Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mabrur memiliki dua arti, yaitu: Pertama, diterima oleh Allah; dan kedua, baik. Kata mabrur sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab, akar katanya barra-yaburru-barran atau birran yang artinya taat berbakti. Dalam kitab Lisan al-Arab, mabrur dapat berarti baik, suci, dan bersih; juga berarti makbul atau diterima
Jika kata mabrur diambil dari akar kata birran atau al-birru, maka menurut Kamus Al-Munawwir dapat diartikan sebagai taat
berbakti, bersikap baik-sopan, benar atau tidak berdusta, benar untuk
dilaksanakan sesuai dengan sumpahnya, menerima, diterima, banyak berbuat
kebajikan. Menurut Al-Fairuzi bahwa al-birru dapat juga berarti hubungan, berupaya dalam kebaikan. Menurut Budiharjo bahwa kata al-birru sepadan dengan kata al-hasan, al-khair, al-shalih, al-thayyib dan al-ma’ruf, Dan kata al-birru berarti
“baik” jika dihubungkan dengan orang tua, “mabrur” jika dihubungkan
dengan haji, “benar “jika dihubungkan dengan janji, “laris” jika
dihubungkan dengan dagangan, “terhindar subhat, dusta dan khianat” jika
dihubungkan dengan jual beli, ”memperbanyak ketaatan” jika dihubungkan
dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika dihubungkan dengan
orang tua.
Sedangkan menurut Allah SWT di dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 177 al-birru itu bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, akan tetapi sesungguhnya
al-birru itu beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa.
Jika
mabrur itu berakar dari kata al-birru yang memiliki arti kebaikan dan
kebaikan itu bukan menurut manusia, tetapi menurut Allah SWT sesuai
firman-Nya di Q.S. Al-Baqarah ayat 177, maka haji mabrur bukanlah haji
yang diterima oleh Allah SWT karena pelakunya telah melakukan ritual haji dengan yang baik sesuai syarat dan rukunnya, bukan
pula hanya dalam iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab dan para nabi, bukan juga senantiasa melaksanakan shalat,
membayar zakat, tetapi
si pelaku telah dan selalu melakukan perbuatan sosial di atas rata-rata
kebanyakan orang. Perbuatan itu di antaranya memberikan harta yang
dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang
memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta; dan
memerdekakan hamba sahaya atau membebaskan orang dari ketertindasan, dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan juga dalam peperangan.
Bentuk-bentuk
perbuatan sosial dalam ayat tersebut di atas, selain zakat, tidak harus
semuanya dilakukan serentak dalam satu waktu, tetapi sesuai kemampuan
dan kesempatan, khususnya bagi seseorang yang telah mendapatkan predikat
haji mabrur. Seperti bunyi hadits dari Jabir ra yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Rasulullah SAW bersabda,”Haji
yang mabrur tidak ada pahala yang layak kecuali surga. Sahabat
bertanya: Wahai Nabi Allah, apakah haji mabrur itu? Rasulullah SAW
menjawab: Memberi makan dan menebarkan salam.”
Mafhum mukhalafah atau
pemahaman kebalikan dari hadits di atas adalah orang yang berhaji tidak
mendapat predikat haji mabrur jika ia tidak memberi makan orang yang
membutuhkan atau kelaparan dan tidak memberikan salam. Dengan kata lain,
haji mabrur itu ditentukan bukan hanya oleh ritual ibadah haji yang
telah dilaksanakan seseorang sesuai syarat dan rukunnya, tetapi oleh
perbuatan sosialnya, yaitu memberi makan orang miskin dan menebarkan
salam.
Khusus
perbuatan memberi makan, ini seperti kisah Abu Abdurrahman Abdullah bin
al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi, seorang ahli hadits yang terkemuka.
Ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di
dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar
kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal
dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181
H/797 M. Ia mendapat petunjuk dari Allah SWT tentang seorang, yaitu Ali
bin Mowaffaq, penjual sepatu di Damaskus, yang
mendapatkan gelar haji mabrur pada satu musim haji yang tidak ada
mendapatkannya selain dirinya padahal dia tidak pergi haji karena uang
untuk berangkat haji ia dermakan kepada tetangganya untuk makan.
Maka,
memberi makan dari harta yang dicintai merupakan bentuk al-birru, salah
satu bentuk nyata atau indikator yang terlihat dari kemabruran haji
seseorang. Jadi, tidak susah kita menilai apakah haji seorang atau haji
kita ini mabrur atau tidak cukup
dilihat dari amal-amal sosialnya, salah satunya adalah memberi makan.
Amal memberi makan sepertinya amalan yang sepele, tetapi itu merupakan
amalan para nabi dan rasul. Nabi Ibrahim as. yang bergelar Khalilullah,
Kekasih Allah, selalu memanggil orang lain untuk ikut makan bersamanya
setiap ia makan. Sunnah Rasulullah SAW yang terakhir dikerjakan oleh Abu
Bakar Ash-Shidiq ra. adalah memberi makan orang tua Yahudi yang buta
matanya dari kunyahan mulut Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. sendiri persis
seperti yang dilakukan Rasulullah SAW semasa hidupnya sampai beliau
wafat. Maka wajar jika Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berkata,” Aku telah meneliti semua amal saleh, dan tidak ada yang melebihi keutamaan amal memberi makan.”
Akhir
kalam, saat ini di Suriah, ulama di sana telah memberi fatwa bahwa kaum
muslimin dan muslimat di Suriah boleh memakan daging kucing dan anjing
karena tengah dilanda kelaparan yang hebat dan makanan amat sangat sulit
didapat, juga kelaparan di Somalia dan tempat-tempat lainnya, sementara jutaan
jama`ah haji kebanyakan pulang ke tanah airnya masing-masing membawa
air zam-zam dan makanan khas timur tengah berkilo-kilo beratnya. Jadi
belumlah terlambat jika para haji ingin mendapatkan gelar haji mabrur
tahun ini, sesampainya di tanah air segera kirim makanan kepada mereka
yang membutuhkan di Suriah, Somalia dan tempat-tempat lainnya, mungkin
ada pula tetangganya yang kelaparan, Insya Allah hajinya mabrur.
Amin.***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan JIC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar