Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Keutamaan Lailatul Qadar
Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1). Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya (yang artinya),
“Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5).
Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga. Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar. (Zaadul Maysir, 6/179)
Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan.
An Nakho’i
mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000
bulan.” Mujahid dan Qotadah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih
baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar
lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat
lailatul qadar.
Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap
pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)
Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi?
Ibnu Hajar Al
Asqolani telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah
ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada
sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada
malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya
berpindah-pindah dari tahun ke tahun (Fathul Baari, 6/306, Mawqi’ Al Islam Asy Syamilah).
Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau
mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh
lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)
Para ulama mengatakan bahwa hikmah
Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul
qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda
jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti
malah orang-orang akan bermalas-malasan.
Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar,
lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha
berkata, ”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku
mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di
dalamnya?” Beliau menjawab,
”Katakanlah:
‘Allahumma innaka ‘afuwwun
tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf
lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim” setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun …” tidak terdapat satu dalam manuskrip pun. Lihat Tarooju’at no. 25)
Tanda Malam Lailatul Qadar
Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang.
Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul
qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas,
juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan
nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)
Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia
merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah
yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim no. 1174)
Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang
terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh
kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut.
Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Di
bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000
bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka
dia akan luput dari seluruh kebaikan.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat
beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di
sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi
kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)
Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu,
menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk
melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan, “Apabila
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari
terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk
menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam
tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim
no. 1174)
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan
giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan
anak-anaknya untuk melaksana kan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar
adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan bukan seluruh
malam. Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Menghidupkan
malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan
dzikir dan tilawah Al Qur’an (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/313, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah).
Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap
pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak,
“Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang
yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa
mendapatkan bagian dari lailatul qadar?”
Adh Dhohak pun menjawab, “Iya,
mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima
amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir
tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh
dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu,
maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita
haidh lakukan ketika itu adalah:
(1) Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh
mushaf,
(2) Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya,
(3) Memperbanyak istighfar, dan
(4) Memperbanyak do’a.
(Lihat pembahasan di “Al Islam Su-al wa Jawab” pada link http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753)
Beri’tikaf Demi Menanti Lailatul Qadar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. Inilah penuturan ‘Aisyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan
malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia,
sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak
berdzikir ketika itu. (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim 1172)
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika ingin beri’tikaf.
Pertama, i’tikaf harus dilakukan di masjid dan boleh di masjid mana
saja.
I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman
Allah Ta’ala (yang artinya),
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”. Perlu diketahui, hadits ini masih dipersilisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat).
Kedua, wanita juga boleh beri’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. Namun wanita boleh
beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat:
(1) Diizinkan oleh suami dan
(2) Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki).
Ketiga, yang membatalkan i’tikaf adalah:
(1) Keluar masjid tanpa
alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak
(misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di
luar masjid),
(2) Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al
Baqarah: 187 di atas.
Keempat, hal-hal yang dibolehkan ketika beri’tikaf di antaranya:
(1)
Keluar masjid disebabkan ada hajat seperti keluar untuk makan, minum,
dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid,
(2) Melakukan
hal-hal mubah seperti bercakap-cakap dengan orang lain,
(3) Istri
mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya,
(4) Mandi
dan berwudhu di masjid, dan
(5) Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Kelima, jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan,
maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat
Shubuh pada hari ke-21 (sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan.
Keenam, hendaknya ketika beri’tikaf, sibukkanlah diri dengan
melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi,
mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri
dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. (pembahasan
i’tikaf ini disarikan dari Shahih Fiqih Sunnah, 2/150-158)
Semoga Allah memudahkan kita menghidupkan hari-hari terakhir di bulan
Ramadhan dengan amalan ketaatan. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.
Sumber: Buletin At Tauhid edisi V/37
http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/08/17/menanti-malam-lailatul-qadar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar