dakwatuna.com –
Seorang tabi’in berkata, “Sungguh
jika tiada sepertiga malam terakhir, aku tidak betah hidup di dunia
ini”. Mereka benar-benar mereguk kenikmatan tiada tara saat berkhalwat
dengan Tuhannya. Namun mengapa kita belum bisa merasakannya?
Berbagai keutamaan qiyamul-lail sudah kita baca atau kita dengar dari
para ulama. Kita pun sudah beberapa kali mencoba melaksanakannya,
dengan mujahadah (kesungguhan) melawan kantuk dan dinginnya malam.
Namun, berkali-kali juga kita mengalami futur (lalai), tidak dapat lagi
melaksanakan qiyamul-lail.
Maklumat dan pemahaman perihal keutamaan Qiyamul-Lail sudah sama-sama
mafhum. Jika belum silakan googling saja dengan keyword “qiyamul lail”,
atau mampir toko buku maka akan kita jumpai puluhan buku tentang
keutamaan qiyamul-lail. Namun mengapa demikian berat untuk taf’il
(melaksanakan) Qiyamul Lail tersebut?
Menurut saya, sebabnya adalah karena kita belum dapat menikmatinya.
Sehingga pikiran bawah sadar kita masih merasakan bahwa qiyamul-lail itu
beban yang berat.
Waktu sepertiga malam, saat dimana bumi mengeluarkan gelombang
kekhusyu’an (alfa), sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya bangun di
waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu
lebih berkesan” (Al-Muzammil 6). Seharusnya, saat-saat inilah dzikir dan
bacaan Al-Quran kita lebih berkesan, hati lebih mudah bergetar ketika
Asma Allah disebut. Jiwa kita lebih bening sebening embun pagi di
dedaunan. Air mata lebih mudah meleleh bahkan tertumpah dan tak kuasa
kita hentikan. Hati menjadi halus dan lembut, sehingga hijab kita dengan
Allah semakin transparan. Pendeknya inilah surga dunia yang telah
dinikmati oleh para sahabat, tabi’in dan salafus saleh. Maukah kita
memperolehnya?
Mengapa kita belum bisa menikmati Qiyamul Lail? Mungkin karena kita
kurang “Mujahadah” (memaksakan diri). Ya, betul… Namun bukan itu maksud
saya. Bisa jadi pada waktu-waktu yang lalu kita sudah mujahadah, namun
lagi-lagi giliran futur itu datang.
Kita sulit qiyamul-lail dan hati kita mati karena kita masih
melakukan banyak maksiat dan dosa. Bukankah maksiat dan dosa akan
menimbulkan noktah hitam di hati hingga hati kita menjadi kasat dan
mati. Doa yang kita panjatkan tidak di istijabah oleh Allah SWT. Ya,
betul sekali, sangat tepat…! Tapi saya ingin berangkat dari perspektif
lain.
Perspektif lain itu adalah, kita tidak dapat menikmati qiyamul-lail,
dan masih banyak melakukan maksiat adalah karena “kita belum mengenal
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Hati kita masih diisi oleh
selain Allah, masih jauh dari Allah.
Mari pertama-tama kita niatkan dan azzamkan diri kita bahwa kita sangat ingin untuk taqarrub mendekatkan diri kepada-Nya.
Dari Abu Hurairah RA disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah
bersabda, ‘Aku menuruti prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya
ketika ia mengingat-Ku. Kalau ia mengingat-Ku dalam hati, Aku
mengingatnya dalam diri-Ku. Kalau ia mengingat-Ku di tengah kerumunan
orang, Aku pun akan mengingatnya di tengah kerumunan yang lebih baik
daripada mereka. Kalau ia mendekat diri kepada-Ku sejengkal, Aku pun
mendekatkan Diri kepadanya sehasta. Kalau ia mendekatkan diri pada-Ku
sehasta. Aku pun akan mendekatkan Diri padanya sedepa. Jika ia
mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari
kecil”.
Waktu-waktu di keseharian kita, masih sunyi dari dzikir kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang duduk dalam suatu tempat, lalu di
situ ia tak berdzikir kepada Allah, maka kelak ia akan mendapat kerugian
dan penyesalan” (HR Abu Dawud). Dalam keseharian kita, di ketika mandi,
di perjalanan kantor, istirahat, hati dan pikiran kita tidak dzikir
kepada Allah dan lantas diisi oleh selainnya. Bahkan! bangun tidur kita
lupa berdoa, masuk dan keluar kamar mandi lupa berdzikir, selesai makan
lupa memuji dan berterima kasih kepada-Nya. Astaghfirullah…
beristighfarlah berulang kali saudaraku. Rasakanlah penyesalan dan
biarkan air matamu meleleh…
Mulai detik ini isilah setiap relung hati dan celah pikiran dengan
dzikir kepada Allah. Di setiap waktu dalam 24 jam hidup kita isilah
dengan dzikir. Jika kita melakukannya, bahkan dalam tidur pun kita tetap
bermimpi berdzikir dan bershalawat. Banyak dzikir-dzikir singkat,
seperti dua kalimat yang paling berat di sisi Allah, yaitu,
“SubhanaLlahi wabihamdihi… SubhanaLlahil-azhiem…”. Atau dengan
beristighfar, “Astaghfirullah… astaghfirullah…”, bertasbih,
“Subahanallahi… subhanallahi”. Bahkan cukup dengan menyebut asma Allah,
“Allah… Allah… atau Yaa Allah.. Ya Allah”. Lakukanlah di manapun, dan
kapan pun, bahkan multitasking sambil melakukan pekerjaan-pekerjaan
sehari-hari. Jika ada waktu senggang, dzikir yang paling utama adalah
Al-Quran. Membaca Al-Quran, mentadabburinya, menghafalnya, mengulang
hafalan atau bahkan sekadar mendengarkan kaset murattal Al-Qur’an sambil
kita mengendarai kendaraan.
Dzikir ini akan mengikis dosa dan kotoran jiwa, seperti mengikis
karat hingga kemilau emas muncul kembali. Dengan sendirinya, dzikir akan
mencegah kita berbuat dosa dan maksiat lagi. Ketika kita akan berbuat
sesuatu yang dilarang Allah, hati yang telah dipenuhi Asma Allah akan
otomatis menolaknya.
Dzikir akan semakin menghaluskan hati kita. Semakin memudahkan kita
menangis dalam berbagai kondisi. Semakin memahami hakikat dan semakin
ma’rifat kepada Allah.
Suatu ketika ada sekelompok sahabat yang telah
mengalami kehausan karena kehabisan minuman dalam perjalanan safar
berhari-hari. Ketika mereka menemukan sebuah sumber air, segera mereka
minum dan membasahi muka sepuas-puasnya. Namun ada seorang sahabat yang
justru ketika ia akan mengambil air ia menangis sesenggukan. Sahabat
lain pun bertanya, “Mengapa engkau menangis padahal Allah memberikanmu
minuman pada saat kehausan?”.
Sahabat tersebut berkata, “Ketika aku membaca doa “Allahumma
bariklana fii maa razaqtana waqina adzabannaar”, terbayang olehku
penduduk neraka yang lebih haus dariku namun diharamkan padanya meminum
air sedikit pun. Firman Allah: “Dan penghuni neraka menyeru penghuni
surga: “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah
direzekikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni surga) menjawab:
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang
kafir, (Al-A’raaf: 50). Subhanallah, sahabat tersebut mampu menangkap
hakikat kalimat “waqina adzabannar” dalam doa mau makan dan minum,
karena ia selalu berdzikir mengingat Allah.
Jika dalam setiap tarikan nafas kita selalu berdzikir, dalam setiap
langkah kita diikuti dengan dzikir, maka akan muncul banyak keajaiban
dalam hidup kita. Allah akan mengaruniai limpahan kenikmatan yang
menisbikan kenikmatan dunia. Barulah kita bisa memahami kisah dalam
hadits berikut :
Diriwayatkan bahwa Haritsah RA berkata kepada Rasulullah SAW, “Pagi
ini, saya menjadi mukmin yang sebenarnya”. Beliau berkata kepadanya,
“Seorang Mukmin yang benar itu memiliki hakikat. Lantas apa hakikat dari
keimananmu?” Ia menjawab, “Saya jauhkan diriku dari dunia, hingga di
mataku BATU dan PERMATA terlihat sama….”
Subhanallah… batu dan permata terlihat sama. Espass dan Alphard terlihat sama!
Kita lanjutkan haditsnya:
“… Saya seakan-akan melihat singgasana Tuhanku tampak nyata. Saya
seakan-akan melihat penduduk surga bersenang-senang di dalam surga dan
penduduk neraka disiksa di dalam neraka.” Beliau SAW berkata, “Hai
Haritsah, kamu telah mengetahuinya. Karena itu, istiqomahlah”. Inilah
mungkin yang dalam tasawuf disebut “Kasyaf”.
Saudaraku, mari hidupkan hati, lembutkan jiwa dengan selalu berdzikir
kepada Allah SWT. Barulah kita bisa menikmati indahnya dan nikmatnya
Qiyamul Lail. Berikutnya kita akan merasakan berbagai kenikmatan
spiritual dan ayat-ayat keajaiban Allah dalam hidup kita.
Mari penuhi hidup kita dengan dzikir, dan perhatikan apa yang akan terjadi. []