Oleh: Ismarni Ismail
Bandara Internasional Dubai, 04 Desember 2007
Pagi itu rombongan calon mahasiswa Al-Azhar sampai dengan selamat di bandara Internasional Dubai. Menunggu waktu transit menjelang penerbangan ke Kairo, Mesir.
Beragam aktifitas mereka kerjakan untuk mengisi waktu, ada yang
memanfaatkannya untuk istirahat, membaca, dan berjalan-jalan keliling
bandara nan mewah mencengangkan dengan orang-orang yang juga tak kalah
mencengangkan. Ragam rupa, gaya, dan bahasa menjadi tontonan yang tak
biasa bagi kami yang mungkin jarang bertemu orang asing kecuali pada
beberapa kesempatan saja, terasa sekali qudrah dan tanda-tanda kekuasaan
Allah dalam penciptaan manusia yang berbeda-beda.
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
Mengetahui. (Q.S Ar-Rum:2)
Tak jauh dari samping kiri kami, terlihat serombongan perempuan
Indonesia, sedang santai beristirahat. Sekilas tak diragukan lagi mereka
adalah muslimah, dengan pakaian seragam hitam putih dan jilbab hitam
nan rapi. Berniat hendak berta’aruf dengan saudara-saudara sebangsa,
kami mendekati mereka, mengucapkan salam dan duduk diantara mereka untuk
berta’aruf dan berbagi cerita. Singkat cerita terjadi dialog di antara
kami dengan seorang saudari sebut saja namanya Lilis, dari Jawa (25
tahun), yang akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kuwait untuk kontrak kerja selama 2 tahun.
“Mbak kenapa kok mau kerja ke luar negeri, kan jauh dari kampung sendiri?”
“Kerja di luar negeri enak Dek…gajinya besar, bisa untuk
biaya bikin rumah di kampung, ya…walaupun nyicil, gaji kerja di Indo gak
cukup buat menghidupi keluarga”
“Maaf… memangnya Mbak sudah berkeluarga?”
“Udah…baru 2 bulan kemarin melahirkan”
“Melahirkan..?!?jadi bayi Mbak sama siapa?”
“Ditinggal sama suami dan keluarga di kampung, ntar
dikirimin duit dari tempat kerja, kalo cuma mengandalkan gaji suami,
mungkin kami sekeluarga gak akan bisa makan 3 kali sehari”
“Maaf nih Mbak…klo Mbak kerja, apa masih pake jilbab?”
“Tergantung majikannya sih…klo majikannya pake jilbab,
ya…saya ikut pake, tapi klo majikannya gak pake jilbab, saya juga gak
pake. 6 bulan lalu saya baru selesai kontrak sama majikan di Dubai ini,
dia gak pake jilbab tapi Islam, dia bilang ke saya…klo kamu mau pake
jilbab, silakan…, tapi klo mau lepas juga boleh…, ya udah saya lepas
aja, lagian juga repot pake jilbab sambil kerja…majikan saya itu baiiik
sekali, dia sering membelikan saya baju mode terbaru dan bagus-bagus,
kayak baju-baju artis itu lho…”
Dari dialog singkat ini, menyisakan banyak renungan bagi kita sebagai saudara sebangsa umumnya, dan sebagai saudara sesama muslim khususnya:
-
Seorang muslimah meninggalkan anak dan suaminya untuk mencari nafkah keluarga, padahal suaminya masih hidup dan mampu bekerja. Dimanakah letak izzah seorang laki-laki sebagai suami yang seharusnya bisa menjadi qawwam bagi istri dan keluarganya?
-
Doktrin materialis dan hedonis yang telah mendarah daging, bahwa harta telah menjadi tujuan hidup bukan lagi sebagai wasilah dalam ketaatan kepada Allah.
-
Seorang muslimah tidak melaksanakan kewajibannya lagi, untuk mengasuh dan mentarbiyah anak kandungnya dan rela meninggalkan tugas utamanya untuk mengejar kontrak kerja yang menjanjikan kekayaan.
-
Tidak memahami agama Islam dengan kaffah, menganggap syariat sebagai benda yang mudah dipakai dan mudah juga ditinggalkan.
Mungkin ini hanyalah sedikit bahan renungan dari dialog singkat tadi. Miris sekali hati ini, seorang perempuan dengan identitas muslimah, bangga meninggalkan keluarga untuk jangka waktu yang lama, hanya untuk mencari materi duniawi. Ia pun diagung-agungkan sebagai pahlawan devisa negeri ini. Padahal sejatinya, ia menelantarkan anak, suami dan keluarga, serta mengabaikan tanggung jawab utamanya dalam rumah tangga.
Ia tak pikirkan apa yang akan terjadi dengan dirinya
sebagai pekerja perempuan di negeri orang yang banyak kita temukan
fakta, bahwa mereka banyak mendapatkan perlakuan kasar dan pelecehan. Ia
juga tak fikirkan bagaimana anak dan suami yang ia tinggalkan, Ia
tak fikirkan kalau seandainya ia bekerja pada majikan yang beragama
Yahudi atau Nashrani. Ia tak peduli akan semua kemungkinan yang akan
terjadi ini, yang ada di fikirannya sederhana saja, bagaimana bisa
memperoleh gaji besar, lalu pulang kampung membangun rumah baru…,
membeli alat rumah tangga nan mewah dan memiliki sepeda motor, dan
membuat tetangga terkagum-kagum karena ia bisa menafkahi keluarganya.
Mungkin saudari kita ini tak sempat sampai kesitu, atau malah mungkin ia belum pernah tahu bahwa Allah telah menetapkan Syariat Islam yang mengatur sistem interaksi kehidupan di masyarakat. Bahkan ia juga telah menikah dengan seorang laki-laki yang semestinya punya izzah sebagai seorang qawwam yang bisa menafkahi, menjaga, melindungi, dan mendidik istri dan keluarga dengan baik.
Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri[1] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[2]. (Q.S. An-nisa : 3)
[1] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara
rahasia dan harta suaminya.
[2] Maksudnya: Allah Telah mewajibkan
kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
Saudari kita ini adalah cermin perwakilan dari kondisi
masyarakat kita yang tak memahami Islam dengan kaffah (seutuhnya/menyeluruh)…Maka disinilah
dituntut peran kita sebagai seorang penuntut ilmu dan pendakwah. Inilah ladang dakwah, yang telah menunggu kepulangan kita ke tanah air tercinta, dan untuk pembekalan dakwah inilah kita datang ke negeri Para Nabi ini.
Paling penting untuk diingat adalah bahwa amanah ini pasti akan dihisab
oleh Allah Rabbul ‘Alamin. Terserah bagaimana cara/metode tepat, yang
kita pilih dalam menjalankan tugas utama ini, selama kita bisa
bermanfaat di tengah masyarakat dengan dakwah Islam.
Bahkan kita juga berkewajiban menjadi seorang fasilitator
agar masyarakat Islam bisa mengenal dan memahami Syariat agamanya
sendiri dengan ilmu dan akal mereka sendiri, dengan cara memotivasi
mereka untuk berproses dalam kegiatan ta’allum, untuk kemudian beramal shalih berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang
shahih. Ini agar masyarakat Islam terjaga dari taqlid buta terhadap
ulama atau mazhab tertentu yang membawa kepada pengkultusan individu
yang dianggap baik dan sempurna tanpa mempunyai neraca pemahaman yang
kuat. Tak bisa dipungkiri bahwa taqlid mazhab telah membingungkan
masyarakat kita, bahkan sampai menyalahkan satu sama lain karena berbeda
mazhab.
Sekarang saatnya memahami Islam dengan menggunakan ilmu dalam mengkaji dan mentela’ah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, dengan menjadikan mazhab sebagai wasilah menuju pemahaman Syar’i,
sampai kita menemukan titik kebenaran yang haq dalam mengamalkan
Syariat Islam. Allah telah menciptakan akal bagi manusia tidak lain
untuk mengenal Allah dan syariat-Nya dengan fasilitas akal yang telah
Allah amanahkan kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar