Oleh Nashih Nashrullah
Perbedaan terletak pada penyikapan hadis.
Permasalahan ini memang terbilang klasik. Deretan kitab fiqih generasi salaf
pun telah banyak mengupas tema ini sesuai dengan corak mazhab masing-masing.
Namun, membahas topik ini selalu memantik perhatian. Selain karena fenomena ini
terus berulang di masyarakat, isu ini tak jarang terhembus ke permukaan dan
menjadi bahan saling klain sekaligus menyalahkan satu sama lain.
Ahkam al-Maqabir fi as-Syari'ah al-Islamiyyah, sebuah studi berbasis
kajian fiqih komparatif yang ditulis oleh dosen Fakultas Syariah dan
Perbandingan Agama Universitas Qashim Arab Saudi, Prof Abdullah bin Umar bin
Muhammad as-Sahibani, adalah salah satu upaya termutakhir yang mencoba
menguraikan masalah ini. Ia berkesimpulan, pendapat ulama tak sama menyikapi
persoalan ini.
Mazhab Hanafi berpandangan, makruh membangun makan, bahkan bisa naik haram
bila motif pembangunannya sekadar untuk mempercantik. Salah satu riwayat dalam
mazhab ini menyatakan, sedangkan jika makan tersebut merupakan makam para
ulama, hukumnya makruh. Ini dengan catatan, tanah pemakaman tersebut bukan
termasuk tanah wakaf yang peruntukannya untuk umum. Jika status tanah makam
adalah wakaf maka haram hukumnya.
Sedangkan, dalam pandangan Mazhab Maliki, pembangunan makam tersebut mesti
dilihat dari skalanya, besar atau kecil. Jika dibangun sederhana dan skalanya
kecil seperti memberikan dinding sederhana pada pusaran makam sebagai identitas
maka para ulama mazhab yang berafiliasi pada Imam Malik bin Anas ini sepakat
hukumnya boleh. Contoh kasus seperti makam-makampara wali.
Jika pembangunan makam itu berskala besar maka ada dua ketentuan, yaitu bila
tujuannya mengumbar kebanggaan dan kesombongan, sepakat hukumnya haram. Bila
tidak disertai dengan motif itu, masih menurut mazhab yang tumbuh dan
berkembang di Tanah Hijaz ini, ada yang memperbolehkan dan ada pula yang
melarangnya.
Akan tetapi, satu catatan mendasar
dari Mazhab Maliki, yakni syarat penting bolehnya membangun makam itu ialah
jika status tanah tempat makam berada adalah milik pribadi atau sekalipun milik
orang lain, tetapi telah mengantongi izin dan selama pembangunan itu tidak
merugikan pihak lain.
Maka, jika ternyata status tanah tempat makam itu berada merupakan wakaf
atau pemakaman umum, segenap ulama Mazhab Maliki berpendapat hukumnya haram.
Ketentuan ini berlaku untuk semua kalangan tak pandang bulu, entah ulama, tokoh
masyarakat, atau elite penguasa sekalipun. Sebagian bahkan memfatwakan agar
makam yang dibangun diatas tanah wakaf atau makam umum agar diratakan dengan
tanah seperti makam yang ada.
Pendapat yang nyaris sama disampaikan pula oleh Mazhab Syafi’i. Mazhab yang
merujuk pada metode ijtihad Imam Syafi’i ini membedakan kasus ini dalam dua
kategori utama, yakni makam itu berdiri di atas tanah wakaf dan makam yang
berada di tanah pribadi.
Untuk kategori pertama, mereka sepakat hukumnya haram dan harus dirobohkan
agar serupa dengan makam lainnya. Imam Syafi’i menceritakan di magnum opus-nya, al-Umm, bahwa dirinya pernah melihat pejabat di Makkah merobohkan
makam yang dipoles apik dan tak satu pun ahli fiqih yang memprotes tindakan
itu. Lalu, bila status tanah makam adalah milik pribadi, terserah saja hendak
dibangun seperti apa makam tersebut. Tetapi, tetap ada kemakruhan disana.
Sementara itu, Mazhab Hambali menilai, hokum pembangunan makam ialah makruh.
Entah bangunan itu memakan jengkal tanah atau sekadar aksesori di atas pusaran
makam. Ini adalah riwayat yang paling sahih dalam mazhab yang berafiliasi pada
Ahmad bin Hanbal ini.
Sebagian ulama Mazhab Hambali berpandangan, boleh bila dibangun di atas
tanah pribadi, termasuk membuat kubah. Tetapi, sebagian yang lain membuat kubah
hukumnya makruh. Salah satu riwayat Imam Ahmad melarang jika dibangun di atas
tanah wakaf. Ibn al-Jauzi bahkan menegaskan, haram menggali liang lahat di
pemakaman umum sebelum ada kebutuhan.
Secara terpisah, Komisi Fatwa Lembaga Wakaf Uni Emirat Arab menjelaskan,
duduk permasalahannya ialah cara pandang terhadap larangan Rasulullah saw
terhadap pembangunan makam. Antara lain, seperti tersebut pada hadis yang
diriwayatkan Muslim dari Jabir bin Abdullah. Rasul, dalam hadis itu, melarang
menembok dan membangun makam.
Lembaga ini menyatakan para ulama sepakat hokum membangun makam seseorang
yang berdiri di atas tanah wakaf atau pemakaman umum tidak boleh. Ini lantaran
pembangunan akan berdampak penyempitan lahan dan merugikan public. Bila tanah
tersebut milik pribadi maka secara umum hukumnya boleh, minimal makruh. Selama
tidak dimaksudkan untuk bermegah-megahan dan unjuk kemewahan. Pendapat ini pun
diamini oleh Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta.
Sementara itu, Komisi Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi menyatakan
pembangunan makam tidak boleh. Ini merujuk pada hadis-hadis larangan
pembangunan masjid, salah satunya riwayat Muslim di Anas.
Bahkan, dalam riwayat Bukhari disebutkan, Rasulullah saw menyatakan Allah SWT
mengecam kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka membangun makam para wali dan
mendirikan lokasi sembahyang di sekitar makam. ●
Sumber
: Materi Kuliah Subuh yang disampaikan oleh Bapak Drs. A. Muis di Masjid Nurul
Hikmah Jl. Darmapala Palembang tanggal 28 September 2013.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/09/27/mtshjj-hukum-membangun-makam-bolehkah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar