Ustadz Arief B bin Usman Rozali
بسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3}
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ
أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur`an) pada malam kemuliaan.
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Pada edisi sebelumnya, telah kami sampaikan tentang Lailatul Qadr.
Pada malam itu penuh dengan kebaikan dan keberkahan seluruhnya, selamat
dari segala kejahatan dan keburukan apapun, setan-setan tidak mampu
berbuat kerusakan dan kejahatan sampai terbit fajar di pagi harinya.
Hal-hal apa saja yang berkaitan dengan Lailatul Qadr?
KAPANKAH LAILATUL QADR?
Sudah dijelaskan di atas bahwa Lailatul Qadr terjadi pada satu malam
saja dari bulan Ramadhan pada setiap tahun, akan tetapi tidak dapat
dipastikan kapan terjadinya [1]. Sehingga banyak hadits-hadits dan
atsar-atsar yang menerangkan waktu-waktu malam, yang mungkin terjadi
padanya Lailatul Qadr[2]. Di antara waktu-waktu yang di terangkan
hadits-hadits dan atsar-atsar tersebut ialah sebagai berikut:
1. Pada Malam Pertama Pada Bulan Ramadhan.
Ibnu Katsir berkata: “Ini diriwayatkan dari Abu Razin Al ‘Uqaili (seorang sahabat)” [3].
2. Pada Malam Ke Tujuh Belas Pada Bulan Ramadhan.
Ibnu Katsir berkata [4]: “Dalam hal ini Abu Dawud telah meriwayatkan
hadits marfu’ [5] dari Ibnu Mas’ud. Juga diriwayatkan dengan mauquf [6]
darinya, Zaid bin Arqam dan Utsman bin Abi Al ‘Ash [7]. Dan ini adalah
salah satu perkataan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Juga diriwayatkan
dari Al Hasan Al Bashri. Mereka semua beralasan, karena (malam ke tujuh
belas Ramadhan adalah) malam (terjadinya) perang Badr, yang terjadi pada
malam Jum’at, malam ke tujuh belas dari bulan Ramadhan, dan di pagi
harinya (terjadilah) perang Badr. Itulah hari yang Allah katakan dalam
firmanNya:
يَوْمَ الْفُرْقَانِ
(Di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan) [8].
3. Pada Malam Ke Sembilan Belas Pada Bulan Ramadhan.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum [9].
4. Pada Malam Ke Dua Puluh Satu Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata:
اِعْتَكَفَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ
الأَوَّلِ مِنْ رَمَضَانَ, وَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ, فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ,
فَقَالَ: (إِنَّ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ), فَاعْتَكَفَ العَشْرَ
الأَوْسَطَ فَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ, فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ, فَقَالَ: (إِنَّ
الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ), قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَطِيْباً صَبِيْحَةَ عِشْرِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ, فَقَالَ:
((مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلْيَرْجِعْ, فَإِنِّيْ أُرِيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, وَإِنِّيْ
نُسِّيْتُهَا, وَإِنَّهَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِيْ وِتْرٍ,
وَإِنِّيْ رَأَيْتُ كَأَنِّيْ أَسْجُدُ فِيْ طِيْنٍ وَمَاءٍ)), وَكَانَ
سَقْفُ الْمَسْجِدِ جَرِيْدَ النَّخْلِ, وَمَا نَرَى فِيْ السَّمَاءِ
شَيْئاً فَجَاءَتْ قَزَعَةٌ فَأُمْطِرْنَا, فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّيْنِ
وَالْمَاءِ عَلَى جَبْهَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَرْنَبَتِهِ تَصْدِيْقَ رُؤْيَاهُ.
“Rasulullah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan
Ramadhan, dan kamipun beri’tikaf bersamanya. Lalu Jibril datang dan
berkata: “Sesungguhnya apa yang kamu minta (ada) di depanmu,” lalu
Rasulullah berkhutbah pada pagi hari yang ke dua puluh di bulan Ramadhan
dan bersabda: “Barangsiapa yang i’tikaf bersama Nabi, pulanglah. Karena
sesungguhnya aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr, dan aku sudah lupa.
Lailatul Qadr akan terjadi pada sepuluh hari terakhir pada (malam)
ganjilnya, dan aku sudah bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan
air”. Saat itu atap masjid (terbuat dari) pelepah daun pohon kurma, dan
kami tidak melihat sesuatupun di langit. Lalu tiba-tiba muncul awan, dan
kamipun dihujani. Lalu Rasulullah shalat bersama kami, sampai-sampai
aku melihat bekas tanah dan air yang melekat di dahi dan ujung hidungnya
sebagai pembenaran mimpinya”.[10]
Asy Syafi’i berkata: “Hadits ini adalah riwayat paling shahih”.[11]
5. Pada Malam Ke Dua Puluh Tiga Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abdullah bin Unais, beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
((أُرِيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيْتُهَا, وَأَرَانِيْ صُبْحَهَا
أَسْجُدُ فِيْ مَاءٍ وَطِيْنٍ)), قَالَ: فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ
وَعِشْرِيْنَ, فَصَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَانْصَرَفَ, وَإِنَّ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّيْنِ عَلَى
جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ, قَالَ: وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ
يَقُوْلُ: ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ.
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda: ((Aku telah diperlihatkan Lailatul
Qadr kemudian aku dibuat lupa, dan aku bermimpi bahwa aku bersujud di
atas tanah dan air)). Maka kami dihujani pada malam yang ke dua puluh
tiga, Rasulullah shalat bersama kami, kemudian beliau pergi sedangkan
bekas air dan tanah (masih melekat) di dahi dan hidungnya”.
Dan Abdullah bin Unais berkata: Dua puluh tiga [12].
6. Pada Malam Ke Dua Puluh Empat Di Bulan Ramadhan
Sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudri, berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ)).
“Rasulullah bersabda: ((Lailatul Qadr malam yang ke dua puluh empat))” [13].
Ibnu Katsir berkata: “Sanadnya para perawi tsiqat (kuat)” [14].
Demikian juga lafazh hadits yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Bilal.[15]
Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan perkataannya (untuk mengomentari
hadits Bilal tersebut): “(Pada sanadnya ada) Ibnu Lahi’ah (dan dia)
dha’if, dan (hadits ini) tidak sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan
oleh Al Bukhari dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari ‘Amr bin Al Harits,
dari Yazid bin Abi Habib, dari Abu Al Khair, dari Abu Abdillah Ash
Shunaabihi berkata: “Bilal -Mu’adzin Rasulullah- telah memberitahu
kepadaku bahwa Lailatul Qadr dimulai malam ke tujuh dari sepuluh hari
terakhir (bulan Ramadhan). [16]” Maka hadits yang mauquf ini lebih sah,
wallahu a’lam.
Demikian halnya telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas,
Jabir, Al Hasan, Qatadah, Abdullah bin Wahb (yang semuanya mengatakan)
bahwa Lailatul Qadr adalah pada malam yang ke dua puluh empat. [17]
7. Pada Malam Ke Dua Puluh Lima Di Bulan Ramadhan
Sebagaimana hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
اِلْتَمِسُوْهَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ
الْقَدْرِ, فِيْ تَاسِعَةٍ تَبْقَى, فِيْ سَابِعَةٍ تَبْقَى, فِيْ
خَامِسَةٍ تَبْقَى.
“Nabi bersabda: Carilah Lailatul Qadr di bulan Ramadhan, pada
sembilan malam yang tersisa, tujuh malam yang tersisa, lima malam yang
tersisa” [18].
8. Pada Malam Ke Dua Puluh Tujuh Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits yang di keluarkan oleh Imam Muslim dari Ubay bin Ka’b:
عَنْ عَبْدَةَ وَعَاصِمِ بْنِ أَبِيْ النُّجُوْدِ سَمِعَا زِرَّ بْنَ
حُبَيْشٍ يَقُوْلُ: سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ,
فَقُلْتُ: إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ: مَنْ يُقِمْ الحَوْلَ
يُصِبْ لَيْلَةَ القَدْرِ, فَقَالَ: رَحِمَهُ اللهُ, أَرَادَ أَنْ لاَ
يَتَّكِلَ النَّاسُ, أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِيْ رَمَضَانَ,
وَأَنَّهَا فَيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ, وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ
وَعِشْرِيْنَ. ثُمَّ حَلَفَ لاَ يَسْتَثْنِيْ أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ
وَعِشْرِيْنَ, فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُوْلُ ذَلِكَ يَا أَبَا
الْمُنْذِرِ؟ قَالَ: بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, أَنَّهَا تَطْلُعُ
يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا.
“Dari Abdah dan Ashim bin Abi An Nujud, mereka mendengar Zirr bin
Hubaisy berkata: Aku pernah bertanya Ubai bin Ka’b, maka aku berkata:
“Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata, barangsiapa yang mendirikan
(shalat malam) selama setahun, pasti akan mendapatkan Lailatul Qadr.”
Ubay bin Ka’b berkata: “Semoga Allah merahmatinya, beliau bermaksud agar
orang-orang tidak bersandar (pada malam tertentu untuk mendapatkan
Lailatul Qadr, Pen), walaupun beliau sudah tahu bahwa malam (Lailatul
Qadr) itu di bulan Ramadhan, dan ada pada sepuluh malam terakhir, dan
pada malam yang ke dua puluh tujuh”. Kemudian Ubay bin Ka’b bersumpah
tanpa istitsna’ [19], dan yakin bahwa malam itu adalah malam yang ke dua
puluh tujuh. Aku (Zirr) berkata: “Dengan apa (sehingga) engkau berkata
demikian, wahai Abu Al Mundzir? [20]” Beliau berkata: “Dengan tanda yang
pernah Rasulullah kabarkan kepada kami, yaitu (matahari) terbit (pada
pagi harinya) tanpa sinar (yang terik)”.[21]
Juga hadits Abdullah bin Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوْا لَيْلَةَ
الْقَدْرِ فِيْ الْمَنَامِ فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ, فَقَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ
تَوَاطَأَتْ فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ, فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا
فَلْيَتَحَرَّهَا فِيْ السَّبْعِ الأَوَاخِرِ)).
“Dari Ibnu Umar, bahwa beberapa orang sahabat Nabi diperlihatkan
(mimpi) Lailatul Qadr pada tujuh malam terakhir, lalu Rasulullah
bersabda: “Aku kira mimpi kalian telah bersesuaian pada tujuh malam
terakhir. Maka barangsiapa yang ingin mendapatkannya, carilah pada tujuh
malam terakhir” [22].
Demikian pula hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ قَالَ: ((لَيْلَةُ الْقَدْرِ
لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ)).
“Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dari Nabi dalam (masalah) Lailatul
Qadr bersabda: “Lailatul Qadr pada malam ke dua puluh tujuh” [23]
Ibnu Katsir berkata: “Dan ini (Lailatul Qadr adalah malam ke dua
puluh tujuh) adalah pendapat sebagian ulama salaf, pendapat madzhab
Ahmad bin Hanbal, dan riwayat dari Abi Hanifah. Juga telah diriwayatkan
dari sebagian Salaf, mereka berusaha mencocokkan malam Lailatul Qadr
dengan malam yang ke dua puluh tujuh dengan firman Allah ( هِيَ) .
Karena, kata ini adalah kata yang ke dua puluh tujuh dari surat Al Qadr.
Wallahu a’lam”. [24]
9. Pada Malam Ke Dua Puluh Sembilan Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah, berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيْ
لَيْلَةِ الْقَدْرِ: إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ
وَعِشْرِيْنَ, إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِيْ الأَرْضِ
أَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى.
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda tentang Lailatul Qadr:
“Sesungguhnya malam itu malam yang ke (dua puluh) tujuh atau ke dua
puluh sembilan. Sesungguhnya, malaikat pada malam itu, lebih banyak dari
jumlah butiran kerikil (pasir)” [25].
Juga hadits ‘Ubadah bin Shamit:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ, أَنَّهُ سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((فِيْ رَمَضَانَ, فَالْتَمِسُوْهَا
فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ, فإِنَّهَا فَيْ وِتْرٍ, فِيْ إِحْدَى
وَعِشْرِيْنَ, أَوْ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ خَمْسٍ وَعِشْرِيْنِ, أَوْ
سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ تِسْعٍ وَعِشْرِيْنَ, أَوْ فِيْ آخِرِ لَيْلَةٍ,
فَمَنْ قَامَهَا ابْتِغَاءَهَا إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً ثُمَّ وُفِّقَتْ
لَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ)).
“Dari Ubadah bin Ash Shamit, beliau bertanya kepada Rasulullah
tentang Lailatul Qadr, maka Rasulullah bersabda: “Di bulan Ramadhan.
Maka carilah ia pada sepuluh malam terakhir. Karena malam (Lailatul
Qadr) itu (terjadi) pada malam-malam ganjil, pada malam ke dua puluh
satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh,
atau dua puluh sembilan, atau pada akhir malam (bulan Ramadhan).
Barangsiapa yang menghidupkan malam itu untuk mendapatkannya dengan
penuh harapan (pada Allah) kemudian dia mendapatkannya, akan diampuni
dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang” [26].
10. Pada Malam Terakhir Pada Bulan Ramadhan.
Sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit [27] di atas, dan hadits Abu Bakrah:
عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: حَدَّثَنيِ أبِيْ
قَالَ: ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ: مَا
أناَ مُلْتَمِسُهَا لِشَيْءٍ سَمِعْتهُ مِنْ رَسُوْلِ الله صَلىَّ الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنِّيْ
سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: ((اِلْتَمِسُوْهَا فَيْ تِسْعٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ
سَبْعٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ خَمْسٍ يَبْقَيْنَ, أَوْ فِيْ ثَلاَثٍ, أَوْ
آخِرِ لَيْلَةٍ)), قَالَ: وَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّيْ فِيْ
الْعِشْرِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ كَصَلاَتِهِ فِيْ سَائِرِ السَّنَةِ, فَإذا
دَخَلَ الْعَشْرَ اِجْتَهَدَ.
“Dari Uyainah bin Abdurrahman, ia berkata: “Ayahku telah
mengkhabarkan kepadaku, (ia) berkata, aku menyebutkan tentang Lailatul
Qadr kepada Abu Bakrah, maka beliau berkata, tidaklah aku mencari malam
Lailatul Qadr dengan suatu apapun yang aku dengarkan dari Rasulullah,
melainkan pada sepuluh malam terakhir; karena sesungguhnya aku
mendengarkan beliau berkata: ‘Carilah malam itu pada sembilan malam yang
tersisa (di bulan Ramadhan), atau tujuh malam yang tersisa, atau lima
malam yang tersisa, atau tiga malam yang tersisa, atau pada malam
terakhir’,” berkata Abdurrahman: “Dan Abu Bakrah shalat pada dua puluh
hari pertama di bulan Ramadhan seperti shalat-shalat beliau pada
waktu-waktu lain dalam setahun, tapi apabila masuk pada sepuluh malam
terakhir, beliau bersungguh-sungguh” [28].
Hadits yang serupa telah diriwayatkan dari Mu’awiyah [29].
Inilah waktu-waktu yang diterangkan di berbagai kitab-kitab tafsir
maupun hadits. Jika kita perhatikan, banyak hadits-hadits shahih yang
menerangkan, bahwa kemungkinan terbesar terjadinya Lailatul Qadr ialah
malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama
pada malam ke dua puluh satu dan dua puluh tujuh.
Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata: “Tidak pernah ada ketentuan
(pembatasan) yang memastikan waktu terjadinya malam itu (Lailatul Qadr)
pada bulan Ramadhan. Para ulama telah banyak membawakan pendapat
(perkataan) dan nash-nash. Di antara perkataan (para ulama) tersebut ada
yang sangat umum. (Bahwa Lailatul Qadr) mungkin terjadi pada setahun
penuh, akan tetapi ini tidak mengandung hal yang baru. Perkataan ini
dinisbatkan kepada Ibnu Mas’ud, tetapi (sebetulnya) maksudnya ialah
(agar manusia) bersungguh-sungguh (dalam mencarinya). Ada yang
mengatakan bahwa malam itu (mungkin) terjadi pada bulan Ramadhan
seluruhnya. (Mereka) berdalil dengan keumuman nash-nash Al Qur`an. Ada
pula yang berkata, Lailatul Qadr mungkin terjadi pada sepuluh malam
terakhir. Pendapat ini lebih khusus dari sebelumnya.
Dan ada yang
berpendapat, malam itu terjadi pada malam-malam ganjil dari sepuluh
malam terakhir tersebut. Maka dari sini, ada yang berpendapat pada malam
ke dua puluh satu, ke dua puluh tiga, ke dua puluh lima, ke dua puluh
tujuh, ke dua puluh sembilan, dan malam terakhir, sesuai dengan
masing-masing nash yang menunjukkan terjadinya Lailatul Qadr pada
malam-malam ganjil tersebut. Akan tetapi, yang paling mashur dan shahih
(dari nash-nash tersebut) adalah pada malam ke dua puluh tujuh dan dua
puluh satu… (Dengan demikian), apabila seluruh nash yang menerangkan
Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil tersebut semuanya shahih, maka
besar kemungkinan Lailatul Qadr terjadi pada malam-malam ganjil
tersebut. Dan bukan berarti malam Lailatul Qadr tersebut tidak
berpindah-pindah, akan tetapi (ada kemungkinan), dalam tahun ini terjadi
pada malam ke dua puluh satu, dan pada tahun berikutnya pada malam ke
dua puluh lima atau dua puluh tujuh, dan pada tahun yang lainnya lagi
terjadi pada malam ke dua puluh tiga atau dua puluh sembilan, dan
begitulah seterusnya. Wallahu a’lam”[30]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
Sumber:
Almanhaj.or.id dipublikasikan oleh:
www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
_______
Footnote
[1]. Dan hal ini ada hikmahnya, sesuai dengan hadits yang telah berlalu
dalam Shahih Al Bukhari (2/711 no.1919 & 5/2248 no.5705) dari Ubadah
bin Shamit: (وَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْراً لَكُمْ), “dan mudah-mudahan
hal itu lebih baik untuk kalian”, sehingga Ibnu Katsir berkata:
“Maksudnya adalah ketidaktahuan kalian terhadap kapan terjadinya
Lailatul Qadr itu lebih baik bagi kalian, karena hal itu membuat
orang-orang yang betul-betul ingin mendapatkannya akan berusaha dengan
sungguh-sungguh beribadah di setiap kemungkinan waktu terjadinya
Lailatul Qadr tersebut, maka dia akan lebih banyak melakukan
ibadah-ibadah. Lain halnya jika waktu Lailatul Qadr sudah diketahui,
kesungguhan pun akan berkurang dan dia akan beribadah pada waktu malam
itu saja”. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim (8/451).
[2]. Al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Bari (4/262-266) membawakan
lebih dari empat puluh lima pendapat ulama yang berkaitan dengan
keterangan kemungkinan waktu-waktu terjadinya Lailatul Qadr.
[3]. Tafsir Al Quran Al Azhim (8/447). Dan kami tidak mendapatkan atsar
yang menerangkan hal ini, kecuali apa yang telah dinukilkan oleh Al
Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Bari (4/263) dari Ibnu Abi Ashim
dari Anas berkata: “Lailatul Qadr adalah malam pertama di bulan
Ramadhan”.
[4]. Di dalam tafsirnya (8/447).
[5]. Hadits marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi, baik
berupa perkataan,perbuatan, pernyataan, ataupun sifat beliau.
[6]. Hadits mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada seorang sahabat Nabi, baik berupa perkataan,perbuatan, atau pernyataan.
[7]. Sunan Abu Dawud (2/53 no.1384). Dan Syaikh Al Albani mendha’ifkan hadits ini. (Lihat Dha’if Sunan Abi Dawud).
[8]. Al Anfaal:41.
[9]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/447) dan Fathul Bari (4/263).
[10]. HR Al Bukhari (1/280 no.780, 2/709 & 710 no.1912 & 1914,
2/716 no.1931) dan Muslim (2/826 no. 1167), dan lain-lainnya.
[11]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/447).
[12]. Muslim (2/826 no. 1167), dan Al Muwatha’ (1/320)
[13]. Musnad Ath Thayalisi (1/288).
[14]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/447).
[15]. Musnad Imam Ahmad (6/12), dan Syaikh Al Albani mendha’ifkan hadits ini (Lihat Dha’if Al Jami’ no.4957).
[16]. HR Al Bukhari (4/1621)
[17]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/448), dan lihat juga tafsir
beliau pada surat Al Baqarah ayat 185 (Tafsir Al Quran Al Azhim (1/505).
[18]. HR Al Bukhari (2/711 no.1917), Abu Dawud (2/52 no.1381), Ahmad
(1/231 no.2052, 1/279 no.2520, 1/360 no.3401, 1/365 no.3456), dan
lain-lainnya.
[19]. Bersumpah tanpa istitsnaa’ adalah bersumpah dengan tidak menyebutkan kata “Insya Allah” setelahnya.
[20]. Kunyahnya Ubay bin Ka’b. (Lihat Taqrib At Tahdzib hal:120).
[21]. HR Muslim (2/828 no.762), Abu Dawud (2/51 no.1378), At Tirmidzi (3/160 no.793 dan 5/445 no.3351), Ahmad (5/130 no.21231).
[22]. HR Muslim (2/822 no.1165), Ahmad (2/8 no.4547, 2/27 no.4808, 2/157
no.6474) dan dishahihkan Al Albani (Shahih Al Jami’ no.2920).
[23]. HR Abu Dawud (2/53 no.1386). Dan Hadits ini dishahihkan Al Albani
(Lihat Shahih Sunan Abi Dawud dan Shahih Al-Jami no.1240).
[24]. Tafsir Al Quran Al Azhim (8/448), dikatakan pula bahwa kata (
لَيْلَةُ الْقَدْرِ ) ada sembilan huruf, dan kata ini terdapat dalam
surat Al Qadr sebanyak tiga kali pengulangan, maka jumlah keseluruhan
hurufnya ada dua puluh tujuh, maka itulah malam Lailatul Qadr. (Lihat
Adhwa’ Al Bayan 9/37).
[25]. Musnad Ahmad (2/519 no.10745 dan 2/529 no.10860), Shahih Ibnu
Khuzaimah (3/332 no.2194), Musnad Ath Thayalisi (1/332 no.2545). Dan Al
Albani menghasankan hadits ini. (Lihat Shahih Al Jami’ no.5473, dan
Silsilah Ash Shahihah 5/240).
[26]. HR Ahmad (5/318, 321, 324 no.22675, 22793, 22815 dan 22817).
[27]. Ibid.
[28]. HR At Tirmidzi (3/160 no.794), An Nasa’i di As-Sunan Al Kubra
(2/273 no.3403, 3404), Ahmad (5/36 no.20392, 5/39 no.20420), Ibnu Hibban
di Shahihnya (8/442 no.3686), Al Hakim di Al Mustadraknya(1/604
no.1594), dan lain-lainnya. Dan hadits ini dishahihkan Al Albani. (Lihat
Shahih Sunan At Tirmidzi, Shahih Al Jami’ no.1243).
[29]. Shahih Ibnu Khuzaimah (3/330 no.2189). Dan hadits ini dishahihkan Al Albani. (Lihat Shahih Al Jami’ no.1238).
[30].Adhwa’ Al Bayan (9/35-36). Syaikh Al Utsaimin pernah ditanya:
”Apakah malam lailatul qadar tertentu pada satu malam ataukah
berpindah-pindah (berubah-ubah pada setiap tahunnya) dari satu malam ke
malam yang lainnya?”, beliaupun menjawab dengan jawaban yang serupa
dengan perkatan Syaikh Asy Syinqithi dalam tafsirnya tersebut, yaitu
berpindah-pindah/berubah-ubah pada setiap tahunnya. Wallahu a’lam.
(Lihat Majmu’ Fatawa Lajnah Da’imah: 14/228-229).
Ibnu Katsir juga membawakan pendapat ulama dalam masalah ini secara panjang lebar. (Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim: 8/450).