Minggu, 29 Juni 2014

Bahagia Sambut Ramadhan


Tak terperi kebahagiaan seorang istri ketika menyambut suaminya pulang ke rumah setelah setahun berpisah. Perabot rumah ditata sedemikian rapi, rumah dibersihkan, berikut wangi-wangian yang menyedapkan. Si istri pun berpakaian indah dan bersolek cantik bak bidadari. Begitulah luapan kegembiraan istri menyambut suaminya pulang ke rumah.

Demikianlah perumpamaa seorang mukmin yang menyambut Ramadhan. Kegembiraan yang luar biasa di hatinya karena bulan yang ditunggu-tunggu tak lama lagi akan datang. Setahun sudah ia menunggu, berdoa kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan Ramadhan. Seperti doa yang diajarkan Rasulullah SAW, "Ya Allah, berkahilah kami pada Rajab dan Sya'ban, dan sampaikan jualah kami ke Ramadhan." (HR Ahmad, dari Anas bin Malik).

Ramadhan bak tamu agung yang begitu dielu-elukan kedatangannya. Kedatangannya membawa berbagai kebaikan, keberkahan, rahmat yang berlimpah, serta ampunan atas segala dosa dan kesalahan. Setiap amal perbuatan dilipatgandakan pahalanya, ibadah sunah dipandang nilainya seperti ibadah wajib, ibadah wajib diberikan ganjaran berlipat-lipat. Segala doa dan munajat pasti didengar Allah. Bahkan, di dalamnya juga terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

Kegembiraan sejatinya tak bisa dibuat-buat. Mereka yang gembira menyambut Ramadhan benar-benar terlihat dari aktivitas dan intensitas ibadahnya. Tentu saja, mereka yang bergembira adalah mereka yang memang memiliki niat berpacu ibadah, mencari maghfirah (ampunan) dari Allah, dan mengejar pahala.

Ibaratnya, orang yang tengah tersesat di rimba belantara, tiba-tiba saja bertemu dengan seorang penunjuk jalan yang akan membawanya keluar dari hutan itu. Ia begitu bahagia karena dirinya bisa selamat dari ancaman maut. Bagaimana tidak, jerih payahnya untuk mencari jalan keluar dari hutan itu sudah ia dapatkan.

Begitu pulalah kegembiraan orang yang tengah mencari jalan mendapatkan maghfirah serta rahmat dari Allah. Ketika ia ingin kembali kepada Allah, ada Ramadhan yang menawarkan semesta kebaikan, rahmat, serta ampunan baginya.


Adapun mereka yang tak terbiasa beribadah, tak suka berdoa dan memohon ampun kepada Allah, enggan beramal kebaikan, tak ada kegembiraan dalam dirinya. Bagaimana mungkin ia akan gembira dengan tawaran amal sunah dinilai sebagai amal wajib, sementara selama ini ia tak pernah melakukan amal wajib itu sendiri. Ia tidak pernah shalat, berpuasa sunah, membaca Alquran, atau bersedekah. Tentu, tak akan menarik baginya karena pada dasarnya ia sama sekali tak tertarik untuk beribadah.

Bergembira menyambut Ramadhan dibuktikan dengan bersemangat melakukan amal ibadah. Seperti kegembiraan Rasulullah SAW menyambut Ramadhan, puasa sunah Beliau SAW tak ada yang sebanyak pada Sya'ban. Beliau SAW semakin sering beriktikaf, bertilawah, serta bersedekah. Ibaratnya, orang yang ingin terjun ke medan perang, ada fase latihan yang ia lalui sebelum benar-benar ada di medan perang.

Para sahabat senantiasa menyambut Ramadhan dengan bahagia dan persiapan mental dan spiritual. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab menyambutnya dengan menyalakan lampu-lampu penerang di masjid-masjid untuk ibadah dan membaca Alquran. Kabarnya, Umar-lah orang pertama yang memberi penerangan di masjid-masjid hingga pada zaman Ali bin Abi Thalib.

Pada malam pertama Ramadhan ia datang ke masjid dan mendapati masjid yang begitu terang. Menyaksikan itu, Ali sempat mendoakannya, "Semoga Allah menerangi kuburmu wahai Ibnul Khatthab sebagaimana engkau terangi masjid-masjid Allah dengan Alquran."

Para sahabat yang lain meluapkan kegembiraan mereka dengan banyak membaca Alquran pada Ramadhan. Sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik, para sahabat, jika melihat bulan sabit Sya’ban serta-merta meraih mushaf mereka dan membacanya. Kaum Muslimin mengeluarkan zakat harta mereka agar yang lemah menjadi kuat dan orang miskin mampu berpuasa pada Ramadhan.

Para gubernur di masa para sahabat akan memberikan remisi bagi para tawanan. Para tawanan akan diberikan hukuman segera atau dibebaskan. Para pedagang pun bergerak untuk melunasi apa yang menjadi tanggungannya dan meminta apa yang menjadi hak mereka. Sampai ketika mereka melihat bulan sabit Ramadhan, mereka segera mandi dan iktikaf.

Banyak membaca Alquran adalah salah satu kegiatan para sahabat Nabi dalam mempersiapkan diri menyambut Ramadhan. Ramadhan adalah syahrul Quran (bulan saat Alquran diturunkan) yang didalamnya disukai banyak membaca Alquran. Rasulullah SAW pun menyetorkan hafalan Alquran beliau kepada Jibril pada Ramadhan.

Mereka yang mengetahui fadhilah (keutamaan) Ramadhan yang akan menyambut bulan ini dengan sukacita. Dalam hadis Ibnu Mas’ud disebutkan, "Andai para hamba mengetahui apa itu Ramadhan, tentu umatku akan berharap agar sepanjang tahun itu Ramadhan."

Sementara, mereka yang tidak terpanggil hatinya dengan datangnya Ramadhan, kebagiaan mereka hanyalah semu belaka. Mereka gembira karena saat Ramadhan bisa mendapatkan THR, bisa membeli pakaian baru, dan banyak kue-kue serta hidangan makanan. Ada juga di antara mereka yang benci dengan adanya Ramadhan. Disebabkan, saat Ramadhan mereka terpaksa tidak makan dan minum. Mereka juga kesal karena tempat-tempat maksiat dan hiburan malam ditutup. Mereka inilah yang ditutup dan dijauhkan hatinya dari pintu hidayah.

Padahal, puasa saat Ramadhan adalah ibadah terbaik untuk mendidik seseorang menjadi Muslim muttaqin (bertakwa). Allah sediakan surga bagi mereka yang berhasil mendapatkan derajat muttaqin dengan latihan berpuasa. Seperti seorang sahabat yang bertanya pada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya."

Rasululullah SAW menjawab, "Hendaknya kamu puasa, tidak ada (amalan) yang seperti puasa." (HR Ibnu Hibban dalam kitab Mawarid Dhom'aan [1] :232). rep:hannan putra ed: hafidz muftisany

Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/06/20/n7gb885-bahagia-sambut-ramadhan

Ramadhan Dan Perbaikan Diri

Bulan Ramadhan… tak lama lagi menjumpai kita… Perasaan gembira dan rindu meliputi jiwa orang-orang yang beriman. Menantikan malam-malam yang khusyu’ dengan lantunan ayat-ayat al-Qur’an dan dzikir kepada ar-Rahman…

Pembaca yang dimuliakan Allah… Sudah menjadi tabiat dan karakter orang-orang yang beriman untuk merasa senang dengan ketaatan dan merasa sedih dengan kemaksiatan. Sebagaimana aqidah yang dipegang teguh oleh Ahlus Sunnah, bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.

Keimanan dengan segala cabangnya adalah bagian tak terpisahkan dalam hidup umat Islam. Sebaliknya, kekafiran dengan segala cabangnya adalah perusak dan pengganggu ketentraman hidup mereka. Maka kedatangan bulan Ramadhan di setiap tahun merupakan penyejuk hati dan penentram perasaan. Dengan kesejukan suasana Ramadhan, umat manusia dilatih untuk mengendalikan berbagai keinginan nafsunya. Ia ditundukkan, digembleng dan dibina dalam rangka taat dan mendahulukan kecintaan Rabbnya di atas segala-galanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi.” (HR. Muslim)

Keimanan itulah yang menjadi syiar hidup mereka. Mereka hidup dan mati di atasnya, bergerak dan diam karenanya, ruku’ dan sujud dengannya, harap dan takut karenanya, cinta dan benci pun karenanya. Iman itulah yang menggerakkan persendian hidup mereka. Karena itulah, tatkala noda maksiat dan kotoran dosa merusak hati dan pikiran mereka, mereka pun merasa terganggu dan tidak nyaman dengannya. Mereka sangat menyadari bahwa lunturnya nilai-nilai keimanan merupakan bencana bagi kehidupan mereka, di dunia sebelum nanti di akhirat… wal ‘iyadzu billaah

Jadi tidak heran, jika sahabat Abdullah bin Mas’ud memberikan gambaran dua sikap yang sangat berlainan, antara orang yang menjaga nilai-nilai keimanan dengan orang yang telah terbuai dan terbius dengan racun-racun kekafiran. Beliau berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung, dia khawatir kalau gunung itu akan runtuh menimpanya. Adapun orang yang fajir/munafik melihat dosa-dosanya seperti lalat saja, yang mampir di atas hidungnya, lantas dengan ringannya dia halau lalat tersebut -dengan tangannya-.” (HR. Bukhari)
Sehingga momentum Ramadhan dengan ibadah puasanya, adalah kesempatan emas bagi orang yang merasa memiliki dosa di hadapan Tuhannya. Karena apabila dosa-dosa itu tidak diampuni, tentulah ia akan membuahkan penyesalan, kesedihan, dan rasa takut kelak di hari pembalasan…

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah ibadah agung yang dinantikan itu… Seorang mukmin, tak akan melewatkan kesempatan emas ini. Baginya, dunia seisinya tidak ada artinya dibandingkan ampunan dan rahmat Allah ta’ala. Inilah kenikmatan hakiki dan kebahagiaan yang sejati. Karena dengan puasa, seorang hamba akan berjuang untuk menjadi sosok yang bertakwa. Dan dengan ketakwaan itulah, seorang manusia akan menjadi mulia dan dicintai oleh Rabb alam semesta.

Ramadhan ada di hadapan, bekali diri kita dengan ilmu dan iman, tuk menyambut bulan yang agung, bulan yang penuh kebaikan, bulan yang menjadi penghibur hati orang-orang yang beriman. Allahul musta’aan
Penulis: Ari Wahyudi

Sumber : http://muslim.or.id/ramadhan/ramadhan-dan-perbaikan-diri.html

Senin, 23 Juni 2014

Mematuhi Fatwa Ulama

Jika tidak kepada para ulama, kepada siapa lagi umat Islam akan merujuk permasalahan-permasalahan agama yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian, ulama sebagai rujukan dari permasalahan tersebut juga harus mempunyai kapabilitas dan kapasitas sebagai seorang mufti (orang yang berhak berfatwa).

Inilah yang disayangkan di tengah-tengah umat Islam sendiri. Seorang yang belum mumpuni dalam hal keilmuan sudah lancang berbicara masalah hukum dan mengeluarkan fatwa.

"Kalau kata Rasulullah itu, orang yang terlalu berani berfatwa, berarti dia juga berani masuk neraka. Apalagi dia tidak memiliki ilmu," terang Ketua Lembaga Bahtsul Masa'il Nahdlatul Ulama (NU) KH Zulfa Mustafa kepada Republika, Rabu (11/6).

Kiai Zulfa menerangkan, bahkan orang sekelas Imam Malik sekalipun tak malu untuk mengakui kalau dia tidak tahu. Sikap inilah yang harus dicontoh para mubaligh. Jangan karena malu ataupun gengsi sehingga memaksakan menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya. Padahal, sebenarnya ia tidak mempunyai kapasitas untuk menjawab.

"Harus dibedakan, antara memberi fatwa dan memberi nasihat. Kalau nasihat itu berkaitan dengan akhlak. Kalau fatwa itu kan hukum," terangnya.

Fatwa di Indonesia sendiri tak jarang justru mendapat kritikan dari berbagai pihak. Fatwa para ulama sudah mulai dikritisi dengan berbagai argumentasi. Tak jarang fatwa dan tanggapan cendekiawan Muslim seperti perdebatan yang tiada habisnya, hingga mungkin malah membingungkan orang awam. Mana yang harusnya mereka ikuti, jika sesama cendekiawan Muslim terus berdebat tiada henti.

Seperti persoalan penentuan hari raya dan awal Ramadhan, misalnya. Ini yang kadang membingungkan orang awam, ketika satu sama lain cendekiawan dan lembaga fatwa tiap-tiap ormas mengeluarkan fatwanya.

"Kalau tentang ada hari raya memang ada perbedaan pendapat. Apakah itu fatwa atau memberi khabar. Kalau NU sendiri soal hari raya diserahkan kepada yang berwewenang yaitu pemerintah. NU tidak menetapkan. Jadi, masing-masing punya pemahaman sendiri," paparnya.

Kendati demikian, ia mengingatkan, jangan sampai perbedaan tersebut dipahami dengan permusuhan. "Muhammadiyah dan NU tidak ada yang mengajak bermusuhan kepada orang yang berbeda pendapat," katanya.

Kebingungan dan perbedaan pendapat inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin menjatuhkan Islam. Kiai Zulfa sendiri mengatakan, memang ada orang-orang yang tidak suka kalau ulama mempunyai pengaruh di masyarakat. "Ada yang tidak suka, kalau ulama itu ada pengaruhnya dan merambat ke akwal syakhsiyah seperti politik misalnya," terangnya.

Ia mencontohkan, seperti di Mesir. Betapa fatwa dari seorang Syekhul al-Azhar begitu didengar dan dihormati. Seluruh masyarakat Mesir pun patuh dan umumnya menjalankan fatwa dari Sang Syekh. Tapi di Indonesia, ini masih menjadi perdebatan umat Islam yang mengaku cendekiawan dan mampu mengkritisi fatwa.

Ketua Majelis Fatwa PP Mathlaul Anwar, KH Tengku Zulkarnaen, menambahkan, memang ada gerakan-gerakan yang terselubung, namun tertata rapi untuk menjatuhkan Islam. Gerakan ini mengimbau masyarakat untuk tidak mematuhi fatwa para ulama.

"Kalau soal fatwa, selama ini masyarakat sih ada yang mau melaksanakan, ada yang tidak tahu, ada yang tidak mau tahu. Tapi yang kita pantau itu, ada semacam grand design yang tersistematis. Mereka mengajak orang, 'kita tidak usah patuh kepada fatwa ulama'," paparnya.

Menurut Zulkarnain, gerakan tersebut memang dimotori oleh orang-orang tertentu. "Biasanya orang anti-Islam, orang yang mengaku nasionalis, komunis, tapi benci dengan agama," terangnya.

Ia mencontohkan, ketika pertemuan lembaga fatwa di Singaparna lalu, dihasilkanlah kesepakatan ulama yang menyatakan umat Islam wajib memilih pemimpin. Namun, fatwa tersebut menuai tanggapan beragam di masyarakat. Ada yang mempertanyakan, mengapa tidak boleh golput? Hingga mempertanyakan eksistensi MUI kala itu.

"Banyak pro kontra di masyarakat. Mereka bertanya, mengapa MUI mengeluarkan fatwa seperti itu?" terang Zulkarnain. "Dan itu orangnya itu-itu saja," tambahnya. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany

Gembira dengan Ujian Allah


Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:155)


Menimpakan kesusahan, ketakutan, kekurangan harta, krisis ekonomi, hingga kelaparan merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Masa kecil yatim piatu dan berdikari dengan mengembala domba, itulah Rasulullah SAW. Kendati seorang Rasul, sering sekali Beliau SAW menghadapi keperihan hidup. Apalagi setelah mendapatkan risalah kenabian, banyak kisah sedih yang Beliau lewati.

Rasulullah pernah dilempari batu hingga berdarah-darah oleh kaum Thaif, sering dicaci-maki penduduk Quraisy, hingga diboikot 3,5 tahun lamanya bersama orang-orang beriman. Begitulah beratnya ujian bagi para nabi dan rasul. Seperti sabdanya, “Manusia paling berat ujiannya adalah para nabi.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Maajah).

Apa alasannya, Allah SWT begitu tega dengan kekasihnya Muhammad SAW? Jika Allah SWT benar-benar sayang kepada Beliau, mengapa tidak diberikan-Nya hidup yang senang dan kelapangan?

Tak hanya Nabi Muhammad SAW, seluruh nabi dan rasul pun mendapatkan ujian yang berat dari-Nya. Siapa yang tak kenal dengan kisah masyhur Nabi Ayyub AS yang seluruh tubuhnya digerogoti penyakit, kecuali tersisa lidah dan jantungnya saja? Ada pula kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan selama 40 hari serta kisah nabi-nabi lainnya.

Kisah ini mengajarkan kepada kita, semakin tinggi tingkat kesalehan seseorang maka semakin tinggi pulalah ujian yang diberikan kepadanya. Sama halnya, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka semakin susah pula materi ujian yang akan ia lewati.

Allah berfirman, “Dan Kami jadikan sebahagian kamu ujian bagi sebahagian yang lain. (Demikian untuk membuktikan, apakah) kamu mau bersabar? dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (QS al-Furqan [25]: 20).

Jika diurutkan, tingkatan ujian terberat manusia, yakni para Nabi Ulul Azmi (lima orang nabi yang paling berat dan paling tabah menghadapi ujian), para nabi dan rasul lainnya, para ulama dan wali Allah, orang-orang saleh, orang-orang beriman biasa, kemudian barulah orang-orang yang belum beriman. Urutan ini seperti halnya mengurutkan tingkat pendidikan dari pascasarjana, sarjana, SMA, SMP, SD, dan TK.

Jadi, untuk menjadi orang yang paling dekat dengan Allah mestilah melewati ujian yang sangat berat. Berhasil menjadi orang saleh tidak didapatkan dengan bersenang-senang, tetapi melalui suatu perjuangan berat. Demikian juga, menjadi orang saleh berarti siap dengan ujian Allah yang lebih berat dari orang-orang biasa lainnya.

Tak ada pilihan untuk mengelak dari ujian Allah. Seperti halnya anak sekolah yang tak bisa mengelak dari ujian di sekolahnya. Semua proses yang berjalan harus dilewati. Siapa yang lulus, masuk ke tahap yang lebih tinggi. Siapa yang gagal, akan mengulang di kelas yang sama atau mungkin diturunkan ke kelas yang di bawahnya.

Harusnya ketika ujian Allah datang, seorang mukmin bisa bergembira dan mensyukuri hal itu. Dengan adanya ujian Allah, berarti ia telah memasuki fase kenaikan kelas. Jika ia berhasil melewati ujian itu dengan penuh kesabaran, level keimanannya pun akan naik ke kelas berikutnya.

“Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, krisis pangan sampai kematian, dan berikanlah kabar gembira ini kepada orang-orang sabar, yaitu orang-orang yang ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘inna lillahi wainnaa ilaihi raaji’un’.” (QS al-Baqarah [2]: 156).

Ujian adalah bentuk sayang Allah SWT kepada para hamba-Nya. Menimpakan kesusahan, ketakutan, kekurangan harta, krisis ekonomi, hingga kelaparan sekalipun merupakan bentuk sayang Allah kepada hamba-Nya. Ibaratnya besi harus diterpa dengan pukulan dan dibakar api untuk membentuknya menjadi material yang indah. Begitu pulalah cara Allah menjadikan hamba-Nya sebagai pribadi yang kuat.

Rasulullah bersabda, “Siapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan maka ia akan diberikan ujian.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Malik dari Abu Hurairah RA).

Semakin sering seseorang menghadapi ujian Allah, semakin kuat pulalah dirinya. Banyaknya ujian yang dilewati seseorang menjadi tolok ukur akan kekuatan yang dimilikinya.

Tak ada yang spesial bagi orang soleh jika ia tinggal di gunung yang jauh dari polemik sosial kemasyarakatan. Justru, ketika seorang mukmin tinggal di lingkungan jahiliyah dan mampu mempertahankan keimanannya, itulah mukmin yang kuat. Semakin sering ia diuji Allah, semakin kuatlah ia dan semakin banyak pulalah pahala yang diraihnya.

“Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung pada besarnya ujian bala’ dan sesungguhnya siapa yang ridha mendapat ujian, tentu baginya keridhaan Allah, dan siapa yang murka mendapat ujian, tentu baginya murka Allah.” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).

Pepatah Eropa pernah mengatakan, pelaut yang tinggal di perairan yang lautnya ganas akan lebih tangguh daripada pelaut yang tinggal di perairan yang tenang. Artinya, pelaut yang sering menghadapi badai dan terjangan air laut akan lebih terlatih ketimbang orang yang terbiasa dengan air tenang. Jadi bergembiralah jika ujian mampir, ia datang untuk menaikkan level keimanan kita kepada Allah SWT.  rep:hannan putra ed: hafidz muftisany

Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/06/13/n73ck711-gembira-dengan-ujian-allah
http://munawarahcinta.blogspot.com/2013/09/mengeluh-itu-selalumarah-itu-mudahsabar.html

Jumat, 13 Juni 2014

Prof Dr Nasaruddin Umar: Mengembalikan Budaya Mengaji Umat Islam

Semenjak Juli 2011 lalu, Kementerian Agama (Kemenag) RI telah mencanangkan Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji atau yang lebih dikenal dengan GEMMAR Mengaji. GEMMAR Mengaji adalah sebuah program untuk membudayakan membaca Alquran setelah shalat Maghrib di kalangan masyarakat.

Mengaji Alquran sejak dulu telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Namun, akhir-akhir ini mengaji sudah mulai ditinggalkan. Umat Islam lebih asyik mengikuti sinetron dan film seraya duduk berlama-lama di depan televisi daripada membuka mushaf Alquran.

Inilah yang ingin dikembalikan oleh Kemenag perihal tradisi mengaji setiap selesai shalat Maghrib dapat kembali dihidupkan di seluruh pelosok negeri. Masyarakat diajak untuk kembali membuka Alquran kendati mereka sudah khatam Alquran sebelumnya. Dengan mengaji selepas shalat Maghrib, pengaruh-pengaruh negatif dari televisi dan media elektronik lainnya bisa diminimalisasi. Inilah yang dipesankan Wakil Menteri Agama RI Prof Dr Nasaruddin Umar kepada wartawan Republika, Hannan Putra. Berikut petikan wawancaranya.

Sudah hampir tiga tahun program Maghrib mengaji ini berjalan, bagaimana perkembangannya?

Program Maghrib mengaji ini sudah berjalan baik di masyarakat. Kita ingin dengan adanya program Maghrib mengaji ini, masyarakat bisa mengurangi hiburan-hiburan yang ada di luar seperti televisi. Masyarakat kita imbau agar bisa mengatur televisi untuk anak-anaknya. Diusahakan tidak menonton TV antara Maghrib dan Isya itu, tetapi difokuskan untuk waktu-waktu ibadah. Waktu malam itu, selain digunakan anak-anak untuk belajar, juga bisa untuk pembentukan rohani. Pembentukan karakter itu paling enak pada malam hari, kan? Sebenarnya ketika malam itulah anak-anak lebih mudah untuk dibentuk karakternya.

Apa tujuan akhir Maghrib mengaji?
Untuk mengembalikan rasa cinta kepada Alquran. Seperti halnya kita dulu, justru antara Maghrib dan Isya itu tradisi bangsa kita itu memang Maghrib mengaji.

Siapa saja sasaran Maghrib mengaji ini?
Kita harapkan, bukan saja anak-anak, tapi harusnya ketika anak-anaknya mengaji, bapak ibunya juga ikut mengaji. Jadi, waktu rohani antara Maghrib dan Isya itu benar-benar bisa berjalan efektif untuk membentuk rohani keluarga. Kita usahakan bagi setiap keluarga itu, ada waktu khusus untuk mengingat Tuhan. Ada kontemplasi di situ.

Sedapat mungkin, antara Maghrib sampai Isya, itu kita tidak batal wudhu, kita usahakan mengaji dan mengajari anak-anak kita tentang akhlak dan kepribadiannya. Lumayan juga itu bagi anak-anak kita sebab sekarang anak-anak kan fullday di sekolah sampai jam empat. Jadi, kita usahakan kegiatan anak-anak ini diisi dengan pelajaran-pelajaran keagamaan.

Sejauh ini, di daerah mana yang sudah menjalankan program Maghrib mengaji ini secara efektif?
Saat ini, sudah banyak yang menjalankan. Bahkan, sudah sampai ke pedalaman Kalimantan. Ada juga di Sulawesi yang sudah terlebih dahulu mengembangkan. Apalagi yang ada di Pulau Jawa. Rata-rata sudah menyebar, tetapi sporadis. Di mana-mana ada, di setiap provinsi. Sampai ke Papua juga ada dan masih ada programnya. Kementerian Agama selalu mengimbau soal program ini ke daerah.

Banyak muncul komunitas mengaji, apa bisa bersinergi?
Sebenarnya, komunitas itu juga didukung oleh pemerintah. Seperti program one day one juz (odoj) itu juga didukung pemerintah, saya kemarin yang launching. Kehadiran komunitas seperti odoj itu sangat penting karena meningkatkan kesadaran dan kecintaan kita terhadap Alquran. Tetapi jangan lupa, kecintaan pada Alquran itu tidak cukup dengan hanya menampilkan emosional sesaat.

Yang lebih penting, penghayatan makna yang terkandung dalam Alquran itu sendiri sehingga ada di sana pendalaman. Alquran kalau tidak sampai pada pendalaman, daya cengkeramnya itu kurang. Tidak hanya sampai di rasional, tapi juga emosional.

Alquran itu bisa merasuk ke dalam diri setiap anak. Dengan demikian, anak itu bisa beragama secara matang. Jadi, tidak hanya secara emosional, tapi juga rasional. Kombinasi antara pemahaman logika dengan spirit rohani. Yang seperti ini yang nantinya akan melahirkan generasi Qurani.

Ada kesan program pemerintah kalah maju dengan komunitas, di mana kendalanya?
Harusnya kita sinergikan. Bukan hanya program Maghrib mengaji, one day one juz itu saja, tapi program-program yang lain. Misalkan, ada program tahfiz sekarang ini. Anak-anak itu kan sedang gemar-gemarnya tahfiz.

Saya baru ikut program menyeleksi program tahfiz kemarin ini. Masya Allah, ada anak yang baru enam tahun, tapi sudah hafal 29,5 juz. Jadi, mungkin minggu ini sudah tamat 30 juz. Bagus sekali.

Program ini akan dilanjutkan ke (pemerintah) depan atau dievaluasi?
Iya, pasti akan kita lanjutkan. Apa pun yang positif, pasti akan kita dukung dan dilanjutkan. Insya Allah, kita akan berikan pengarahan-pengarahan kepada kakanwil dan stakeholder yang ada di seluruh Indonesia.rep:hannan putra  ed: hafidz muftisany

Hidup dengan Alquran Jangan Mau Jadi Zombi

Bagi orang beriman, zikir dan tilawah (membaca) Alquran adalah ruh kehidupan. Tilawah Alquran menjadi seutama-utama zikir bagi setiap umat Islam. Betapa banyak perintah Allah dalam Alquran yang menyuruh untuk membaca Kitab-Nya. Sebaliknya, meninggalkan zikir atau tidak membaca Alquran berarti suatu kematian.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Perbedaan antara orang yang berzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berzikir seumpama orang yang hidup dan yang mati." (HR Bukhari dan Muslim).

Mereka yang tak pernah menyentuh Alquran, tak pernah tergerak lisannya untuk melantunkan ayat-ayat Alquran dan tidak pernah basah mulutnya karena berzikir diibaratkan seperti zombi yang ada di muka bumi. Hadis ini secara jelas mengatakan, orang-orang tersebut tak ubahnya seperti mayat yang berjalan.

Pantas saja, mereka ini tak punya perasaan iba ketika melihat penderitaan orang disekelilingnya, tak pernah tersentuh dengan kehidupan di lingkungan sosialnya, dan tak pernah terpanggil untuk berubudiah kepada Allah SWT. Itulah alasan mengapa orang-orang yang tidak berzikir serta jauh dari Alquran disebut sebagai orang yang mati.

Rumah orang yang tidak berzikir dan tak pernah diperdengarkan bacaan Alquran juga diistilahkan sebagai kuburan. Apa bedanya, rumah yang tidak ada bacaan Alquran dengan kuburan tempat orang yang sudah meninggal? Keduanya sama-sama sebagai tempat orang mati.

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu itu sebagai kuburan. Sesungguhnya, setan itu lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surah al-Baqarah.” (HR Muslim)

Inilah penyebab kegersangan jiwa dalam tubuh umat Islam. Di rumah-rumah keluarga Muslim, mushaf Alquran hanya menjadi pajangan di lemari-lemari indah tanpa tersentuh tangan. Mushaf Alquran hanya tinggal pajangan, bukan lagi bacaan. Tak terbayangkan, akan seperti apakah 'zombi-zombi' itu menjalani aktivitas sehari-hari.

Terlebih, kegersangan jiwa ini jangan sampai pula menjangkiti para pemimpin di negeri ini. Tak terbayangkan jika suatu negeri dipimpin seorang zombi yang tak pernah menyentuh Alquran.

Ketika Rasulullah SAW akan mengutus Mu'adz bin Jabbal RA sebagai seorang gubernur ke Yaman, terlebih dahulu Beliau SAW menanyakan beberapa hal. "Dengan apa engkau menghukum wahai Mu'adz?" tanya Rasulullah.

Dengan mantap, Mu'adz menjawab, "(Dengan) Kitabullah.” Rasul bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak kamu jumpai dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab, “Saya menghukum dengan sunah Rasul-Nya.”

“Jika tidak kamu temui juga dalam sunah Rasulullah?" tanya Rasulullah berikutnya. "Saya pergunakan akal pikiran saya untuk berijtihad dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Mu'adz dengan sungguh-sungguh.

Mendengar itu, berseri-serilah wajah Rasulullah. Beliau SAW kemudian bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada kamu sebagai utusanku yang telah aku ridhai." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang pemimpin mendapat ridha dari Allah SWT, sementara ia jauh dari Alquran? Apakah mungkin seorang pemimpin akan berhukum dengan Kitabullah dan sunah Rasul, sementara untuk membacanya saja sangat jarang.

Membaca Alquran itulah yang menjadi ruh bagi setiap Muslim. Itulah yang menjadikan seorang Muslim bisa dikatakan hidup. Bagaimana halnya, jika seorang pemimpin bangsa mempunyai ruh yang lemah?

Lihatlah betapa kuat ruh para sahabat terdahulu. Amirul Mukminin Umar Bin Khattab bisa melihat secara ghaib pasukan Islam yang terkepung di medan perang. “Lari ke arah bukit,” teriak Umar ketika ia sedang berkhutbah. Ternyata, Umar diperlihatkan secara ghaib akan kondisi pasukan Islam yang tengah terkepung.

Hal ini menjadi sesuatu yang lumrah terjadi bagi orang yang hidup hatinya dan senantiasa terkoneksi dengan Sang Khalik. Bukan tak mungkin, Allah SWT memberikan karamah dan kelebihan bagi seorang pemimpin yang selalu mengingat-Nya. Adakah pemimpin abad ini yang bisa seperti Umar bin Khattab?
rep:hannan putra  ed: hafidz muftisany

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/06/06/n6qgo75-hidup-dengan-alquran-jangan-mau-jadi-zombi

Semarak Penggiat Alquran

Antusias umat Islam untuk mencintai Alquran semakin hari semakin tumbuh. Pondok-pondok tahfiz, rumah Alquran, dan pusat studi pembelajaran Alquran terus berjamuran. Demikian juga dengan komunitas- komunitas penggiat Alquran, semakin memperlihatkan eksistensinya. Maraknya kecintaan umat Islam kepada Alquran diharapkan bisa melahirkan populasi generasi Qurani di masa mendatang.

Koordinator Pusat Komunitas One Day One Juz (ODOJ), Ricky Adrinaldi mengatakan, secara umum antusias umat Islam sudah lumayan baik untuk bertilawah Alquran. Menurutnya, di kota-kota besar, kedekatan masyarakat dengan Alquran memang kurang dibanding perdesaan.

"Dengan adanya kesibukan kerja, kuliah, dan sarana hiburan yang beragam membuat mereka tidak punya waktu untuk tilawah. Berbeda dengan desa atau kota kecil yang sarana hiburannya tidak sebanyak di kota," papar Ricky kepada Republika, Selasa (3/6).

Namun, secara umum, antusias umat Islam dalam berinteraksi dengan Alquran semakin meningkat. ODOJers  (sebutan untuk anggota ODOJ) saat ini sudah menembus angka 113 ribu anggota di seluruh Indonesia. Hal ini membuktikan antusias umat untuk dekat dengan Alquran sudah cukup baik.

Ricky menuturkan, misi utama dari ODOJ memang untuk mendekatkan diri dengan Alquran.  Diharapkan, ketika umat Islam memberikan waktunya untuk mengaji, hal-hal yang tidak bermanfaat lainnya bisa ia hindari.

"Ada yang bilang, untuk mengaji satu juz itu butuh waktu lama. Sebenarnya, tidak begitu. Walaupun mereka tidak sampai tilawahnya satu juz, mereka sudah menggunakan waktu mereka untuk berinteraksi dengan Alquran ketimbang mereka facebook-an, main game, atau berselancar di dunia maya," terangnya.

ODOJers saat ini memang banyak didominasi dan digandrungi anak muda. Alasannya, ODOJ sering  memanfaatkan dunia maya, seperti twitter, Blackberry Messanger (BBM), Whatsapp, dan aplikasi  lainnya untuk sosialisasi programnya. "Target kita, ODOJ ini untuk semua kalangan, semua usia, semua segmen, dan profesi. Tapi, memang karena kita bersifat online, anggota kita berusia kisaran 20-35 tahun," terang Ricky.

Untuk meningkatkan kualitas bacaan Alquran para ODOJers, mekanisme dan pola pembinaan terus dikembangkan. Menurut Ricky, media sosial memudahkan ODOJers untuk mengakses kegiatan terbaru.

Para anggota juga bisa mendapatkan kontrol kualitas bacaan mereka melalui kegiatan tahsin  online. Di samping itu, informasi mengenai rumah tahsin dan tempat-tempat tilawah bersama bisa didapatkan. "Kita terus update tentang rumah tahsin di setiap kota di seluruh Indonesia,"  terangnya.

Empat orang yang ditempatkan ODOJ sebagai dewan penasihat, yakni Ustaz Amir Faishol Fath, Ustaz Fadlyl Usman, Prof Dr Nasaruddin Umar, dan Ustaz Effendi Anwar selalu memberikan wejangan kepada ODOJers. "Kita diberikan tips, seperti menjaga adab tilawah, mekanisme bacaan, dan materi-materi seputar tajwid," terangnya.

Pengasuh Kajian Majlis Al Kauny Ustaz Bobby Herwibowo Lc menambahkan, metode pengkajian dan pembelajaran Alquran bisa dikatakan setiap hari bermunculan di dunia Islam. Ada saja metode baru yang dilahirkan untuk membantu umat Islam dalam berinteraksi dengan Alquran.

"Tentang aktivitas dalam berinteraksi terhadap Alquran ini adalah tanda kekuasaan Allah. Hampir setiap hari selalu ada teknik baru terhadap Alquran di seluruh dunia. Ini bukti firman Allah, ‘Dan sungguh, telah Kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?' (QS al- Qamar [54]: 17)." papar Ustaz Bobby kepada Republika.

Ustaz Bobby menerangkan, berdasarkan riset dan studi beberapa universitas Islam di Indonesia, ternyata didapati 24 persen umat Islam buta huruf Alquran. Hal ini mencengangkan sekaligus menjadikan Indonesia sebagai rekor buta huruf Alquran tertinggi di dunia.

Ajaibnya, justru di tengah-tengah umat Islam Indonesia yang berjumlah 180 juta jiwa tersebut ternyata banyak didapati program-program pembelajaran Alquran. "Subhanallah, Allah memunculkan di negeri ini, seperti One Day One Juz yang bisa mengumpulkan ratusan ribu orang," tambahnya.

Bermunculannya komunitas-komunitas penggiat Alquran, menurut Bobby, memang perlu pendampingan dari ulama. Tapi, sifatnya tidak kepada pengawasan, lebih kepada pemberian motivasi. Ia menjamin, komunitas-komunitas Alquran tersebut tak akan melenceng karena niatnya ia nilai sudah lurus, yaitu ingin mendekatkan diri dengan Alquran. "Rasulullah pernah bersabda, tidak sesat umatku yang berjamaah," terang Bobby.

Menurut Ustaz Bobby tahsin, tilawah maupun tahfiz Alquran seluruhnya dapat dilakukan sekaligus. Menurutnya, tidak selalu seseorang yang ingin menghafal Alquran harus terlebih dahulu mengikuti tahsin.

Bahkan, Rasulullah sendiri belajar Alquran dari Malaikat Jibril dengan cara talaqqi. "Rasulullah tidak pernah belajar tajwid, makraj, dan lain-lain. Rasul diajarkan Jibril langsung dengan tahfiz dengan cara talaqqi. Jadi, belajar semuanya sekaligus. Ini yang disebut dengan metode quantum," paparnya.

Rasulullah mendapatkan wahyu dari Jibril dan kemudian langsung ia hafal (tahfiz). Selanjutnya,  Rasulullah menyetorkan hafalan Alquran kepada Jibril. Di sanalah Jibril membetulkan bacaan Rasulullah (tahsin) jika didapati ada bacaan yang salah.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/06/06/n6qgo73-semarak-penggiat-alquran

Selasa, 10 Juni 2014

Wajah Bersih Bercahaya


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Sejenak kita rehat membincangkan politik yang suhunya memanas. Mari kita sejukkan ruang hidup kita dengan sesuatu yang lebih bisa menyita perhatian Pemilik Kehidupan, Allah ‘Azza wa Jalla.
Satu di antaranya adalah menjadikan wajah kita bersih bercahaya sehingga semakin dikenali oleh Allah dan Rasul-Nya.

Jika banyak perempuan modern sering ditemukan menghabiskan waktu dan menghamburkan banyak rupiah di salon-salon kecantikan terutama untuk memoles wajahnya supaya semakin cantik, segar, dan  menarik, maka bagi  Muslimah upaya itu cukup dengan air wudhu.

Di samping murah dan praktis juga tentu saja berbobot pahala di sisi-Nya. Wudhu, ternyata bisa menjadikan pengamalnya berwajah bersih dan bercahaya.

Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah SAW berpesan, “Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan, dan kaki mereka bercahaya karena bekas wudhu.” (HR Bukhari nomor 136 dan Muslim nomor 246).

Karena itu bisa dipastikan tak ada satu produk kecantikan pun yang mampu menandingi cahaya yang terpancar dari wajah orang-orang yang terjaga wudhunya. Karena cahaya dari air wudhu tak hanya dirasakan di dunia tapi juga di akhirat.

Bahkan mereka akan mudah dikenali Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, ya Rasulullah?”

Tahukah kalian, bila seseorang memiliki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya di antara kuda-kuda yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya?” jawab Rasul dengan nada bertanya. Para sahabat pun mengangguk.

Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan serta kaki karena bekas wudhu mereka,” pungkas Nabi. (HR Muslim nomor 249)

Tak hanya partikel-partikel debu maupun noda polusi yang dapat dikikis dari wajah, wudhu pun dapat melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan produk kecantikan manapun yaitu mengikis noda salah, khilaf dan dosa. Hal-hal tersebut adalah penyebab kotor dan tidak bercahayanya wajah seorang Muslim. 

Apabila seorang Muslim atau Mukmin berwudhu kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu atau bersama akhir tetesan air wudhu. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu atau bersama akhir tetesan air wudhu. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu atau bersama tetesan akhir air wudhu, hingga ia selesai dari wudhunya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa -dosa.” (HR Muslim nomor 244).

Subhanallah, segera bersih dan cahayakan wajah kalian, wahai perempuan-perempuan salehah. Supaya tampil cantik baik lahir atau pun batin serta sangat mudah dikenali Allah SWT dan Rasul-Nya kelak.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/06/06/n6pwsv-wajah-bersih-bercahaya