadi haji tamattu’. Karena, ketika sampai di Makkah, Rasulullah n berkata kepada para sahabatnya, “Jadikanlah talbiyah kalian umrah.” Seselesainya dari amalan umrah, orang-orang pun bertahallul kecuali orang yang membawa hadyu. (HR. Al-Bukhari no. 305 dan Muslim no. 2911)
 
9 Al-Imam An-Nawawi t setelah membawakan hadits di atas dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim menyatakan, ada tiga masalah yang bagus yang bisa diambil dari hadits tersebut:
Pertama: Aisyah x melaksanakan haji qiran dan tidak membatalkan umrahnya.
Kedua: Orang yang melaksanakan haji qiran cukup baginya satu thawaf dan satu sa’i untuk haji serta umrah. Ini madzhab Asy-Syafi’i dan jumhur ulama. Abu Hanifah dan sekelompok ulama lain berpendapat harus dua thawaf dan dua sa’i.
Ketiga: Pelaksanaan sa’i antara Shafa dan Marwah disyaratkan setelah thawaf yang shahih. Yang menunjukkan hal ini adalah Rasulullah n memerintahkan Aisyah x untuk melakukan semua yang dilakukan oleh orang yang berhaji (di saat ia mengadukan haidnya, pen.) kecuali thawaf di Baitullah. Aisyah juga tidak melakukan sa’i sebagaimana ia tidak berthawaf. Seandainya amalan sa’i tidak tergantung dengan thawaf yang harus dilakukan sebelumnya niscaya Aisyah tidak akan mengakhirkan pelaksanaan sa’i sampai ia suci. (Al-Minhaj, 8/393-394)
Artikel di ambil dari: www.asysyariah.com 

Tahukah Anda Apa Itu SHALAT WUSTHA…?




Sebagai seorang muslim yang insya Allah dalam kesehariannya selalu disibukkan dengan membaca alquran, maka tentu kita pernah membaca sebuah ayat tentang shalat wustha. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala… 

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى…………………….. (٢٣٨)
Peliharalah semua shalat(mu), dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (QS. Al Baqarah : 238)
Tahukah kita sekalian tentang apa yang dimaksud dengan shalat wustha…?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan melalui Ali radliyallahu’anhu bahwa ketika perang Ahzab, dikatakan oleh beliau,” Kami dibuat lalai (oleh musuh) dari shalat wustha, yaitu shalat ‘ashar. Semoga Allah memenuhi rumah – rumah dan kuburan mereka dengan api neraka.” (HR. Muslim, I/205, 437 dan 627)

Dari hadits yang agung itu, dapat kita ketahui bahwa shalat yang memiliki kata lain sebagai shalat wustha adalah shalat ‘ashar.

Mengapa Allah ta’ala memberikan tempat terkhusus dalam kitab-Nya yang menjelaskan tentang keharusan memelihara atau menjaga shalat ‘ashar…? Tentunya ada keistimewaan tersendiri yang terdapat pada shalat ‘ashar serta ada ancaman yang besar bagi siapapun yang meninggalkan shalat tersebut.

Di antara keistimewaan shalat wustha atau shalat ‘ashar adalah
 
1.  Shalat yang oleh Malaikat langsung dikabarkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ketahuilah, bahwa ada 2 waktu dimana malaikat yang menyertai setiap manusia, akan naik ke atas langit dan mengabarkan kepada Allah ta’ala tentang apa yang kita lakukan saat itu. 2 waktu tersebut adalah waktu shubuh dan waktu ‘ashar.

Abu Hurairah radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda…
“ Para malaikat penyerta malam dan malaikat penyerta siang akan silih berganti mendatangi kalian. Mereka berkumpul pada saat shalat shubuh dan shalat ‘ashar. Kemudian malaikat  malaikat tersebut naik ke atas langit sehingga Allah ta’ala bertanya kepada mereka, “ dalam keadaan bagaimana kalian tinggalkan hamba – hamba-Ku…?” (Allah ta’ala lebih tahu terhadap apa yang Dia tanyakan).
Kemudian para malaikat menjawab,” Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat pula.”(HR. Al Bukhari, no. 555 dan HR. Muslim, no. 632)
Maka hendaknya seorang muslim yang baik menyegerakan mengerjakan shalat shubuh dan ‘ashar-nya di awal waktu.

2.  Shalat yang dengannya, Allah ta’ala akan berikan nikmat melihat dzat Allah tanpa berdesakan di Surga.
Telah masyhur bagi seorang muslim bahwa setiap muslim yang hidup di dunia ini, yang bertauhid seutuhnya kepada Allah ta’ala, maka baginya akan mendapatkan balasan surganya Allah ta’ala. Dan kenikmatan terbesar yang akan didapati oleh para ahli surga adalah nikmat melihat dzat Allah ta’ala. Salah satu jalan pintas untuk mendapatkan kenikmatan tersebut adalah dengan menjalankan dengan segera shalat ‘ashar di awal waktu.

Jarir ibnu ‘Abdillah mengabarkan bahwa suatu malam, beliau pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang melihat bulan purnama. Kemudian Nabi bersabda…

“ Sungguh kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini,.Dan kalian tidak akan saling berdesakan untuk meihatNya. Maka, jika kalian mampu untuk tidak terkalahkan dalam melaksanakan shalat sebelum terbit matahari (shubuh) dan menyegerakan shalat sebelum terbit matahari (‘ashar), maka lakukanlah…! Kemudian beliau membaca sebuah ayat…
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
“ Dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya..” (QS. Qaaf : 39) (HR. Al Bukhari, no. 554 dan HR. Muslim, no. 633)

3.  Shalat yang bias mengantarkan ke surga.
Abu Musa radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda…
“ Barangsiapa yang mengerjakan shalat pada dua waktu (subuh dan ‘ashar) maka niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Al Bukhari, no. 574 dan HR. Musim, no. 635)

4.  Shalat yang oleh Rasulullah ‘alaihi ash shalatu wa salam, beliau kerjakan selalu di awal waktu.
Anas radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ‘ashar di waktu matahari masih tinggi lagi terang dimana jika ada seorang pergi ke kampong ‘Awali, maka dia akan sampai di sana ketika matahari masih tinggi. (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Al Bukhari 550 yang tercantum di buku Fathul Baari, II/28)

Namun, disamping keistimewaan yang akan didapat bagi siapapun yang menyegerakan untuk mengerjakan shalat shubuh dan shalat ‘ashar, maka sudah barangtentu ada sebuah ancaman yang besar bagi siapa saja yang menyepelekan atau bahkan tidak mengerjakan shalat wustha’ ini. Di antara ancaman bagi orang yang menyepelekan shalat ‘ashar ini adalah:

1.  Dosa orang yang meninggalkan shalat ashar seperti orang yang dikurangi (anggota) keluarganya dan seluruh harta bendanya.

‘Abdullah bin Umar radliyallahu’anhuma mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “ Orang yang tidak mengerjakan shalat ‘ashar adalah seperti yang dikurangi (anggota) keluarganya dan seluruh harta bendanya.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Muslim, no. 626 dan HR. At Tirmidzi, no. 113)

2.  Meninggalkan shalat ‘ashar akan menggugurkan seluruh amalan.

Dari Buraidah radilyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘ashar, maka gugurlah seluruh amalannya…!” (Hadits Shahih, An Nasa’I no. 497)

3.  Mengakhirkan shalat ‘ashar, adalah salah satu tanda orang MUNAFIK.

Banyak di antara kita yang tersibukkan urusan dunia sehingga merasa berat untuk melaksanakan shalat ‘ashar tepat di awal waktunya. Bahkan banyak pula di antaranya yang mengakhirkan shalat ini. Padahal andai kita semua tahu hadits ini…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Itu adalah shalatnya orang MUNAFIK…!!! Seseorang duduk – duduk dan mengamati matahari hingga apabila matahari berada di antara dua ujung tanduk syaithan, ia mengerjakan empat rakaat (shalat ‘ashar) dengan cepat, dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali hanya sedikit saja.” (Shahih, HR. Abu Dawud, no. 399 dan HR. An Nasa’I, I/254)

Jika keutamaan mengerjakan shalat wustha/ shalat ‘ashar tepat di awal waktu adalah sedemikian menggiurkan, apakah lantas kita masih berleha – leha dan bersantai ria untuk mengerjakannya…? Maka sungguh akan merugi orang yang demikian ini…

Dan jika ancaman yang ditebarkan oleh Allah ta’ala bagi orang – orang yang lalai terhadap shalat ‘ashar, adalah sedemikian kerasnya, maka apakah kita masih berniat menunda – nunda dan menganggapnya dengan sebelah mata…? Sungguh akan celakalah orang – orang yang semacam ini…

Akhirul kalam, semoga Allah ta’ala melindungi saya dan setiap orang yang matanya tertuju pada tulisan ini, serta memberikan hidayah taufiq kepada kita untuk bisa mengerjakan shalat wustha atau shalat ‘ashar dengan tepat waktu….

—+++—

Ditulis Didit Fitriawan di Sidoarjo, 02 Oktober 2010 pkl. 13.20 WIB
Maraji’ : Kitab al Wajiz Fi Fiqhus Sunnah oleh Asy Syaikh ‘Abdul Adhim Badawi

Sumber : http://fitrahfitri.wordpress.com/2010/10/05/tahukah-anda-apa-itu-shalat-wustha/