Bismillaahirrahmanirrahiim
(Dengan
Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Saudaraku, semoga selalu dalam
berkah dan rahmat Allah.
Di awal pesan7menit ini, mari kita ucapkan, Segala
puji hanya untuk Allah, karena segala puji terhimpun hanya untuk Dia, Dialah
yang Maha Suci dan Dialah Yang Maha Besar dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.
Kepada Nya kita tunduk dan selalu melaksanakan semuan perintah Nya dan menjauhi
segala larangan Nya., sebab Dia tiada lalai dari apa yang kita kerjakan.
Sholawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad Saw, juga untuk
seluruh keluarganya, para sahabatnya dan seluruh pengikutnya
sampai akhir zaman.
Saudaraku kaum muslimin, yang selalu dalam ridha Allah
Setiap hari, bahkan setiap detik kita mengharapkan ridha Allah. Tetapi ridha
Allah tidak datang begitu saja dia harus diraih baik dengan hati yang paling
dalam, dengan lisan, dan dengan amalan kebajikan. Mengharap
ridha Allah adalah desah dzikir setiap orang muslim. Ridha Allah adalah pakaian seorang mukmin yang melekat
pada tubuhnya dalam kondisi apapun yang menimpa pada dirinya. Ridha diartikan sikap
menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi
sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk (maksiyat), baik
lahir ataupun bathin. Dalam hal meraih
keridhaan, Allah swt berfirman,
Dan di antara manusia ada
orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha
Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
(Qs Al Baqarah (2) : 207)
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya,
memberi gambaran tentang seseorang yang rela mengorbankan segala yang
dimilikinya semata-mata
untuk meraih ridha Allah dalam seluruh totalitas kehidupannya. Dikisahkan
seorang sahabat Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi yang rela mengorbankan
seluruh yang dimilikinya karena
tekanan kaum Quraisy agar ia diperkenankan untuk berhijrah ke Madinah. Shuhaib
dihalangi oleh para pemuka Quraisy untuk berhjrah melainkan bila ia menyerahkan
seluruh hartanya kepada mereka tanpa tersisa sedikit pun. Dengan tanpa
ragu-ragu, ia meninggalkan hartanya di Mekah semata-mata mengharapkan ridha
Allah dari perbuatan hijrahnya yang mulia tersebut. Setelah sampai di Madinah
dan bertemu dengan Rasulullah, beliau memujinya dengan ungkapannya yang masyhur
sungguh telah
beruntung Shuhaib dalam riwayat lain: sungguh telah beruntung perniagaannya.
Masih dalam konteks ayat ini, Ar-Razi
mengisahkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengutus pasukan dan berhasil
mengepung benteng pertahanan mereka. Karena tidak mampu menembus benteng tersebut,
tiba-tiba seseorang berinisiatif untuk menerjunkan dirinya di tengah-tengah
musuh untuk membuka pertahanan mereka sampai akhirnya orang tersebut menemui ajalnya.
Setelah pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan Umar bin
Khattab atas keberanian sahabat tersebut, beberapa pasukan mengomentari apa
yang dilakukan oleh orang tersebut yang dianggap membinasakan diri sendiri.
Umar bin Khattab menampik pandangan mereka dan mengatakan: “Kalian telah
berdusta dengan ucapan kalian itu. Semoga Allah merahmatinya”. Kemudian
Umar membaca ayat ini untuk membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh
sahabatnya tersebut.
Dua kisah diatas adalah kisah para sahabat,
meskipun tidak sama dengan kondisi sekarang tetapi paling tidak kita dapat
merenung begitu hebatnya untuk meraih
keridhaan Allah, sehingga harta
dan bahkan jiwanya siap dikorbankan. Mereka berkeyakinan dengan meraih ridha
Allah, segala kebaikan, kemuliaan dan keberkahan hidup akan senantiasa menyertainya
dan Allah akan senantiasa hadir dengan sifat Penyantun yang ditegaskan oleh kalimat
terakhir ayat ini:
“Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hambaNya (yang rela mengorbankan
segalanya untuk Allah)”
Para ulama banyak membahas tentang ridha, salah satunya Yahya bin
Mu’adz bahwa beliau pernah ditanya, “ Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan
ridha? Maka dia menjawab,” Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan
tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, “ (1) Jika Engkau memberiku, aku
menerimanya. (2) Jika Engkau menahan pemberian kepadaku, maka aku
ridha. (3) Jika Engkau membiarkan aku, maka akan tetap beribadah. (4) Jika Engkau
menyeruku, maka aku memenuhinya.
Untuk memantapkan diri sekaligus mengharapkan ridha Allah Swt,
Rasulullah Saw sangat menganjurkan untuk
berdzikir, di dalam sebuah hadits dari Abu Salmah r.a khadim Nabi saw, sesungguhnya ia berkata., “ Rasulullah Saw
bersabda,” Barangsiapa membaca pada waktu pagi dan pada sore hari,
Radhitu billahi rabba), wabil islami dina(n) wabi Muhammadin nabiyyaw
wa rasulaa(n).
Aku ridha Allah
sebagai Rab ku, dan Islam sebagai
agamaku, dan Muhammad sebagai
Nabi dan Rasulku) wajiblah Allah meridhai dia (HR Abu Dawud, Turmuzi, Nasai dan
al Hakim)
Saudaraku yang dimuliakan Allah.
Dzikir ini adalah pernyataan sikap setiap muslim, perlu direnungkan
dan diwujudkan. Renungan yang dapat diperpanjang seakan-akan lautan tidak
bertepi dan diwujudkan dalam amal setiap denjut jantung dan setiap hirupan
nafas sampai nafas yang terakhir. Mari kita coba
renungkan :
Ridha Allah mengandung arti ridha mencintaiNya semata, ridha menyembahnya
semata, takut dan berharap kepadanya, merendahkan diri kepadanya, beriman
kepada pengaturan dan menyukainya, bertawakkal dan meminta pertolongan
kepada-Nya, dan ridha kepada apa yang telah diperbuatnya, maka inilah yang
dimaksud dengan ridha kepada Allah. Hal ini sesui dengan firman Allah Swt. “.
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang
demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
(Qs Al Bayyinah : 8)
Ridha kepada Allah, menurut para sufi; mengandung makna yang luas,
diantaranya: Tidak menentang pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya dengan
senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya
hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan
tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya
qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan
senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.
Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan.
Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan.
Ridha dengan Islam sebagai agama artinya apa saja yang di dalam
Islam, baik berupa perintah dan larangan, maka sesungguhnya kita meridhainya
secara keseluruhan, tanpa ada rasa rasa keberatan sedikitpun dalam diri kita
untuk menerimanya, melainkan kita pasrah menerima nya dengan hal tersebut dengan
kaaffah. Allah Swt berfirman,
“Hai orang-orang yang
beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaaffah dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian”. (Al-Baqarah: 208)
Berislam secara kaaffah seperti yang
diperintahkan oleh Allah dalam ayat ini berarti melaksanakan
Islam secara keseluruhan, tidak sepotong-potong mencari yang mudah dan
meninggalkan yang sukar. Kemudian harus meninggalkan segala bentuk langkah syaitan secara
totalitas juga. Terbawa dan hanyut dalam salah satu dari jerat syaitan akan mengurangi
totalitas keislaman kita. Karenanya, mengikuti langkah-langkah syaitan dimaknai oleh para
ulama dalam arti setiap perbuatan maksiat kepada Allah swt.
Ridha kepada nabi Muhammad Saw sebagai nabi
artinya kita harus beriman kepadanya, patuh kepada-nya, dan pasrah kepadanya,
dan hendaknya beliau Saw harus kita
pentingkan daripada diri anda sendiri. Untuk itu seandainya beliau Saw
masih ada, kemudian ada sebuah anak panah yang melesat mengarah padanya, kita
wajib melindunginya meskipun mengorbankan nyawa kita sendiri. Kita rela mati
membelanya. kita ridha dengan tuntunan dan sunnahnya. Jika ridha kepada
sunnahnya, berarti kita tidak mau merujuk kepada siapapun, kecuali hanya
kepadanya. Allah Swt berfirman,
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-sau-dara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan ru-mah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
(Qs At Taubah : 24)
Ridha kepada
Allah, ridha kepada Islam dan ridha kepada Nabi Muhammad merupakan satu kesatuan
yang utuh. Tidaklah mungkin ridha kepada Allah tetapi tidak berislam dan
bernabikan Muhammad seperti laiknya orang Nasrani. Begitu juga ridha dengan
Islam tetapi tidak patuh Allah dan mengangkat nabi lain seperti kaum Ahmadiyah.
Tidaklah mungkin ridha kepada Rasulullah tetapi masih meragukan perintah dan
larangan Allah swt yang termuat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Demikianlah
antara lain sikap kita keseharian yaitu hati dipenuhi ridha kepada Allah,
kepada Islam dan kepada nabi Muhammad. Bagi para sufi sampai menyatakan walaupun
berdo’a di syariatkan oleh agama, tidak merasa pantas lagi meminta ini dan itu
kepada Allah. karena mereka mencapai taraf kerohanian yang tinggi, Tetapi kita
terus berdo’a kepada Allah tidak putusnya doa kebaikan hiduo di dunia dan
kehidupan di akhirat.
Saudaraku
sebelum aku akhiri pesan7menit ini mari kita simak hadits Qudsi yang
berhubungan dengan keridhaan. “Allah berfirman kepada Rasul Saw:
Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji
qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta
tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang
selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku
(Allah)”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar