Jangan Sampai Allah Melupakan Kita
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang hamba. Kemudian dikatakan kepadanya: “Bukankah telah Aku berikan kepadamu pendengaran, penglihatan, harta, dan anak? Aku tundukkan untukmu binatang ternak, tanam-tanaman. Aku tinggalkan kamu dalam keadaan menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat hasil rampasan perang. Apakah dulu kamu mengira akan bertemu dengan-Ku pada hari ini?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Allah pun berkata, “Kalau begitu pada hari ini Aku pun melupakanmu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata: hadits sahih gharib, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 36-37)
Hadits ini mengingatkan kita tentang dahsyatnya hari kiamat. Betapa butuhnya seorang hamba terhadap pertolongan Allah ketika itu.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku bisa melihat?”. [Allah menjawab] Demikianlah yang pantas kamu dapatkan, sebab telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya. Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126)Imam al-Qurthubi menjelaskan, “Artinya [barangsiapa yang berpaling] dari agama-Ku, tidak membaca Kitab-Ku, dan tidak mengamalkan isi ajarannya. Ada juga yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah keterangan-keterangan yang telah Aku turunkan. Namun, bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud peringatan ini adalah [keberadaan] Rasul, karena peringatan itu datang melalui perantara beliau.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [14/157])
Sebagian ulama berkata, “Tidaklah seorang pun yang berpaling dari peringatan Rabbnya kecuali waktu yang dilaluinya semakin menambah gelap (buruk) keadaan dirinya, mencerai-beraikan urusan rezkinya, dan membuatnya selalu mengalami kesempitan di dalam hidupnya.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [14/157]).
Adapun maksud dari “Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan” Imam al-Qurthubi berkata, “Maksudnya adalah dibiarkan dalam keadaan tersiksa, yaitu di dalam neraka Jahannam.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [14/158])
Di dalam ayat lain, Allah juga berfirman (yang artinya):
“Dan dikatakan: Pada hari ini Kami melupakan kalian sebagaimana halnya dahulu kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini, tempat tinggal untuk kalian adalah neraka, sama sekali tidak ada bagi kalian seorang penolong.” (QS. Al-Jatsiyah: 34).Imam al-Qurthubi menjelaskan, bahwa maksud dari ‘kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini’ adalah: ‘kalian meninggalkan amal untuk akhirat’ (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [19/173])
Kematian Pasti Datang!
Kematian adalah sesuatu yang haq (pasti), meski sebagian manusia berusaha untuk lari darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkannya dalam banyak ayat di al-Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah; Sesungguhnya kematian yang kalian senantiasa berusaha lari darinya, maka dia pasti menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui perkara gaib dan perkara yang tampak, lalu Allah akan memberitakan kepada kalian apa-apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Jumu’ah: 8)Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Setiap jiwa pasti merasakan kematian.” (QS. Ali ‘Imran: 185).Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kematian.” (QS’ al-Hijr: 99).Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkan olehnya untuk hari esok…” (QS. Al-Hasyr: 18).Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kalian kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata,
“Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk bersantai-santai kecuali ketika dia sudah berjumpa dengan Allah.”Suatu ketika ada yang berkata kepada Hasan al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami perbuat? Kami berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hendak melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi Allah! Sesungguhnya jika kamu berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti dirimu hingga mengantarkan dirimu kepada keamanan, maka itu lebih baik daripada kamu bergaul dengan teman-teman yang senantiasa menanamkan rasa aman hingga menyeretmu kepada situasi yang menakutkan.”
Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”
Syaikh Abdul Malik al-Qasim berkata, “Betapa seringnya, di sepanjang hari yang kita lalui kita membawa [jenazah] orang-orang yang kita cintai dan teman-teman menuju tempat tinggal tersebut [alam kubur]. Akan tetapi seolah-olah kematian itu tidak mengetuk kecuali pintu mereka, dan tidak menggoncangkan kecuali tempat tidur mereka. Adapun kita; seolah-olah kita tak terjamah sedikit pun olehnya!!”
‘Amar bin Yasir radhiyallahu ’anhu berkata, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.”
al-Harits bin Idris berkata: Aku pernah berkata kepada Dawud ath-Tha’i, “Berikanlah nasehat untukku.” Maka dia menjawab, “Tentara kematian senantiasa menunggu kedatanganmu.”
Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian niscaya akan menjadi sedikit kegembiraannya dan sedikit kedengkiannya.”
Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Aku senang dengan kemiskinan, karena hal itu semakin membuatku merendah kepada Rabbku. Aku senang dengan kematian, karena kerinduanku kepada Rabbku. Dan aku menyukai sakit, karena hal itu akan menghapuskan dosa-dosaku.”
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat sebuah perkara yang meyakinkan yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada keyakinan manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan tidaklah aku melihat sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan daripada ucapan mereka, ‘Kami mencari surga’ padahal mereka tidak mampu menggapainya dan tidak serius dalam mencarinya.”
Salah seorang yang bijak menasehati saudaranya, “Wahai saudaraku, waspadalah engkau dari kematian di negeri [dunia] ini sebelum engkau berpindah ke suatu negeri yang engkau mengangan-angankan kematian akan tetapi engkau tidak akan menemukannya.”
Ibnu Abdi Rabbihi berkata kepada Makhul, “Apakah engkau mencintai surga?” Makhul menjawab, “Siapa yang tidak cinta dengan surga.” Lalu Ibnu Abdi Rabbihi pun berkata, “Kalau begitu, cintailah kematian; karena engkau tidak akan bisa melihat surga kecuali setelah mengalami kematian.”
Bersiap Sedia Kapan Saja
Bagi seorang beriman, waktu datangnya kematian bukanlah masalah, namun yang menjadi perhatian baginya adalah dengan apa dia menghadapi pemutus kenikmatan yang bisa saja datang dengan tiba-tiba tersebut?
Kematian bisa saja datang dengan tiba-tiba. Tak mengenal usia, tua ataupun muda, tak mengenal kondisi, sehat ataupun sakit.
Ini bisa kita lihat di sekitar kita. Betapa banyak manusia yang kelihatannya sehat-sehat saja, tiba-tiba kematian datang menjemputnya dengan sebab yang tidak disangka-sangka! Tidak sedikit orang yang telah berkali-kali keluar masuk rumah sakit, sakit menahun, bahkan ada yang tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang, namun kematian belum jua menghampirinya.
Sebuah syair dari orang bijak: “Berapa banyak pemuda yang di pagi hari tertawa-tawa. Padahal kain kafannya sedang dijahit untuknya.” []
Rujukan: Aina Nahnu min Ha’ula’I karya Abdul Malik al-Qasim
Sumber : http://wahdahmakassar.org/cukuplah-kematian-sebagai-pelajaran/