Rabu, 14 Agustus 2013

Sekilas Renungan tentang “Pahlawan Devisa”

Oleh: Ismarni Ismail

Bandara Internasional Dubai, 04 Desember 2007
 
 
Pagi itu rombongan calon mahasiswa Al-Azhar sampai dengan selamat di bandara Internasional Dubai. Menunggu waktu transit menjelang penerbangan ke Kairo, Mesir. Beragam aktifitas mereka kerjakan untuk mengisi waktu, ada yang memanfaatkannya untuk istirahat, membaca, dan berjalan-jalan keliling bandara nan mewah mencengangkan dengan orang-orang yang juga tak kalah mencengangkan. Ragam rupa, gaya, dan bahasa menjadi tontonan yang tak biasa bagi kami yang mungkin jarang bertemu orang asing kecuali pada beberapa kesempatan saja, terasa sekali qudrah dan tanda-tanda kekuasaan Allah dalam penciptaan manusia yang berbeda-beda.


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui. (Q.S Ar-Rum:2)

  
Tak jauh dari samping kiri kami, terlihat serombongan perempuan Indonesia, sedang santai beristirahat. Sekilas tak diragukan lagi mereka adalah muslimah, dengan pakaian seragam hitam putih dan jilbab hitam nan rapi. Berniat hendak berta’aruf dengan saudara-saudara sebangsa, kami mendekati mereka, mengucapkan salam dan duduk diantara mereka untuk berta’aruf dan berbagi cerita. Singkat cerita terjadi dialog di antara kami dengan seorang saudari sebut saja namanya Lilis, dari Jawa (25 tahun), yang akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kuwait untuk kontrak kerja selama 2 tahun.

“Mbak kenapa kok mau kerja ke luar negeri, kan jauh dari kampung sendiri?”
“Kerja di luar negeri enak Dek…gajinya besar, bisa untuk biaya bikin rumah di kampung, ya…walaupun nyicil, gaji kerja di Indo gak cukup buat menghidupi keluarga”
“Maaf… memangnya Mbak sudah berkeluarga?”
“Udah…baru 2 bulan kemarin melahirkan”
“Melahirkan..?!?jadi bayi Mbak sama siapa?”
“Ditinggal sama suami dan keluarga di kampung, ntar dikirimin duit dari tempat kerja, kalo cuma mengandalkan gaji suami, mungkin kami sekeluarga gak akan bisa makan 3 kali sehari”
“Maaf nih Mbak…klo Mbak kerja, apa masih pake jilbab?”
“Tergantung majikannya sih…klo majikannya pake jilbab, ya…saya ikut pake, tapi klo majikannya gak pake jilbab, saya juga gak pake. 6 bulan lalu saya baru selesai kontrak sama majikan di Dubai ini, dia gak pake jilbab tapi Islam, dia bilang ke saya…klo kamu mau pake jilbab, silakan…, tapi klo mau lepas juga boleh…, ya udah saya lepas aja, lagian juga repot pake jilbab sambil kerja…majikan saya itu baiiik sekali, dia sering membelikan saya baju mode terbaru dan bagus-bagus, kayak baju-baju artis itu lho…”

Dari dialog singkat ini, menyisakan banyak renungan bagi kita sebagai saudara sebangsa umumnya, dan sebagai saudara sesama muslim khususnya:
  • Seorang muslimah meninggalkan anak dan suaminya untuk mencari nafkah keluarga, padahal suaminya masih hidup dan mampu bekerja. Dimanakah letak izzah seorang laki-laki sebagai suami yang seharusnya bisa menjadi qawwam bagi istri dan keluarganya?
  • Doktrin materialis dan hedonis yang telah mendarah daging, bahwa harta telah menjadi tujuan hidup bukan lagi sebagai wasilah dalam ketaatan kepada Allah.
  • Seorang muslimah tidak melaksanakan kewajibannya lagi, untuk mengasuh dan mentarbiyah anak kandungnya dan rela meninggalkan tugas utamanya untuk mengejar kontrak kerja yang menjanjikan kekayaan.
  • Tidak memahami agama Islam dengan kaffah, menganggap syariat sebagai benda yang mudah dipakai dan mudah juga ditinggalkan.
Mungkin ini hanyalah sedikit bahan renungan dari dialog singkat tadi. Miris sekali hati ini, seorang perempuan dengan identitas muslimah, bangga meninggalkan keluarga untuk jangka waktu yang lama, hanya untuk mencari materi duniawi. Ia pun diagung-agungkan sebagai pahlawan devisa negeri ini. Padahal sejatinya, ia menelantarkan anak, suami dan keluarga, serta mengabaikan tanggung jawab utamanya dalam rumah tangga.
Ia tak pikirkan apa yang akan terjadi dengan dirinya sebagai pekerja perempuan di negeri orang yang banyak kita temukan fakta, bahwa mereka banyak mendapatkan perlakuan kasar dan pelecehan. Ia juga tak fikirkan bagaimana anak dan suami yang ia tinggalkan, Ia tak fikirkan kalau seandainya ia bekerja pada majikan yang beragama Yahudi atau Nashrani. Ia tak peduli akan semua kemungkinan yang akan terjadi ini, yang ada di fikirannya sederhana saja, bagaimana bisa memperoleh gaji besar, lalu pulang kampung membangun rumah baru…, membeli alat rumah tangga nan mewah dan memiliki sepeda motor, dan membuat tetangga terkagum-kagum karena ia bisa menafkahi keluarganya.

Mungkin saudari kita ini tak sempat sampai kesitu, atau malah mungkin ia belum pernah tahu bahwa Allah telah menetapkan Syariat Islam yang mengatur sistem interaksi kehidupan di masyarakat. Bahkan ia juga telah menikah dengan seorang laki-laki yang semestinya punya izzah sebagai seorang qawwam yang bisa menafkahi, menjaga, melindungi, dan mendidik istri dan keluarga dengan baik.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[1] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[2]. (Q.S. An-nisa : 3)
[1]  Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya. 
[2]  Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

Saudari kita ini adalah cermin perwakilan dari kondisi masyarakat kita yang tak memahami Islam dengan kaffah (seutuhnya/menyeluruh)…Maka disinilah dituntut peran kita sebagai seorang penuntut ilmu dan pendakwah. Inilah ladang dakwah, yang telah menunggu kepulangan kita ke tanah air tercinta, dan untuk pembekalan dakwah inilah kita datang ke negeri Para Nabi ini.

Paling penting untuk diingat adalah bahwa amanah ini pasti akan dihisab oleh Allah Rabbul ‘Alamin. Terserah bagaimana cara/metode tepat, yang kita pilih dalam menjalankan tugas utama ini, selama kita bisa bermanfaat di tengah masyarakat dengan dakwah Islam.


Bahkan kita juga berkewajiban menjadi seorang fasilitator agar masyarakat Islam bisa mengenal dan memahami Syariat agamanya sendiri dengan ilmu dan akal mereka sendiri, dengan cara memotivasi mereka untuk berproses dalam kegiatan ta’allum, untuk kemudian beramal shalih berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang shahih. Ini agar masyarakat Islam terjaga dari taqlid buta terhadap ulama atau mazhab tertentu yang membawa kepada pengkultusan individu yang dianggap baik dan sempurna tanpa mempunyai neraca pemahaman yang kuat. Tak bisa dipungkiri bahwa taqlid mazhab telah membingungkan masyarakat kita, bahkan sampai menyalahkan satu sama lain karena berbeda mazhab.

Sekarang saatnya memahami Islam dengan menggunakan ilmu dalam mengkaji dan mentela’ah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, dengan menjadikan mazhab sebagai wasilah menuju pemahaman Syar’i, sampai kita menemukan titik kebenaran yang haq dalam mengamalkan Syariat Islam. Allah telah menciptakan akal bagi manusia tidak lain untuk mengenal Allah dan syariat-Nya dengan fasilitas akal yang telah Allah amanahkan kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar